Senin, 12 Agustus 2024

"Jejak Rindu dan Cinta di Antara Dua Pesantren: Doa dan Harapan Meraih Ilmu Yang Barokah"


Ahad, 11 Agustus 2024 - Pagi itu, sekitar pukul delapan, kami sekeluarga bersiap untuk memulai perjalanan menuju dua pesantren yang penuh kenangan, Lirboyo di Kediri dan Sabilun Najah di Bojonegoro. Dalam satu mobil, kami menyusuri jalur Jipangulu - Watujago Ngawi, sebuah jalan desa yang kini telah bertransformasi menjadi jalan cor beton yang halus, dibangun dengan ketekunan pemerintah di tengah hutan yang lebat.


Sepanjang perjalanan, si bungsu Syafiq tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Wajahnya bersinar seperti pagi yang cerah, penuh antusiasme untuk bertemu dengan kedua kakaknya. Di sebelahnya, istri saya dan ibu saya—neneknya Syafiq—juga tak kalah bahagia. Keceriaan mereka adalah alunan nada yang harmonis, menyatu dengan deru mesin mobil yang mengantarkan kami ke tujuan.


Mas Udin, driver setia kami, mengemudi dengan penuh kepercayaan diri. Di sisinya, Mas Aris, Ketua Ansor yang masih lajang, duduk dengan tenang, sesekali tersenyum mendengarkan candaan ringan yang terbang bersama angin di dalam mobil. Kami semua merasa seperti tengah melakukan perjalanan penyembuhan, bukan sekadar perjalanan biasa. Udara pegunungan yang segar meresap dalam paru-paru kami, sementara pemandangan hijau dari hutan reboisasi di sepanjang jalan seakan menjadi pelipur lara, menjauhkan kami dari hiruk-pikuk dunia yang penuh kesibukan.


Ketika kami mulai memasuki kawasan kota Kediri, tiba-tiba telepon dari Kak Bekan berbunyi. Suaranya yang hangat melalui sambungan telepon menanyakan posisi kami, menambah semangat kami yang telah hampir sampai di tempat tujuan.


Sekitar pukul setengah dua belas siang, kami pun tiba di pesantren Lirboyo, tempat Kak Bekan menuntut ilmu. Hawa pesantren yang sejuk menyambut kami, mengingatkan pada suasana yang penuh dengan kesederhanaan dan kekhidmatan. Syafiq, si bungsu, langsung melompat keluar dari mobil dengan penuh semangat. Matanya bersinar saat melihat Kak Bekan yang menyambut kami di gerbang pesantren. Seperti biasa, Syafiq langsung merajuk manja kepada kakaknya, memanfaatkan setiap detik kebersamaan dengan penuh kasih sayang.


Perjalanan ini bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan jiwa yang membawa kami lebih dekat satu sama lain, menjalin kembali ikatan keluarga yang erat, dan mengingatkan kami akan pentingnya kebersamaan dalam setiap langkah kehidupan.


Sesampainya di pesantren Lirboyo, setelah pertemuan hangat dengan Kak Bekan, kami tak lupa untuk melaksanakan salah satu niat utama dalam perjalanan ini—ziyarah ke makam para mu'assis, pendiri pesantren, yakni Mbah Kiai Abdul Karim dan para dzuriyahnya. 


Dengan langkah yang perlahan namun penuh hormat, kami menuju kompleks makam yang terletak tidak jauh dari area utama pesantren. Suasana di sekitar makam begitu khidmat, seolah-olah setiap dedaunan yang berguguran membawa doa-doa yang tulus dari para peziarah yang datang. Udara di sana terasa sejuk, membawa aroma spiritual yang menyelimuti hati kami dengan ketenangan.


Istri saya, dengan kerudungnya yang tertiup lembut angin, menggandeng tangan ibu saya yang tampak khusyuk dalam setiap langkahnya. Sementara itu, Syafiq berjalan di antara mereka, matanya yang ceria sedikit meredup, mungkin merasakan keagungan dan kesucian tempat ini. Walau sesekali tetap menikmati manjanya dengan mkinta gendong kak Bhan.


Di depan makam Mbah Kiai Abdul Karim, kami berdiri dalam diam, tenggelam dalam doa-doa yang dipanjatkan dengan penuh keikhlasan. Mata kami terpejam, meresapi setiap bait doa yang kami ucapkan, mengirimkan rasa hormat dan terima kasih kepada mereka yang telah berjasa besar dalam menyebarkan ilmu dan kebaikan. 


