(Makam Ki Ageng Tarub)
Pada Sabtu pagi, 21 September 2024, suasana penuh khidmat menyelimuti Desa Ngelo. Pukul 06.00 tepat, rombongan ziyaroh wali yang terdiri dari jajaran Pemerintah Desa Ngelo berangkat dari Jipangulu dengan satu tujuan mulia—menziarahi makam para wali Allah di Jawa Tengah. Rombongan ini dipimpin langsung oleh Kepala Desa, didampingi oleh para Kepala Urusan (KAUR), Kepala Dusun (KASUN), dan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Mereka semua bersatu dalam satu niat yang tulus, mengharap ridho Allah dan keberkahan dari para wali.
Dalam perjalanan ziyaroh ini, saya diberikan kehormatan untuk menjadi imam sekaligus pemandu. Sebagai seorang penyuluh agama, tanggung jawab ini saya emban dengan penuh rasa syukur, mengingat betapa pentingnya spiritualitas dalam setiap langkah perjalanan. Kami memulai perjalanan dengan do’a bersama, memohon kepada Allah agar diberikan kelancaran dan keberkahan dalam setiap kunjungan kami.
Destinasi pertama kami adalah Maqom Ki Ageng Tarub, atau yang lebih dikenal dengan nama Joko Tarub, di Tarub, Purwodadi. Dalam tradisi keagamaan masyarakat Jawa, sosok Joko Tarub dikenal sebagai tokoh yang berperan besar dalam penyebaran Islam di tanah Jawa, sehingga maqomnya sering menjadi tempat berziarah bagi mereka yang ingin mendekatkan diri kepada Allah melalui wasilah para wali-Nya.
Sepanjang perjalanan, suasana di dalam kendaraan dipenuhi dengan lantunan dzikir dan shalawat, menambah kekhusyukan rombongan dalam perjalanan spiritual ini. Sesekali, saya menyampaikan tausiyah singkat tentang pentingnya ziyaroh sebagai bentuk penghormatan kepada para wali yang telah berjuang menegakkan agama Allah di Nusantara.
Kegiatan ziyaroh ini bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin. Setiap langkah yang kami ambil diiringi dengan harapan agar rahmat Allah senantiasa menaungi kami dan seluruh masyarakat Desa Ngelo. Kami percaya, dengan berziaroh ke makam wali, bukan hanya doa-doa kami yang lebih dekat terkabul, tetapi juga keberkahan para wali bisa membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi desa kami tercinta.
Setelah menyelesaikan rangkaian ritual di Maqom Ki Ageng Tarub, suasana syahdu tetap terasa menyelimuti rombongan. Kami bersama-sama melantunkan do'a, memohon keberkahan dari Allah melalui wasilah Ki Ageng Tarub, seorang wali yang memiliki peran besar dalam penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa. Doa-doa kami mengalir khusyuk, diiringi harapan agar perjalanan ini membawa keberkahan, tidak hanya bagi diri kami pribadi, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Desa Ngelo.
Setelah prosesi ziyaroh selesai, kami tak lupa menyempatkan diri untuk berfoto bersama di sekitar maqom, sebagai kenang-kenangan atas perjalanan spiritual ini. Wajah-wajah para peserta tampak cerah, seakan merasakan ketenangan dan kebahagiaan tersendiri setelah menziarahi salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam Jawa. Momen ini menjadi pengingat bahwa di balik perjalanan ziyaroh, selalu ada rasa kebersamaan yang terjalin di antara kami, para pelayan masyarakat Desa Ngelo.
(Aula Makam Ki Ageng Selo)
Tanpa berlama-lama, perjalanan kami lanjutkan menuju tujuan berikutnya, yakni Maqom Ki Ageng Selo. Letaknya tidak terlalu jauh, dan meskipun jalan yang kami lalui terkadang berliku dan berbukit, semangat kami tidak surut. Ki Ageng Selo adalah sosok wali yang dikenal luas dengan karomah dan keutamaan ilmu agamanya. Banyak yang percaya bahwa ia memiliki kemampuan luar biasa, termasuk mampu ‘menangkap petir,’ sebuah simbol dari ketakwaannya yang luar biasa kepada Allah SWT.
