Minggu, 11 Agustus 2024

Kisah Sore Bersama Si Bungsu di Bendungan Karangnongko


Senja mulai merayap di langit desaku, menyulam cakrawala dengan semburat jingga yang syahdu. Aku dan Si Bungsu, Syafiq, melangkah ringan menuju taman di Bendungan Karangnongko, tempat di mana waktu seakan melambat, memberikan ruang bagi kebersamaan yang hangat. Bendungan ini, yang terletak di selatan desaku, dulunya hanyalah hutan belantara milik perhutani, kini telah berubah menjadi sebuah kawasan yang penuh dengan janji akan masa depan yang lebih cerah.


Kami berjalan menyusuri jalan setapak yang melingkar di sekitar kawasan bendungan, di atas aliran sungai Bengawan Solo yang perkasa. Dari ketinggian, sungai itu tampak berkilauan diterpa sinar matahari yang perlahan mulai bersembunyi di balik bukit. Air yang mengalir deras seolah membawa serta segala keraguan dan kelelahan hari itu, menyisakan kedamaian yang meresap hingga ke relung hati.


Setelah puas menikmati keindahan alam yang terhampar di hadapan kami, aku dan Syafiq mengarahkan langkah ke sebuah warung kecil di utara bendungan. Warung itu sederhana, tapi menyimpan kehangatan yang tak ternilai. Di sana, Si Bungsu berlarian riang, matanya berbinar seolah tak ada beban di dunia ini. Tawa kecilnya bergema, melayang bersama angin sore yang membawa aroma tanah basah dan dedaunan.


Saat itu, aku menyadari betapa berharganya momen-momen sederhana seperti ini. Melihat Syafiq yang asyik dan bahagia di sore itu, hatiku dipenuhi rasa syukur. Sore di Bendungan Karangnongko bukan hanya tentang jalan-jalan atau bermain di warung, melainkan tentang menciptakan kenangan yang akan selalu melekat di hati kami, kenangan yang akan tetap hidup meski waktu terus berputar.


Di penghujung sore, kami pun kembali pulang dengan hati yang penuh, membawa pulang kebahagiaan yang sederhana namun mendalam, seperti senja yang perlahan menyelimuti desa kami dengan kehangatan terakhirnya.


Kami melangkah pulang dengan langkah yang lebih lambat, seolah ingin memperpanjang momen-momen indah yang baru saja kami ciptakan. Langit mulai meredup, dan bayangan pepohonan di sekitar bendungan semakin memanjang, mengikuti jejak kami di jalan setapak yang mulai sunyi. Syafiq menggenggam tanganku erat, wajahnya masih menyimpan senyum yang ceria. Tak ada yang lebih membahagiakan daripada melihat Si Bungsu begitu puas dan gembira.


Saat kami melintasi tepi sungai, angin lembut menyapa kami, membawa aroma sungai yang segar dan sedikit asin. Aku teringat kisah-kisah yang kerap diceritakan oleh para tetua desa tentang kawasan ini sebelum bendungan berdiri. Dulu, hutan perhutani di sini dianggap angker oleh penduduk sekitar, penuh dengan misteri dan cerita rakyat yang mencekam. Tapi kini, bendungan yang sedang dibangun telah mengubah wajah kawasan ini menjadi tempat yang penuh dengan harapan dan kehidupan baru.


Pikiran-pikiran itu mengiringi langkah kami hingga tiba di pintu desa. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu, memberikan cahaya hangat yang menyambut kami kembali dari perjalanan sore yang penuh makna. Syafiq mulai mengantuk, kepalanya bersandar di lenganku, seolah enggan melepas hari yang telah memberinya begitu banyak kebahagiaan. Aku pun tersenyum, menyadari bahwa sore ini bukan hanya berarti untuknya, tapi juga bagiku.


Malam pun akhirnya menyelimuti desa kami, namun ingatan akan sore di Bendungan Karangnongko tetap bersinar terang di benakku. Aku tahu, suatu hari nanti, saat Syafiq telah dewasa dan mungkin berjalan-jalan sendiri di tepi bendungan yang kini menjadi bagian dari masa kecilnya, ia akan mengingat hari ini. Hari di mana ia dan ayahnya berjalan bersama, menikmati kebersamaan di bawah langit senja, di tempat yang menyimpan begitu banyak cerita, dari masa lalu, masa kini, hingga masa depan yang masih terbungkus misteri.