Di antara bisikan angin yang membawa harum bunga-bunga do'a, doa-doa kami melayang, merangkai harapan agar warisan ilmu dan ketulusan para mu'assis ini terus terjaga, mengalir seperti air yang tak pernah kering, memberi manfaat bagi umat di sepanjang zaman. Ziarah ini bukan sekadar ritual, melainkan wujud penghormatan kami kepada beliau yang telah mewariskan ilmu, menuntun kami dalam jalan yang terang. 


Setelah menghabiskan beberapa waktu di makam, kami kembali ke tempat kami singgah  dengan hati yang lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih. Kami merasa diberkahi oleh perjalanan ini, seolah-olah semangat para ulama terdahulu ikut mengiringi langkah kami menuju tujuan berikutnya.


Sesampainya kami di tempat singgah wali santri, waktu telah beranjak sore. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah empat, menandakan bahwa kami harus segera bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya—Pesantren Sabilunnajah di Kanor, Bojonegoro, tempat di mana Kak Afif sedang menuntut ilmu. Suasana di tempat singgah itu tampak tenang, namun di dalam hati kami, ada kehangatan yang perlahan-lahan berubah menjadi rasa haru.

Si Bungsu, Syafiq, yang sejak tadi begitu gembira bertemu dengan Kak Bekan, kini terlihat sedikit ogah-ogahan saat waktu perpisahan tiba. Dia menundukkan kepala, menggenggam tangan Kak Bekan dengan erat, seolah-olah ingin memperpanjang setiap detik kebersamaan mereka. Namun, di balik mata beningnya yang sendu, terlihat juga kilatan antusiasme untuk segera bertemu dengan Kak Afif. Rasa rindu yang terbelah antara dua kakak ini menciptakan perasaan yang kompleks di dalam hati Syafiq, dan mungkin di hati kami semua.

Ketika saatnya tiba untuk berpamitan, pandangan haru menyelimuti kami. Saya melihat istri saya menahan air mata yang hampir jatuh, sementara ibu saya memberikan pelukan hangat kepada Kak Bekan. Di tengah keheningan, hanya terdengar bisikan-bisikan lembut doa yang kami ucapkan untuk Kak Bekan, agar ia senantiasa diberi kekuatan dan kesuksesan dalam menuntut ilmu di pesantren.

Syafiq, dengan tatapan berat, akhirnya melepaskan genggaman tangannya dari Kak Bekan. "Nanti kalau ada waktu, Kak Bekan datang ya," ucapnya dengan suara pelan, tetapi penuh harapan. Kak Bekan tersenyum, mengangguk dengan janji yang tersirat dalam matanya, janji bahwa pertemuan berikutnya akan datang, entah kapan, tetapi pasti.

Dengan berat hati, kami pun masuk kembali ke dalam mobil. Perjalanan harus dilanjutkan, karena masih ada satu tujuan lagi yang menunggu. Saat mesin mobil mulai berderu, saya melirik ke kaca spion, melihat Kak Bekan yang berdiri di sana, melambaikan tangan dengan senyuman yang masih tergurat di wajahnya. Syafiq melambai balik, dan seketika, saya merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dada—sebuah perasaan yang begitu manusiawi, perpaduan antara kebahagiaan dan kesedihan yang hanya bisa dirasakan dalam momen perpisahan seperti ini.

Mobil pun mulai melaju, meninggalkan Lirboyo dengan segala kenangannya, menuju Bojonegoro dengan harapan baru. Di perjalanan, meski ada rasa haru yang tersisa, ada juga semangat yang perlahan tumbuh kembali. Kami tahu, perjalanan ini masih panjang, dan di ujungnya, ada Kak Afif yang menunggu dengan senyuman yang pasti akan kembali menghangatkan hati kami semua.

Perjalanan kami berlanjut dengan penuh keyakinan, mengikuti ijtihad Mas Udin, sang sopir yang sudah berpengalaman. Dengan tenang, ia memilih jalur yang terbaik, membawa kami melewati Papar, Kediri, hingga tembus ke Perak, Jombang. Jalanan yang mulus dan lengang membuat kami melaju dengan lancar, sementara di dalam mobil, suasana perlahan berubah menjadi lebih tenang, seiring matahari yang mulai meredup di ufuk barat.