Sepanjang perjalanan, kami kembali melantunkan dzikir dan shalawat, mengiringi setiap kilometer yang kami tempuh. Saya, sebagai pemandu perjalanan, bermuhasabah mengenai sejarah dan keutamaan Ki Ageng Selo, menekankan pentingnya meneladani ketakwaan dan kebersahajaan para wali. Rasa haru dan kekaguman kepada para leluhur Islam ini makin kuat dirasakan oleh seluruh peserta ziyaroh.
Sesampainya di Maqom Ki Ageng Selo, kami disambut oleh suasana tenang dan sejuk. Pohon-pohon besar yang rindang melindungi tempat ini, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan spiritual yang kami tempuh. Kami langsung menuju area maqom untuk melanjutkan ritual ziyaroh dengan penuh khusyuk, mempersembahkan doa-doa terbaik untuk kebaikan dunia dan akhirat. Berdoa di tempat-tempat yang penuh berkah seperti ini, bagi kami, adalah sebuah anugerah, kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memohon petunjuk-Nya dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Setelah menyelesaikan ritual ziyaroh di Maqom Ki Ageng Selo, suasana khidmat kembali terasa menyelimuti seluruh peserta. Di bawah naungan pohon-pohon besar yang meneduhkan, kami melantunkan doa-doa dengan penuh kekhusyukan, memohon agar Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan keberkahan melalui perantara wali yang begitu masyhur ini. Wajah-wajah para peserta tampak semakin berseri, mungkin karena mereka merasakan ketenangan batin setelah ziyaroh di tempat yang begitu sakral.
Setelah prosesi doa, kami kembali menyempatkan diri untuk berfoto bersama sebagai tanda kenangan perjalanan ini. Setiap peserta tampak antusias, berbagi senyuman dan kebersamaan di tengah perjalanan spiritual yang penuh makna ini. Foto-foto ini nantinya bukan hanya menjadi dokumentasi perjalanan, tetapi juga simbol dari kebersamaan kami sebagai keluarga besar Pemerintah Desa Ngelo, yang dalam setiap langkahnya senantiasa berharap pada ridho dan keberkahan dari Allah SWT.
(Masjid Kadilangu Komplek Makam Sunan Kalijogo)
Tanpa menunggu lama, perjalanan berikutnya kami lanjutkan menuju destinasi yang sudah dinanti-nantikan, yakni Maqom Raden Sa’id atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Kalijogo di Kadilangu, Demak Bintoro. Sosok Sunan Kalijogo memiliki tempat yang istimewa dalam hati setiap muslim di Nusantara, terutama karena kebijaksanaan dan metode dakwahnya yang begitu lembut dan mendalam. Sunan Kalijogo dikenal sebagai wali yang menyebarkan Islam dengan penuh toleransi, seni, dan budaya yang begitu dekat dengan masyarakat Jawa pada zamannya.
Perjalanan menuju Demak terasa semakin berkesan. Sepanjang jalan, saya kembali mengajak rombongan untuk bershalawat dan berdzikir, menjaga suasana hati tetap tenang dan berserah diri kepada Allah. Saya juga menyempatkan diri bercerita sedikit tentang sejarah Sunan Kalijogo—bagaimana beliau berdakwah melalui seni wayang dan tembang, serta peran besarnya dalam membangun peradaban Islam di Jawa. Cerita-cerita ini, saya harapkan, tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga memperdalam cinta kami kepada para wali dan ajaran-ajaran mereka yang penuh dengan kearifan.
Sesampainya di Kadilangu, kami disambut dengan suasana yang sangat berbeda—lebih ramai, karena banyaknya peziarah yang datang dari berbagai daerah untuk berziaroh ke Maqom Sunan Kalijogo. Meskipun ramai, suasana di sekitar maqom tetap penuh ketenangan dan spiritualitas. Kami segera menuju maqom, berbaur dengan para peziarah lain yang juga datang dengan niat yang sama: memohon ridho dan keberkahan Allah melalui wasilah salah satu wali terbesar di Nusantara.
Ritual ziyaroh di Maqom Sunan Kalijogo kami lakukan dengan penuh rasa haru. Melantunkan doa dan tahlil di tempat yang begitu bersejarah ini, hati kami serasa terhubung dengan perjalanan dakwah dan perjuangan panjang yang dilakukan oleh para wali untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Seusai doa, kami menyempatkan diri untuk sejenak merenung dan mengambil pelajaran dari kebesaran sosok Sunan Kalijogo, yang tak hanya berperan dalam penyebaran Islam, tetapi juga membangun harmoni di tengah masyarakat melalui pendekatan budaya.
