Rabu, 20 Desember 2023

Zainuddin dan Zulva: Benih cinta yang bersemi ditepi sunyi


Zainuddin dan Zulva adalah dua orang muda yang berdedikasi untuk berdakwah di daerah pedalaman. Mereka bertemu di sebuah pesantren yang menjadi basis mereka untuk menyebarkan ajaran Islam yang moderat dan toleran. Zainuddin adalah seorang lulusan sarjana syariah yang cerdas dan berwawasan luas, sedangkan Zulva adalah seorang guru ngaji yang cantik dan berhati mulia. Keduanya memiliki cita-cita yang sama, yaitu mengabdi kepada Allah dan umat-Nya.


Suatu hari, mereka mendapat tugas untuk mengunjungi sebuah desa yang terpencil dan belum tersentuh oleh agama Islam. Mereka berdua berangkat dengan mengendarai sepeda motor, membawa perlengkapan dan bahan ajar yang sederhana. Di tengah perjalanan, mereka mengalami banyak rintangan dan tantangan, seperti jalan yang rusak, hujan deras, ban bocor, dan bahkan serangan dari kelompok radikal yang tidak suka dengan dakwah mereka. Namun, mereka tidak pernah menyerah dan selalu bersabar dan berdoa.


Di desa tujuan, mereka disambut dengan hangat oleh penduduk setempat, yang mayoritas beragama Hindu. Mereka berusaha untuk berbaur dan bersahabat dengan mereka, tanpa memaksakan keyakinan mereka. Mereka mengajarkan nilai-nilai Islam yang universal, seperti kejujuran, keadilan, kasih sayang, dan persaudaraan. Mereka juga belajar banyak dari kearifan lokal dan budaya desa tersebut, yang menghormati alam dan sesama makhluk hidup.


Lama-kelamaan, Zainuddin dan Zulva mulai merasakan ada benih-benih cinta yang tumbuh di antara mereka. Mereka saling mengagumi dan menghormati satu sama lain, karena melihat kebaikan dan ketulusan yang ada di hati mereka. Mereka juga saling mendukung dan menyemangati, karena menghadapi berbagai kesulitan dan godaan bersama-sama. Namun, mereka tidak berani mengungkapkan perasaan mereka, karena takut melanggar batas-batas syariat dan etika.


Suatu malam, ketika mereka sedang menginap di rumah salah satu warga desa, mereka mendapat kabar bahwa ada sebuah bencana alam yang melanda pesantren mereka. Sebuah tanah longsor yang disebabkan oleh hujan lebat telah menghancurkan sebagian besar bangunan dan fasilitas pesantren, dan menewaskan beberapa santri dan pengajar. Mereka sangat terpukul dan sedih mendengar berita itu, dan merasa bersalah karena tidak bisa berada di sana untuk membantu.


Zainuddin dan Zulva memutuskan untuk segera kembali ke pesantren, meskipun mereka belum selesai dengan tugas dakwah mereka. Mereka berpamitan dengan warga desa, yang mengucapkan terima kasih dan doa untuk mereka. Mereka berjanji akan kembali lagi suatu hari nanti, untuk melanjutkan misi mereka.


Di perjalanan pulang, mereka berdua saling berpegangan tangan, dan saling menatap mata. Mereka menyadari bahwa ini mungkin adalah kesempatan terakhir mereka untuk mengungkapkan perasaan mereka, sebelum mereka kembali ke kenyataan yang pahit. Mereka pun saling mengucapkan kata-kata cinta yang lama terpendam, dengan penuh haru dan hikmah.


"Zulva, aku mencintaimu karena Allah. Aku mencintaimu karena engkau adalah seorang wanita yang sholehah, yang selalu taat kepada-Nya dan berbuat baik kepada sesama. Aku mencintaimu karena engkau adalah teman sejatiku, yang selalu ada di sisiku dan membantuku dalam dakwah. Aku mencintaimu karena engkau adalah jodohku, yang telah ditakdirkan oleh-Nya untukku."


"Zainuddin, aku juga mencintaimu karena Allah. Aku mencintaimu karena engkau adalah seorang pria yang sholeh, yang selalu berilmu dan beramal untuk-Nya dan umat-Nya. Aku mencintaimu karena engkau adalah guru terbaikku, yang selalu mengajarkanku tentang Islam dan kehidupan. Aku mencintaimu karena engkau adalah imamku, yang akan membimbingku menuju surga-Nya."


Mereka pun berdoa bersama, memohon kepada Allah untuk meridhoi cinta mereka, dan memberi mereka kekuatan dan kesabaran untuk menghadapi segala cobaan. Mereka juga berharap, bahwa suatu hari nanti, mereka akan dipersatukan kembali dalam ikatan pernikahan yang halal dan berkah, dan dapat melanjutkan dakwah mereka bersama-sama, hingga akhir hayat mereka.


Akhirnya, mereka tiba di pesantren, dan disambut oleh pemandangan yang menyedihkan. Mereka melihat reruntuhan bangunan, mayat-mayat santri, dan tangisan para pengurus dan pengajar. Mereka pun ikut menangis dan berduka, dan membantu proses evakuasi dan pemakaman. Mereka juga menghibur dan memberi semangat kepada para korban yang selamat, dan berjanji akan membangun kembali pesantren tersebut.


Di tengah kesedihan dan keputusasaan, mereka masih bersyukur kepada Allah, karena masih diberi kesempatan untuk hidup dan bertemu dengan cinta sejati mereka. Mereka yakin, bahwa cinta mereka adalah cinta yang suci dan mulia, yang tidak akan pernah pudar oleh waktu dan takdir. Mereka juga yakin, bahwa cinta mereka adalah cinta yang berdakwah, yang tidak hanya untuk diri mereka sendiri, tetapi juga untuk Allah dan umat-Nya.


0 comments:

Posting Komentar