Dan dengan begitu, kami melangkah ke dalam rumah, menyambut malam dengan hati yang damai, membawa serta kisah sore itu ke dalam mimpi-mimpi yang indah. Sore di Bendungan Karangnongko akan selalu menjadi bagian dari perjalanan hidup kami, kenangan yang akan terus kami simpan, seindah senja yang menghiasi langit di atas sungai Bengawan Solo.

Malam itu, setelah kami tiba di rumah, suasana terasa begitu tenang. Syafiq sudah terlelap dalam tidurnya, dengan senyum kecil yang masih tersungging di bibirnya, seolah menyimpan kebahagiaan yang baru saja ia alami. Aku menatapnya dengan rasa kasih yang mendalam, merasa beruntung bisa memberikan kenangan seindah ini untuknya. Dalam keheningan malam, pikiranku kembali melayang ke momen-momen di sore tadi, ketika kami menjelajahi setiap sudut taman di Bendungan Karangnongko.


Bendungan yang sedang dibangun itu kini bukan hanya menjadi simbol kemajuan bagi desaku, tetapi juga saksi dari banyak kisah yang akan terus hidup di benak kami. Mungkin di masa depan, ketika bendungan ini telah selesai dan airnya mengalir deras mengisi waduk, ia akan menjadi sumber kehidupan baru bagi penduduk desa. Namun, bagiku dan Syafiq, bendungan ini sudah menjadi lebih dari sekadar proyek pembangunan; ia adalah latar dari kenangan-kenangan indah yang akan kami ingat sepanjang hidup.


Ketika malam semakin larut, aku duduk di beranda rumah, menatap bintang-bintang yang bersinar di langit. Di kejauhan, bayangan hutan perhutani yang dulu menutupi kawasan itu masih terlihat samar-samar, seperti hantu masa lalu yang enggan sepenuhnya pergi. Tapi kini, dengan pembangunan bendungan, kawasan ini telah berubah menjadi ruang yang penuh dengan potensi dan harapan.


Aku merenung, betapa perubahan selalu membawa dualitas; ada yang hilang, namun ada pula yang lahir. Hutan yang dulu dianggap angker, kini telah menjadi taman yang indah, tempat di mana anak-anakku bisa bermain dengan bebas dan riang. Sungai yang dulu mengalir liar, kini dikendalikan oleh bendungan yang megah, membawa janji kesejahteraan bagi kami semua. Dan dalam setiap perubahan itu, ada kisah-kisah kecil seperti yang aku alami bersama Syafiq, yang akan selalu menjadi bagian dari sejarah tempat ini.


Dengan pikiran-pikiran itu, aku akhirnya memutuskan untuk beristirahat. Di kamar, aku melihat Syafiq yang tidur nyenyak, dan tanpa terasa, aku pun tersenyum. Sore di Bendungan Karangnongko telah memberi kami lebih dari sekadar kesenangan sementara; ia telah menanamkan benih kenangan yang akan tumbuh seiring waktu, mengikat kami lebih erat sebagai keluarga.


Esok hari, kehidupan akan terus berjalan seperti biasa. Bendungan Karangnongko akan terus dibangun, sungai Bengawan Solo akan terus mengalir, dan aku akan kembali menjalani rutinitas harian. Namun, dalam hati, aku tahu bahwa momen sore itu, ketika kami berjalan bersama di bawah langit yang merona, akan selalu menjadi harta yang berharga. Dan ketika Syafiq terbangun esok pagi, mungkin ia akan mengingat senja di bendungan dengan senyum yang sama, senyum yang mengingatkan kita semua bahwa kebahagiaan sejati sering kali ditemukan dalam momen-momen sederhana yang kita bagi bersama orang-orang yang kita cintai.