Setelah itu, sebelum melanjutkan perjalanan, kami kembali berfoto sejenak di sekitar area maqom. Momen ini menjadi momen yang indah dari perjalanan ziyaroh yang penuh berkah, sekaligus menjadi pengingat bahwa perjalanan spiritual kami bukan hanya sekadar ziyaroh fisik, tetapi juga perjalanan batin yang memperkuat iman dan harapan akan ridho dan keberkahan Allah bagi kami dan seluruh masyarakat Desa Ngelo.
Setelah menyelesaikan ritual di Maqom Sunan Kalijogo, suasana ziyaroh yang penuh ketenangan masih menyelimuti rombongan kami. Di tengah hiruk-pikuk peziarah yang datang dari berbagai pelosok, kami melanjutkan ritual dengan khusyuk, berharap agar setiap doa yang terucap dari hati yang tulus di maqom wali besar ini membawa keberkahan bagi diri kami dan masyarakat Desa Ngelo.
Setelah prosesi doa dan tahlil, kami kembali menyempatkan diri untuk berfoto sejenak di sekitar maqom Sunan Kalijogo. Senyum yang terpancar di wajah para peserta mencerminkan kepuasan batin setelah ziyaroh ini, dan rasa kebersamaan di antara kami semakin erat terjalin. Dokumentasi foto ini tidak hanya menjadi kenangan dari perjalanan spiritual kami, tetapi juga simbol persatuan dan niat tulus untuk terus membawa kebaikan bagi desa dan masyarakat kami.
Tanpa menunda lebih lama, perjalanan kami lanjutkan menuju destinasi berikutnya, yaitu Maqom Raden Fatah dan keluarga besar Raja Demak di area Masjid Agung Demak, Bintoro. Perjalanan ini terasa semakin bermakna, mengingat Raden Fatah merupakan pendiri Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama dan terbesar di Jawa. Beliau tidak hanya dikenal sebagai seorang raja yang bijaksana, tetapi juga sebagai seorang tokoh penyebar Islam yang mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kebijaksanaan dalam memimpin.
Saat mendekati Demak, rombongan kami disambut oleh pemandangan megahnya Masjid Agung Demak, sebuah masjid bersejarah yang menjadi saksi kebesaran peradaban Islam di Jawa. Masjid ini, yang dibangun oleh Walisongo di bawah kepemimpinan Raden Fatah, berdiri kokoh sebagai simbol penyebaran agama Islam dan pusat kegiatan keagamaan pada masanya. Melihat masjid ini dari kejauhan, hati kami dipenuhi rasa haru dan kagum akan sejarah besar yang ada di baliknya.
(Museum Masjid Agung Demak Komplek Makam Raden Fatah)
Sesampainya di area makam Raden Fatah dan keluarga besar Kesultanan Demak, kami segera berkumpul untuk melaksanakan ziyaroh. Doa-doa dipanjatkan dengan penuh kekhidmatan, mengingat jasa besar Raden Fatah dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa dan membangun pondasi yang kokoh bagi peradaban Islam di Nusantara. Sebagai pendiri Kesultanan Demak, Raden Fatah adalah sosok yang tidak hanya dihormati karena kehebatannya sebagai pemimpin, tetapi juga karena ketakwaannya kepada Allah dan kecintaannya pada agama.
Setelah melantunkan doa dan tahlil, kami juga menyempatkan diri untuk merenungi perjuangan besar yang dilakukan oleh keluarga besar Kesultanan Demak. Merenungi peran mereka dalam memperkuat Islam di Nusantara, memberikan kami inspirasi untuk terus berjuang dan berdakwah dengan penuh keteguhan, sebagaimana para leluhur kita telah melakukannya.
Di akhir ritual, kami sekali lagi menyempatkan diri untuk mengambil foto bersama di sekitar area Masjid Agung Demak. Berdiri di depan masjid yang penuh sejarah ini, kami merasa tersambung dengan perjalanan panjang peradaban Islam di Jawa. Dokumentasi ini menjadi penutup yang sempurna dari rangkaian ziyaroh wali yang kami lakukan hari itu.