Namun, tantangan sebenarnya baru dimulai ketika Mas Udin memutuskan untuk mengambil jalur pintas dari Jombang menuju Sukorame, dan kemudian tembus ke Sumberjo, Bojonegoro. Jalur ini memang lebih cepat, tetapi ia harus melintasi hutan lagi. Hanya saja, berbeda dengan perjalanan sebelumnya, kali ini kami harus melintasi hutan dalam gelapnya malam.

Saat kami mulai memasuki jalur hutan, keheningan malam perlahan menyelimuti kami. Hanya suara deru mesin dan hembusan angin yang terdengar, menggantikan canda tawa yang tadi mewarnai perjalanan. Kegelapan malam menutupi keindahan alam yang sebelumnya bisa kami nikmati di siang hari. Pohon-pohon tinggi di sekeliling kami hanya tampak sebagai bayangan hitam yang membingkai jalanan, menambah kesan misterius di perjalanan ini.

Di dalam mobil, Syafiq yang sebelumnya ceria kini mulai terkantuk-kantuk, kepalanya perlahan bersandar di pundak ibunya. Istri saya juga tampak mulai mengantuk, sementara ibu saya sudah tertidur lelap, mungkin lelah setelah seharian penuh menemani kami. Saya sendiri merasakan kelopak mata yang semakin berat, tetapi tetap berusaha terjaga, memperhatikan jalanan yang semakin gelap.

Malam itu, indahnya perjalanan tidak lagi bisa kami nikmati dengan mata terbuka. Segala keindahan yang pernah kami rasakan di siang hari, kini hanya bisa kami temui dalam mimpi. Jalanan yang sepi dan sunyi menjadi latar belakang yang sempurna untuk membiarkan imajinasi kami bermain, membayangkan kembali pemandangan hijau yang telah kami lewati, menggantikan kegelapan malam yang membatasi pandangan.

Mas Udin, dengan keahlian dan ketenangannya, tetap fokus membawa kami melalui jalan-jalan yang berkelok dan gelap. Meskipun kami tak lagi bisa menikmati indahnya alam di sekitar, keindahan malam itu hadir dalam bentuk lain—dalam kedamaian yang menyelimuti kami, dalam mimpi-mimpi yang mulai menghampiri, dan dalam keyakinan bahwa perjalanan ini akan berakhir dengan selamat, membawa kami bertemu Kak Afif yang sudah menunggu di ujung perjalanan.

Ketika akhirnya kami tiba di Bojonegoro, malam sudah semakin larut. Meski lelah, ada kebahagiaan yang tetap hangat dalam hati kami, mengetahui bahwa meski dalam gelap, kami telah melewati perjalanan ini bersama-sama, dengan segala keindahannya yang mungkin tak terlihat oleh mata, tetapi dirasakan dalam jiwa.

Sesampainya di pesantren Sabilunnajah, malam sudah semakin larut, namun agenda kami belum usai. Di sana, kami dihadapkan pada tradisi rutin yang tak boleh dilewatkan, yakni Mujadah Do'a bersama dan pengajian yang dipimpin oleh KH Anwar Zahid, acara yang ditujukan bagi wali santri dan para jamaah yang setia mengikuti kajian beliau. 

Meski badan terasa lelah setelah menempuh perjalanan panjang, kami tetap mengikuti acara dengan penuh khidmat. Di dalam ruangan yang sederhana namun penuh aura spiritual, suara lantunan doa dan dzikir bergema, menembus malam yang hening. Setiap kalimat yang diucapkan, setiap bait doa yang dipanjatkan, seolah membawa ketenangan dan kehangatan yang meresap ke dalam jiwa. Istri saya dan ibu saya terlihat khusyuk, mata mereka tertutup, tenggelam dalam doa-doa yang mereka panjatkan. Saya pun merasakan kedamaian yang mendalam, meski mata ini sudah mulai berat, tetapi hati terasa ringan, seolah beban dunia terangkat sejenak dalam lantunan doa bersama.


Waktu terus berjalan, hingga akhirnya acara selesai sekitar pukul 12 malam. Saat itu, barulah kami memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Kak Afif. Rasa lelah seketika hilang ketika kami melihat Kak Afif muncul dari balik pintu, senyum lebar menghiasi wajahnya. Si Bungsu, yang kebetulan baru saja terbangun dari tidurnya, langsung terlihat segar dan penuh semangat. Matanya yang berbinar kembali cerah, dan tanpa ragu, ia berlari kecil menuju Kak Afif. Dalam sekejap, ia sudah berada dalam pelukan hangat sang kakak.

