Rabu, 06 November 2024

"Jejak NIK yang Tercatut: Sebuah Perjuangan Menjemput Keadilan di Antara Bayang-Bayang Nama yang Tercederai"

(NIK Yang Di catut)
Rabu, 06 November 2024, hari ini langit tak secerah biasanya, seakan turut merasakan beratnya cerita yang akan datang. Di tengah aktivitas yang melaju perlahan, ponselku tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan dari seorang teman lama, seseorang yang kini berjalan seiring bersamaku dalam seleksi administrasi untuk pendaftaran P3K di Kementerian Agama.

Dengan nada suara yang terasa ragu namun sarat kekhawatiran, ia memulai cerita. Rupanya, ia menemukan bahwa NIK-nya masih tercatat sebagai anggota partai politik di laman situs resmi KPU RI. Namanya terpampang jelas, seolah ia masih menjadi bagian dari arus politik yang pernah ia tinggalkan. Dulu, ia memang pernah terdaftar sebagai pengurus partai, namun kini ia telah jauh melangkah ke jalan yang berbeda, menata hidup dan tujuan yang lebih tulus.

Mendengar cerita itu, aku pun turut merasakan keresahannya. Dalam diam, aku berpikir, berusaha menemukan jalan keluarnya. Setelah beberapa saat, dengan suara yang kukuatkan, kusampaikan padanya untuk segera mengurus segala persyaratan yang, aku tahu, pasti tak sederhana. "Ikutilah prosedur, walau panjang dan berliku. Segala yang njlimet itu pasti ada jalannya," kataku mencoba memberi secercah harapan.

Seketika percakapan kami berakhir, aku duduk termenung, merasakan beban yang menguap bersama cerita tadi. Di antara bayang-bayang rasa khawatir yang menyeruak, aku tersenyum, sedikit lega. "Aku tak perlu risau," gumamku dalam hati, meyakinkan diri. "Aku tak pernah terlibat dalam partai politik manapun; jalanku adalah untuk mengabdi tanpa embel-embel yang membelenggu."

Namun, dalam senyap yang tiba-tiba menyergap, benakku melayang pada kenyataan bahwa apa yang terjadi pada temanku bisa menimpa siapa saja, termasuk diriku. Hari ini menjadi pengingat halus, bahwa niat dan ketulusan tak selalu menjauhkan kita dari kesalahpahaman yang tak terduga. Tetap, aku percaya, apapun yang datang, jika hati dan langkah ini tulus, jalan akan terbuka, seiring takdir yang disuratkan Sang Pengatur Alam.

Tak lama berselang setelah percakapan dengan temanku, sebuah lintasan pikiran tiba-tiba menggoda hatiku. "Bagaimana kalau aku juga memeriksa NIK-ku? Bukankah tidak ada salahnya untuk berjaga-jaga?" Dengan perasaan iseng namun sedikit khawatir, aku menghubungi Mas Yadi, seorang teman yang bekerja sebagai PANWASCAM. "Mas, boleh tolong cek NIK-ku? Siapa tahu ada yang menyalahgunakan," pesanku ringan.

Tak sampai lama, ponselku bergetar, dan sebuah pesan dari Mas Yadi masuk. Namun, isi pesan itu bak petir menyambar jiwa. "Nikmu, ternyata, tercatat oleh salah satu parpol baru."

Jantungku seketika berdegup kencang, mataku tertuju pada layar ponsel, membaca berulang kali pesan yang tak kunjung kupahami maknanya. Aku membeku, mencoba menepis kenyataan yang tak kunjung hilang. Partai yang mengatasnamakan diriku ini, tak pernah kudengar namanya, tak pernah kulihat logonya. Warna, simbol, bahkan filosofi yang mereka usung pun sama sekali asing bagiku.

"Ooh, betapa kejamnya dunia!" gumamku dalam hati. Mengapa harus aku, di mana letak salahku? Aku tak pernah menorehkan tinta di atas lembaran janji politik, tak pernah menyandarkan hidup pada ormas berwarna tertentu. Namun kini, namaku terhimpit di antara yang tak pernah kujejakkan kaki. Aku terjebak dalam catatan yang bukan milikku, menanggung beban dari kesalahan yang tak pernah kubuat.

Apakah harus aku terjatuh karena permainan dunia yang begitu kejam? Di hadapan kenyataan yang getir ini, aku terpekur, seolah disergap takdir yang tak pernah kupilih.

Aku masih terpaku, merenungi getirnya kenyataan yang baru saja menghantam. Dunia terasa berputar pelan, namun membawa kesadaran pahit bahwa nama baik dan ketulusanku telah dicatut oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Di satu sisi, muncul keinginan untuk berontak, untuk mempertanyakan mengapa aku harus terjebak dalam belenggu yang tak pernah kubuat. Namun di sisi lain, rasa lelah membayangi, seolah-olah aku hanya debu kecil di pusaran dunia yang tak kenal belas kasih.