Dengan hati yang penuh rasa syukur dan harapan, kami melanjutkan perjalanan pulang, membawa serta doa-doa dan keberkahan yang kami harapkan akan memberi dampak baik bagi kami semua, terutama bagi masyarakat Desa Ngelo. Perjalanan ziyaroh ini bukan hanya sekadar mengenang sejarah, tetapi juga memperkuat iman kami dan mempererat ikatan kebersamaan dalam melayani masyarakat dengan penuh keikhlasan, sebagaimana para wali dan tokoh Islam besar yang kami ziarahi telah memberikan teladan bagi kami semua.
Setelah menyelesaikan ritual di Maqom Raden Fatah, kami tak lupa menyempatkan diri untuk berfoto sejenak di area Museum Kerajaan Demak yang terletak tak jauh dari Masjid Agung Demak. Museum ini menjadi saksi bisu sejarah kejayaan Kesultanan Demak, memperlihatkan berbagai artefak dan peninggalan yang menjadi bagian dari perjalanan Islam di Nusantara. Melihat benda-benda bersejarah ini, kami seolah terseret kembali ke masa lalu, membayangkan betapa besar pengaruh Raden Fatah dan Kesultanan Demak dalam menyebarkan agama Islam dan menjaga kearifan lokal.
Para peserta ziyaroh tampak antusias, tak hanya karena kebersamaan yang terjalin erat, tetapi juga karena kesempatan untuk menapaki jejak sejarah yang begitu kaya. Foto-foto yang kami ambil di sekitar museum tidak hanya menjadi dokumentasi perjalanan, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan akan warisan sejarah Islam di Jawa. Kami semua merasa terinspirasi oleh kejayaan masa lalu, yang seharusnya menjadi teladan bagi kita dalam menjaga keimanan dan tanggung jawab sebagai pemimpin masyarakat.
Setelah meninggalkan Museum Kerajaan Demak, perjalanan kami lanjutkan menuju tujuan berikutnya, yakni Maqom Sunan Kudus dan keluarga besarnya yang terletak di area Masjid Al-Aqso Menara Kudus. Sunan Kudus adalah salah satu dari Walisongo, sosok yang dikenal dengan dakwahnya yang bijak dan toleran, menggunakan pendekatan budaya dan filosofi yang mampu menyentuh hati masyarakat Jawa kala itu. Beliau menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang harmonis, menggabungkan unsur-unsur lokal dengan nilai-nilai Islam, sehingga masyarakat dapat menerimanya dengan mudah.
Perjalanan menuju Kudus terasa semakin sarat makna. Saya kembali memimpin doa dan dzikir di sepanjang perjalanan, menjaga suasana hati para peserta tetap tenang dan fokus pada tujuan spiritual kami. Dalam perjalanan ini, saya juga mengisahkan betapa pentingnya peran Sunan Kudus dalam membangun Islam yang damai dan penuh toleransi, khususnya di kalangan masyarakat Jawa. Kisah-kisah tentang kebijaksanaan Sunan Kudus, seperti cara beliau mengajarkan tauhid melalui simbol-simbol yang dikenal masyarakat, menambah rasa kagum kami akan para wali.
Sesampainya di Masjid Al-Aqso Menara Kudus, kami disambut dengan pemandangan menara masjid yang begitu ikonik, salah satu warisan arsitektur Islam yang unik. Menara ini menggabungkan elemen budaya Hindu-Buddha dengan konsep Islam, mencerminkan cara Sunan Kudus berdakwah yang menghormati tradisi lokal tanpa mengorbankan esensi ajaran Islam. Area masjid dipenuhi peziarah, namun suasana tetap khusyuk dan tenang, mencerminkan betapa besarnya pengaruh spiritual dari tempat ini.
Kami segera menuju Maqom Sunan Kudus dan keluarga besarnya. Ritual ziyaroh kami lakukan dengan penuh kekhidmatan, melantunkan doa-doa terbaik, berharap agar Allah SWT melimpahkan rahmat dan keberkahan melalui perantara Sunan Kudus, seorang wali yang dikenal sangat bijaksana. Di hadapan maqom beliau, kami merenungkan betapa luar biasanya peran Sunan Kudus dalam menyebarkan Islam yang penuh hikmah dan kedamaian. Beliau tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga menciptakan harmoni antara agama dan budaya, yang hingga kini tetap menjadi contoh dalam dakwah Islam.