Rasa manja Syafiq pun tumpah ruah, ia mulai bercerita tentang perjalanan kami, tentang Kak Behan, dan tentang rindu yang selama ini ia rasakan. Kak Afif, dengan sabar dan penuh kasih sayang, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut adiknya, sesekali tertawa, sesekali mengusap rambut Syafiq dengan lembut. Terlihat jelas bahwa mereka berdua sangat menikmati momen kebersamaan ini, momen yang mungkin langka, tetapi begitu berharga.

Saya dan istri, bersama ibu saya, hanya bisa duduk dan menyaksikan kebahagiaan mereka. Hati kami terasa penuh, dipenuhi rasa syukur dan haru. Sesekali, istri saya menyeka air mata yang tak terbendung, air mata kebahagiaan melihat anak-anak kami bisa berkumpul kembali meski dalam waktu yang singkat. Ibu saya juga tak kuasa menahan haru, tangannya menggenggam tangan saya erat, seolah ingin berbagi perasaan yang sama.

Malam itu, di bawah langit Pesantren Sabilunnajah, kami merasakan kehangatan yang begitu dalam. Kebersamaan ini adalah anugerah yang tak ternilai, membawa ketenangan dan kebahagiaan yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Meski lelah, meski malam sudah larut, pertemuan dengan Kak Afif menutup perjalanan panjang kami dengan sempurna—sebuah perjalanan yang penuh cinta, harapan, dan keharuan yang akan selalu kami kenang.

Setelah pertemuan dengan Kak Afif di Pesantren Sabilunnajah, perasaan haru yang mendalam masih menyelimuti hati kami. Namun, waktu tak bisa ditunda, dan kami tahu bahwa saatnya untuk berpamitan telah tiba. Dengan perasaan yang campur aduk, kami serombongan memutuskan untuk pulang. 

Si Bungsu, Syafiq, yang sejak tadi begitu ceria bertemu Kak Afif, kini terlihat masih enggan untuk berpisah. Tubuh kecilnya bergelayutan merangkul erat sang kakak, seolah ingin menahan setiap detik agar kebersamaan ini bisa bertahan sedikit lebih lama. Mata kecilnya yang ceria kini mulai meredup, seolah menyadari bahwa perpisahan tak bisa dihindari.

Kak Afif, dengan sabar dan lembut, menenangkan adiknya. Ia berjanji bahwa waktu akan membawa mereka bertemu lagi, di hari yang akan datang. Namun, tetap saja, momen ini penuh dengan perasaan yang tak mudah dilukiskan—campuran antara kasih sayang, kebanggaan, dan sedikit kesedihan. Kami, sebagai orang tua, hanya bisa mengamati dari kejauhan, merasakan setiap getaran emosi yang terpancar di antara mereka.

Dalam hati, saya dan istri, serta ibu saya, tak henti-hentinya bermunajat kepada Allah SWT. Harapan kami begitu besar, berharap agar putra-putra kami di pesantren dapat berhasil dalam menuntut ilmu. Kami berdoa agar ilmu yang mereka pelajari menjadi ilmu yang bermanfaat dan penuh berkah, agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang sholih, baik dalam lahir maupun batin, sukses di dunia dan akhirat. 

Doa-doa itu mengalir dari hati kami yang terdalam, memohon kepada Sang Maha Kuasa agar perjalanan hidup anak-anak kami selalu dilindungi dan diberkahi. Semoga segala usaha mereka dalam mencari ilmu diridhai oleh Allah, dan kelak mereka menjadi kebanggaan bagi keluarga dan agama.

Akhirnya, dengan hati yang sedikit berat, kami melepas Syafiq dari pelukan Kak Afif. Dengan lambaian tangan dan senyuman yang menguatkan, kami pun berangkat meninggalkan pesantren, membawa serta harapan dan doa-doa yang kami titipkan di setiap langkah. Malam semakin larut ketika kami melaju pulang, tetapi di dalam hati, ada cahaya yang tak pernah padam—cahaya cinta, doa, dan harapan yang akan selalu mengiringi perjalanan hidup anak-anak kami, di mana pun mereka berada.

0 comments:

Posting Komentar