Pagi pun tiba dengan lembutnya sinar matahari yang menyelinap melalui celah-celah jendela, membangunkan desa dari tidur malamnya. Aku terjaga lebih awal, mendapati diri masih tenggelam dalam hangatnya kenangan sore kemarin. Syafiq masih tertidur pulas di sampingku, wajahnya terlihat tenang, tanpa beban. Aku memutuskan untuk sejenak menikmati kedamaian pagi ini, sebelum kesibukan hari dimulai.


Sambil menikmati secangkir kopi di beranda, pikiranku kembali pada bendungan Karangnongko. Pemandangan sore itu seakan-akan masih terpatri jelas di benakku. Aliran sungai Bengawan Solo yang membelah hutan, bayangan pohon-pohon tua yang masih setia berdiri meski di sekitar mereka kini telah berubah. Aku teringat betapa Syafiq begitu ceria berlarian di sepanjang jalan setapak, sesekali berhenti untuk mengagumi pemandangan dari atas bukit kecil. Betapa menyenangkannya melihat dunia melalui mata seorang anak, di mana segala sesuatu tampak begitu baru dan penuh keajaiban.


Bendungan Karangnongko, yang tengah dibangun, memang telah mengubah lanskap desaku. Namun, lebih dari sekadar perubahan fisik, bendungan ini telah menjadi lambang dari perjalanan hidup kami—perjalanan yang penuh dengan tantangan, harapan, dan momen-momen berharga yang akan terus kami kenang. Di balik setiap batu yang disusun, setiap tetes air yang mengalir, ada cerita yang akan terus terukir di hati setiap orang yang pernah melangkah di kawasan ini.


Ketika Syafiq akhirnya terbangun, aku melihat sinar antusias di matanya. “Kapan kita bisa pergi ke bendungan lagi, Ayah?” tanyanya dengan penuh harap. Aku tersenyum, menyadari bahwa sore kemarin telah meninggalkan kesan mendalam di benaknya. “Kapan saja kamu mau, Nak,” jawabku, merasakan kebahagiaan yang sederhana namun begitu berarti.


Hari ini, kami mungkin akan kembali pada rutinitas biasa—aku dengan pekerjaanku, dan Syafiq dengan keceriaan masa kecilnya. Namun, aku tahu, di balik setiap aktivitas sehari-hari, kami akan selalu membawa serta kehangatan dan kebahagiaan yang kami alami di Bendungan Karangnongko. Dan suatu saat nanti, ketika bendungan itu telah selesai, mungkin Syafiq akan membawa anak-anaknya sendiri ke tempat yang sama, menceritakan kisah-kisah yang ia dengar dari ayahnya, dan menambahkan babak baru dalam sejarah keluarga kami.


Hari berganti hari, namun kenangan tentang sore itu akan terus hidup, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Bendungan Karangnongko akan terus menjadi saksi bisu dari perjalanan kami, sebuah monumen yang mengingatkan kami akan keindahan hidup yang sederhana, tentang kebahagiaan yang ditemukan di tengah alam, dan tentang cinta yang tumbuh dalam kehangatan keluarga.


Malam hari, setelah semua aktivitas selesai, aku dan Syafiq kembali duduk di beranda, menatap bintang-bintang yang mulai muncul di langit malam. “Ayah, apa bintang-bintang itu juga melihat kita waktu kita di bendungan?” tanyanya tiba-tiba, dengan tatapan polos yang membuat hatiku tersenyum.


“Ya, Nak,” jawabku sambil merangkulnya erat. “Bintang-bintang itu selalu ada, mereka melihat segalanya—baik siang maupun malam. Dan mereka akan selalu mengingat apa yang kita lakukan, seperti kita mengingat sore yang indah di Bendungan Karangnongko.”


Syafiq tersenyum, merasa puas dengan jawaban itu. Kami pun duduk di sana dalam keheningan yang damai, menikmati keindahan malam yang dibalut kenangan, membiarkan bintang-bintang di langit menjadi saksi dari cinta dan kebahagiaan yang kami bagi. Dan dalam heningnya malam, aku berdoa agar kebahagiaan ini akan terus menyertai kami, seperti aliran air yang tak pernah berhenti mengalir di sungai Bengawan Solo, menuju masa depan yang penuh harapan dan mimpi-mimpi indah.

0 comments:

Posting Komentar