Setelah doa-doa dipanjatkan, kami menyempatkan diri untuk berfoto di area sekitar Menara Kudus dan masjid. Foto-foto ini mengabadikan momen berharga dalam perjalanan ziyaroh kami, menjadi kenang-kenangan dari perjalanan spiritual yang penuh hikmah. Selain sebagai dokumentasi, foto ini juga melambangkan komitmen kami untuk terus menjaga nilai-nilai keislaman yang penuh toleransi, sebagaimana telah dicontohkan oleh Sunan Kudus.
Perjalanan ziyaroh ini benar-benar memperkaya batin kami. Dari satu maqom wali ke maqom lainnya, kami tidak hanya belajar tentang sejarah Islam di Jawa, tetapi juga menyerap kebijaksanaan yang diajarkan para wali dalam menjalani kehidupan. Setelah menyelesaikan ziyaroh di Maqom Sunan Kudus, kami melanjutkan perjalanan pulang dengan hati yang penuh rasa syukur, membawa serta doa-doa dan harapan agar perjalanan ini memberikan keberkahan bagi kami, keluarga, dan seluruh masyarakat Desa Ngelo.
Setelah menyelesaikan ritual ziyaroh di Maqom Sunan Kudus, hari mulai beranjak senja. Kami memutuskan untuk berbuka puasa bersama di area sekitar Masjid Al-Aqso Menara Kudus. Suasana berbuka terasa hangat, penuh keakraban dan rasa syukur setelah menjalani rangkaian perjalanan spiritual ini. Masing-masing dari kami membawa bekal sederhana, namun kebersamaan inilah yang membuat momen berbuka menjadi begitu istimewa.
Setelah berbuka, kami segera menunaikan salat Maghrib berjamaah di Masjid Menara Kudus. Keagungan masjid ini, dipadukan dengan kekhidmatan ibadah di dalamnya, semakin memperdalam rasa spiritual kami. Suasana penuh ketenangan menyelimuti hati kami semua, seolah Sunan Kudus yang begitu dikenal dengan dakwah damainya, masih memberikan bimbingan kepada setiap peziarah yang datang. Usai berjamaah, kami menyempatkan diri lagi untuk berfoto sejenak, mengabadikan momen-momen berharga ini di sekitar menara yang ikonik tersebut.
Tanpa membuang waktu, perjalanan kami lanjutkan menuju Maqom Sunan Muria di puncak Gunung Muria, salah satu wali yang juga sangat dihormati di kalangan Walisongo. Namun, saat meninggalkan area Maqom Sunan Kudus, kami harus menghadapi tantangan yang tak terduga—kemacetan yang luar biasa di jalan keluar. Kendaraan berdesakan, sementara jalan sempit membuat lalu lintas sangat tersendat. Selama sekitar 30 menit, kami berjibaku dengan kemacetan tersebut. Meski sedikit menguras kesabaran, namun kami tetap berusaha menjaga semangat dan niat baik dalam perjalanan ini, berharap bahwa kesulitan ini menjadi bagian dari ujian kesabaran dalam ziyaroh kami.
Akhirnya, setelah berusaha keluar dari kemacetan, kami tiba di pelataran Makam Sunan Muria. Perasaan lega dan penuh syukur kembali menyelimuti rombongan kami setelah sampai di tempat ini. Area Gunung Muria yang sejuk dan tenang menyambut kedatangan kami. Sebelum melanjutkan ritual ziyaroh, kami semua mengambil waktu untuk membersihkan diri. Beberapa di antara kami mandi, sementara yang lainnya berwudhu di area yang telah disediakan. Air yang mengalir dari pegunungan Muria terasa begitu segar, seolah memberikan kesucian dan ketenangan kepada tubuh dan jiwa kami yang telah menempuh perjalanan panjang.
Persiapan ini kami lakukan dengan penuh kesadaran bahwa mendekati maqom seorang wali haruslah dengan tubuh yang bersih dan hati yang suci. Sunan Muria dikenal sebagai wali yang sangat sederhana, dekat dengan masyarakat pegunungan, dan ajaran-ajarannya sangat meresap di hati masyarakat sekitar. Beliau adalah sosok yang rendah hati dan penuh kebijaksanaan, yang mengajarkan nilai-nilai Islam melalui pendekatan lokal dan kebudayaan masyarakat setempat.
