Kamis, 03 Oktober 2024

"Hujan dan Kenangan: Ngopi Sore di Ngluwah"

(Foto Hanya Pemanis cerita)

Sore itu, langit baru saja berhenti menangis setelah hujan lebat yang mengguyur Dusun Jipangulu sejak siang. Udara masih basah oleh embun yang menggantung di daun-daun, dan tanah pun masih lembab, menyimpan jejak-jejak rintik air yang membasuh bumi. Dusun yang kini tengah menjadi bagian dari proyek besar pembangunan Bendungan Karang Nongko, menyisakan ketenangan yang syahdu saat matahari senja perlahan tenggelam di ufuk barat.


Di tepi dusun, ada sebuah kawasan yang dulu kami kenal sebagai "Ngluwah". Ngluwah tak lain adalah sebuah hutan kecil di pinggiran desaku. Hutan itu, bagi kami anak-anak desa, bukan hanya sekadar rimbunan pepohonan dan semak belukar, tapi sebuah arena kehidupan. Di sanalah kami bermain, berlari, tertawa, menggembala kambing, dan sesekali menantang diri memanjat pohon tertinggi. Setiap jengkal tanah di sana seolah menyimpan guratan cerita masa kecil kami, kenangan yang tak pernah pudar meski waktu terus berputar.


Namun kini, Ngluwah tak lagi sama. Perubahan telah merangkulnya dalam wujud yang baru. Kanan dan kiri jalan menuju Ngluwah berdiri warung-warung kecil, milik para tetangga dan teman-teman masa kecilku yang mencoba menghidupi keluarga dengan usaha UMKM. Di antara bangunan-bangunan sederhana itu, terasa betapa kehidupan terus berjalan, menciptakan peluang baru di tengah perubahan yang tak terhindarkan.


Selepas magrib, aku dan Mas Aris, Bujang Jiapangulu yang sedang menanti qudrot Illahi datangnya Bidadari, memutuskan untuk singgah di sebuah warung milik Pak Kades. Warung itu sederhana, tapi ada kehangatan yang tak bisa dibeli dengan uang di sana. Di meja kayu unik sebagai saksi sore ini, secangkir kopi panas mengepul di depan kami. Aroma kopi yang khas menguar, membawa serta kenangan masa lalu yang kembali terlintas di benakku.


"Ngluwah memang sudah banyak berubah, ya?" gumamku sambil menyeruput kopi pelan.


Mas Aris mengangguk pelan, matanya menerawang jauh ke arah pepohonan yang masih tersisa di ujung sana. "Iya, tapi kenangannya nggak pernah berubah. Rasanya baru kemarin kita main dan mengumbar tawa di sini."


Aku tersenyum tipis, menyadari betapa waktu telah mengubah banyak hal di sekitar kami, tapi kenangan itu tetap utuh, tersimpan rapi di dalam hati. Di tengah segala perubahan, ada sesuatu yang tak bisa disentuh oleh waktu, yaitu perasaan dan memori yang terukir dari masa kecil. Kopi sore itu seolah menjadi pengantar bagi kami untuk kembali meresapi masa lalu, meski hanya sejenak, sebelum kembali berhadapan dengan kenyataan yang terus bergerak maju.


Ngopi di Ngluwah, di bawah langit yang perlahan mulai gelap, diiringi suara jangkrik dan riuh rendah kehidupan malam dusun, menjadi momen yang begitu syahdu. Rasanya seperti melintasi batas waktu, berdamai dengan perubahan, dan mensyukuri setiap langkah yang telah diambil dalam perjalanan hidup ini.


Di sini, di antara tegukan kopi yang hangat, aku menemukan ketenangan. Ketenangan yang hanya bisa dirasakan di tempat yang penuh dengan kenangan, di mana setiap sudutnya pernah menjadi saksi bisu perjalanan hidupku.


Selain Mas Aris, Pak Lurah tiba-tiba ikut merapat menghampiri kami. Beliau dengan senyumnya yang ramah membawa secangkir kopi yang baru saja dibuat di warungnya sendiri, kemudian duduk di sebelah kami. Kehadirannya menambah hangat suasana sore yang perlahan mulai berubah gelap. Obrolan kami, yang semula hanyut dalam kenangan masa kecil, beralih menjadi bincang-bincang ringan yang mengalir santai.


"Eh, gimana kabar kalian berdua?" tanya Pak Lurah, menyelipkan pertanyaan yang terdengar akrab, seperti seorang teman lama yang tak pernah berjarak.


"Baik, Pak. Habis capek muter-muter proyek bendungan, sekarang ngopi dulu," jawab Mas Aris sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk kecil, membenarkan jawaban Mas Aris.


Obrolan pun berlanjut, membahas beberapa hal aktual yang sedang terjadi di desa. Dari proyek bendungan yang terus berjalan, hingga isu-isu kecil di kampung, semuanya kami bahas dengan santai. Namun, di tengah topik yang cukup serius itu, sesekali tawa kami pecah karena candaan-candaan ringan yang mewarnai percakapan. Suasana menjadi semakin hangat, seolah tak ada jarak antara kami bertiga, meski Pak Lurah adalah pemimpin desa.


"Oh iya, tadi aku pulang kehujanan, padahal cuma beberapa meter dari sini," cerita Pak Lurah tiba-tiba, mengubah topik dengan kisah yang baru saja dialaminya.


Aku dan Mas Aris langsung tertawa mendengarnya. Pak Lurah ikut tertawa, sambil menggelengkan kepala seolah tak percaya dirinya bisa begitu apes.


"Tadi habis belanja buat warung, sudah mendung, tapi kupikir hujan nggak bakal deras. Eh, ternyata baru jalan sebentar, hujan turun lebat sekali!" lanjut Pak Lurah dengan ekspresi lucu.


Mas Aris terkekeh, "Untung nggak sampai masuk angin, Pak. Hujan tadi deras banget, lho. Aku aja sampai nggak bisa lihat jelas jalan."


"Iya, makanya. Untung nggak jauh-jauh amat. Kalau nggak, bisa basah kuyup kayak orang baru saja nyemplung kali," sahut Pak Lurah, mencoba bercanda dengan wajah yang masih sedikit mengernyit mengingat kejadian tadi.


Kisah kehujanan Pak Lurah itu membuat suasana semakin cair. Tawa kami bersahutan di antara desiran angin malam yang mulai menyentuh lembut kulit. Di tengah gelapnya malam yang perlahan semakin menelan senja, percakapan kami seolah menjadi pengisi kekosongan, menciptakan momen sederhana yang penuh kebersamaan.


Kami tak membahas hal-hal besar yang mungkin bisa mengubah dunia, tapi di situ ada kehangatan yang tak bisa diukur dengan materi. Ada canda, tawa, dan cerita yang membuat kami merasa kembali muda—kembali seperti anak-anak yang dulu bermain bebas di Ngluwah, tanpa beban kehidupan dewasa yang kini ada di pundak masing-masing.


"Yah, hidup memang seperti hujan, nggak bisa ditebak kapan datangnya," ucap Pak Lurah sambil tersenyum bijak. Aku dan Mas Aris hanya bisa tersenyum mendengar pernyataan sederhana itu, tapi terasa begitu dalam.


Ngopi sore di Ngluwah, dengan segelas kopi dan cerita ringan di antara teman lama, menjadi pengingat betapa indahnya momen-momen kecil seperti ini—momen yang seringkali terlupakan di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang kian cepat bergerak.

0 comments:

Posting Komentar