Dengan tubuh yang bersih dan hati yang tenang, kami siap melanjutkan ziyaroh ke maqom Sunan Muria dan keluarganya, berharap memperoleh keberkahan dan bimbingan dari Allah SWT melalui perantara para wali-Nya yang mulia. Perjalanan ziyaroh ini tidak hanya memperdalam ikatan spiritual kami, tetapi juga memperkuat semangat kami untuk terus mengamalkan ajaran Islam yang damai dan penuh hikmah, seperti yang diajarkan oleh para wali Allah di tanah Jawa ini.
(Pangkalan Ojek Sunan Muria)
Setelah merasa cukup bersih dan siap untuk melanjutkan ziyaroh, kami segera bergegas menuju puncak Gunung Muria. Medan yang menantang membuat kami memilih menggunakan jasa ojek untuk mencapai puncak dengan lebih cepat. Inilah momen yang menghadirkan sensasi tersendiri dalam perjalanan ziyaroh kami—perjalanan naik ojek di Gunung Muria yang terkenal curam dan berliku.
Saat duduk di atas motor, kami berpegang erat pada joki ojek yang sudah sangat mahir melintasi jalur-jalur terjal pegunungan ini. Dengan kecepatan yang menegangkan, tukang ojek membawa kami melewati tanjakan-tanjakan curam dan tikungan tajam. Setiap tikungan membuat jantung kami berdebar lebih cepat, seolah-olah sedang melintasi jalur roller coaster alami. Beberapa dari kami tak kuasa menahan tawa bercampur adrenalin, meski tetap harus menjaga keseimbangan dan berdoa dalam hati agar perjalanan ini lancar tanpa hambatan.
Namun, di balik sensasi mendebarkan tersebut, keindahan alam kawasan Gunung Muria perlahan-lahan tersingkap di depan mata. Pemandangan hutan-hutan hijau yang rimbun, lembah-lembah yang menghampar, dan kabut tipis yang menyelimuti sebagian lereng gunung, seolah memanjakan pandangan kami di sepanjang perjalanan. Udara sejuk yang menyegarkan menjadi teman setia, memberikan ketenangan di tengah detak jantung yang berdegup kencang.
Keindahan alam ini begitu mempesona, seolah menjadi tanda kebesaran Allah yang tercermin dalam ciptaan-Nya. Gunung Muria yang menjadi rumah bagi salah satu wali besar, Sunan Muria, kini juga menghadirkan ketenangan spiritual dalam setiap tarikan napas kami. Di antara suara deru motor yang menderu kencang di tanjakan, kami masih bisa merasakan kedamaian yang luar biasa dari suasana pegunungan ini.
Setiap detik perjalanan mendaki Gunung Muria dengan ojek ini memberi kami pengalaman yang tak terlupakan. Meski sesekali kami harus menahan napas saat melewati tikungan tajam dengan kecepatan tinggi, ada rasa kagum yang tak terungkap ketika menyaksikan keindahan yang terpampang luas di depan mata. Di sela-sela canda tawa yang timbul karena sensasi mendebarkan, kami tetap merasakan keagungan dan keindahan ciptaan Allah yang tak tertandingi.
(Pintu Masuk Komplek Makam Sunan Muria)
Akhirnya, setelah melewati perjalanan yang mendebarkan namun penuh pesona ini, kami tiba di puncak Gunung Muria, tempat maqom Sunan Muria berada. Hati kami semakin dipenuhi oleh rasa syukur dan kekaguman, bukan hanya karena berhasil menempuh perjalanan yang menantang, tetapi juga karena kesempatan untuk menyambung silaturahmi spiritual dengan salah satu wali Allah yang penuh hikmah dan kesederhanaan. Kami pun siap melanjutkan ziyaroh dengan hati yang bersih dan semangat yang baru, meresapi setiap doa yang kami panjatkan di tempat yang penuh berkah ini.
Sesampainya di puncak Gunung Muria, kami semua bersama-sama memasuki kawasan makam dengan penuh khidmat. Langkah-langkah kami terasa lebih pelan, seolah diselimuti oleh aura kesucian dan kedamaian yang terpancar dari tempat tersebut. Maqom Sunan Muria, yang dikelilingi oleh alam pegunungan yang tenang, menghadirkan suasana yang sarat dengan ketenangan batin. Para peziarah, termasuk kami, memasuki area makam dengan hati penuh rasa hormat dan khusyuk.
Tanpa membuang waktu, kami mulai melaksanakan ritual ziyaroh dengan penuh keikhlasan. Setiap lantunan doa yang kami panjatkan terasa menyatu dengan hembusan angin pegunungan yang lembut. Kami memulai dengan membaca tahlil dan zikir, memohon ampunan dan ridho dari Allah SWT melalui perantaraan Sunan Muria dan keluarganya yang dimakamkan di sini. Di tengah keheningan malam, kami merasakan kehadiran spiritual yang kuat, seakan-akan doa-doa kami dihantarkan langsung kepada Sang Maha Kuasa.
Setelah tahlil selesai, kami melanjutkan dengan mujahadah bersama. Dalam suasana yang penuh dengan kesyahduan, setiap dari kami tenggelam dalam doa-doa pribadi. Ini adalah momen di mana kami memadu harapan dan meramu doa kepada Ilahi, memohon perlindungan, keberkahan, dan petunjuk dalam menjalani kehidupan. Di hadapan maqom wali Allah yang penuh berkah ini, kami memohon agar segala niat baik kami dikabulkan dan diberikan kemudahan oleh-Nya.
Harapan-harapan kami melangit, seperti doa-doa yang tak henti kami bisikkan dalam hati. Di tengah kesunyian Gunung Muria, kami menyerahkan segala urusan hidup kepada Allah, berharap agar keberkahan para wali Allah ini bisa membawa cahaya bagi jalan hidup kami. Setiap doa yang dipanjatkan terasa begitu tulus, mencerminkan keyakinan kami bahwa setiap langkah dalam ziyaroh ini adalah upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.
Momen mujahadah ini bukan hanya menjadi waktu untuk berdoa, tetapi juga saat untuk merenung. Kami merenungi perjalanan hidup, tantangan yang dihadapi, serta harapan yang ingin dicapai. Di sini, di depan makam Sunan Muria, kami menemukan ketenangan dalam doa, mengalirkan segala kegelisahan dan memohon bimbingan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.
Setelah mujahadah dan doa bersama selesai, kami semua merasakan kedamaian yang luar biasa. Hati kami terasa lebih ringan, dipenuhi dengan rasa syukur dan harapan baru. Kami menyadari bahwa ziyaroh ini bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendalam—sebuah kesempatan untuk memperbaiki diri, memperkuat iman, dan memperbaharui semangat hidup di bawah ridho Allah SWT dan keberkahan para wali-Nya.
Setelah menyelesaikan seluruh rangkaian ritual di maqom Sunan Muria, kami menyempatkan berfoto-foto sejenak di area makam. Momen ini terasa begitu istimewa, karena di balik kesederhanaan ziyaroh, ada kebersamaan dan kekompakan yang terjalin kuat. Foto-foto yang diambil bukan sekadar dokumentasi perjalanan, melainkan kenangan spiritual yang kami bawa pulang—menjadi pengingat akan ketulusan doa yang dipanjatkan dan keberkahan yang dirasakan.
Ketika tiba saatnya untuk turun dari puncak Gunung Muria, kami terbagi menjadi dua kelompok. Saya, bersama Pak Kades Ngelo, memutuskan untuk tetap menggunakan ojek. Meski perjalanan naik sebelumnya cukup mendebarkan, kami merasa lebih praktis dan cepat dengan cara ini. Namun, sebagian besar peserta lainnya, terutama yang merasa sedikit trauma dengan pengalaman naik ojek yang menantang, memilih untuk turun dengan berjalan kaki. Mereka mengambil jalur menurun sambil menikmati keindahan alam Gunung Muria, yang terlihat lebih santai dari jalur pendakian.
Menuruni jalur pegunungan Muria dengan berjalan kaki memang menawarkan pengalaman yang berbeda. Selain lebih tenang, peserta yang memilih berjalan kaki juga sempat berhenti di beberapa kios oleh-oleh yang ada di sepanjang jalur turun. Mereka membeli suvenir khas daerah Muria, mulai dari makanan ringan hingga kerajinan tangan lokal, sebagai buah tangan untuk keluarga di rumah.
Sementara itu, saya dan Pak Kades melaju di atas ojek, kembali merasakan sensasi angin pegunungan yang dingin menyejukkan tubuh. Jalur menurun terasa lebih mudah bagi joki ojek, namun kami tetap menjaga keseimbangan dan berpegang erat, mengingat betapa curamnya jalur tersebut. Di antara perasaan lega dan kegembiraan, kami merenungi perjalanan ziyaroh yang sudah setengah jalan kami lalui.
Sesampainya di titik pertemuan di bawah, kami menunggu rombongan yang turun berjalan kaki sembari berbagi cerita tentang pengalaman masing-masing. Setelah semua kembali berkumpul, perjalanan kami lanjutkan ke tujuan berikutnya: Maqom Syekh Jangkung, yang terletak di Landoh, Kayen, Pati Selatan. Syekh Jangkung, atau Saridin, adalah tokoh legendaris yang memiliki kisah menarik dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa. Selain Syekh Jangkung sendiri, keluarganya juga dimakamkan di area ini.
(Pintu Masuk Utara Komplek Makam Syaih Jangkung)
Perjalanan menuju maqom Syekh Jangkung diwarnai dengan keheningan batin, mungkin karena kami sudah melewati beberapa makam wali besar, dan rasa khusyuk serta syukur semakin dalam terasa. Kami memahami bahwa ziyaroh ini bukan hanya soal menghormati para wali, tetapi juga upaya untuk menguatkan diri dalam iman dan ketakwaan kepada Allah. Dengan hati yang penuh harapan dan jiwa yang semakin lapang, kami pun melanjutkan perjalanan ziyaroh ini, dengan niat untuk terus mendekatkan diri pada ridho-Nya.
Sesampainya di Maqom Syekh Jangkung, waktu telah beranjak ke puncak malam. Kegelapan langit yang pekat disertai udara dingin pegunungan memberikan nuansa syahdu yang mengiringi langkah kami. Karena waktu Isya' sudah masuk, kami memutuskan untuk melaksanakan sholat Isya’ berjamaah sebelum memulai ritual ziyaroh di maqom ini. Di tengah suasana hening dan khusyuk, kami bersiap-siap untuk berwudhu dan melaksanakan sholat dengan penuh kekhidmatan.
Sholat Isya’ berjamaah ini menjadi momen perenungan tersendiri bagi kami. Di tengah perjalanan panjang ini, sholat terasa sebagai titik penyegaran, baik secara fisik maupun spiritual. Setelah usai menunaikan kewajiban, kami segera bergerak menuju area makam Syekh Jangkung. Dengan langkah hati-hati dan rasa penuh hormat, kami memasuki kawasan suci tersebut.
Di depan maqom Syekh Jangkung, kami memulai mujahadah dan bermunajat kepada Allah SWT. Doa-doa kami terucap dengan hati yang tulus, mengalirkan harapan dan keluh kesah kepada Sang Penguasa Jagad Raya. Dalam keheningan malam, setiap lafaz zikir yang kami panjatkan seakan menyatu dengan alam sekitar. Kami memohon ampunan, rahmat, serta keberkahan dari Allah SWT melalui perantaraan Syekh Jangkung dan keluarga besarnya yang dimakamkan di sini.
Mujahadah ini, seperti ritual di maqom-maqom sebelumnya, memberikan kedamaian batin yang mendalam. Di tengah perjalanan ziyaroh ini, kami semua merasakan kebersamaan yang tak hanya terjalin secara fisik, tapi juga secara spiritual. Ada ketenangan dan harapan baru yang tumbuh setelah setiap doa terpanjatkan.
Setelah semua ritual selesai, kami menyempatkan diri untuk duduk sejenak dan merasakan kedamaian yang menyelimuti maqom ini. Rasa syukur terucap dari setiap hati karena diberi kesempatan untuk berziyaroh ke makam-makam wali Allah yang mulia.
Kemudian, kami bergegas untuk memulai perjalanan pulang. Rute yang kami pilih kali ini adalah melewati puncak Sukolilo hingga Purwodadi. Perjalanan malam itu terasa lebih hening, seolah menyisakan ruang untuk kami merenungi setiap momen yang telah kami lalui. Udara malam yang dingin menemani perjalanan kami, namun hati kami terasa hangat oleh pengalaman spiritual yang mendalam.
Alhamdulillah, setelah perjalanan panjang dan penuh keberkahan, kami tiba di rumah masing-masing menjelang waktu subuh. Rasa syukur tak henti-hentinya kami panjatkan kepada Allah SWT atas kelancaran ziyaroh ini. Dengan hati yang lebih tenang, iman yang semakin kuat, dan harapan yang baru, kami menutup perjalanan ini dengan doa, berharap bahwa semua keberkahan dan ridho Allah senantiasa menyertai kami dan keluarga.