Sejenak, aku menarik napas dalam, mencoba meredam segala emosi yang menggelegak di dada. "Apakah harus aku tunduk pada tipu daya ini? Apakah aku harus menerima takdir yang menyakitkan ini tanpa daya?" Pertanyaan itu mengendap dalam benak, memaksaku menimbang pilihan antara menerima atau melawan.

Namun, dari dasar hati yang terdalam, aku tahu bahwa ketidakadilan ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Nama baik adalah warisan berharga, cerminan kehormatan yang kubangun dengan ketulusan dan pengabdian. Dengan tekad yang mulai kukumpulkan, kubulatkan hati untuk memperjuangkan kebenaran ini. Jalan mungkin akan panjang, penuh liku-liku birokrasi yang melelahkan. Tapi, aku yakin Allah menyaksikan dan takkan meninggalkan hamba-Nya yang berjuang atas kebenaran.

Dalam hening saat itu, aku menengadahkan tangan, menyerahkan segala yang terjadi pada Sang Pemilik Keadilan. "Ya Allah, berikanlah aku kekuatan untuk meluruskan segalanya. Jadikanlah ujian ini sebagai jalan bagiku untuk semakin mendekat pada-Mu dan menjaga amanah hidup yang Kau titipkan," doaku bergetar, menggema dalam jiwa yang perlahan mulai kukuh kembali.

Dan saat itu, meski kenyataan masih terasa berat, aku merasa ada cahaya yang menuntunku. Sebuah keyakinan bahwa aku tak sendiri dalam menghadapi semua ini, bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap langkah pencarian kebenaran. Maka, dengan segala kerendahan hati dan keteguhan, kutetapkan niat untuk memperjuangkan nama dan amanah yang telah lama kujaga.

Di saat selanjutnya, masih dengan semangat yang terjaga meski tak terhindar dari kepenatan, aku memutuskan untuk menghubungi beberapa sahabat terpercaya. Mas Agus, seorang PPK di kecamatan; Ndan Wahyudi, sahabat yang kerap menopang keluh kesahku; Gus Zainuddin, yang selalu penuh nasihat bijak; dan Mas Imam Sholikin, seorang yang selalu siap sedia dengan tangan terbuka. Setiap nama yang kukontak, kutuangkan keresahan dan harapan akan jawaban, seolah mereka adalah cahaya kecil yang akan membantuku menyusuri jalan keluar dari kegelapan yang tiba-tiba datang ini.

Dari saran mereka, ada satu solusi yang disepakati: melaporkan pencatutan NIK ini secara daring melalui situs KPU. Aku pun bergegas melakukannya, berharap bisa menyelesaikan urusan ini secepat mungkin, agar kelak tak ada ganjalan yang akan menghentikan langkahku menuju tujuan yang telah kutetapkan. Namun, kenyataan berbicara lain. Proses di laman KPU tak secepat dan semudah aku mengunggah keluh kesah di media sosial. Berulang kali aku coba, namun sistem tampaknya tak mengizinkanku untuk menyelesaikan laporan itu. Di sela-sela usaha yang tak kunjung berhasil, sempat terlintas rasa putus asa, namun aku kembali pada tekad awal: aku akan memperjuangkan nama baik ini, seberapa pun sulitnya.

Lalu, seorang teman yang peduli memberikan nomor kontak pengurus partai tersebut. Dengan ragu namun berbalut tekad, aku menghubunginya. Kupaparkan keluh kesah, kekecewaan, dan kebingungan. Kuharap, dari kata-kata yang kusampaikan, ia bisa melihat beratnya beban yang kualami karena kesalahan yang bukan milikku. Pengurus partai itu mendengarkan dengan penuh simpati, lalu dengan nada yang tulus, ia meminta maaf atas perilaku tidak sopan dari anggotanya yang bertindak tanpa pertimbangan. “Kami akan mengeluarkan surat pernyataan resmi bahwa Anda bukan bagian dari partai kami,” ujarnya, memberikan sedikit kelegaan yang langsung kurasakan.

Meski begitu, langkah belum sepenuhnya selesai. Sambil menunggu kabar dari pengurus partai, aku terus mencoba melaporkan pencatutan ini di laman KPU. Pagi berganti siang, siang pun perlahan menuju senja, dan hingga larut malam, upayaku tak juga berbuah hasil. Setiap kali mencoba, kegagalan seolah telah menanti di ujung proses.

Di tengah segala kebuntuan ini, teman-temanku tak lelah memberikan dukungan dan mencoba mencari solusi alternatif, entah itu melalui pihak berwenang atau jalur administratif lain. Namun hingga detik ini, jalan keluar tampak masih tersembunyi, membuatku merasa terombang-ambing di antara harapan dan keraguan. Meski begitu, aku bertekad untuk terus melangkah, berjuang tanpa menyerah, hingga nama baik ini kembali bersih seperti sedia kala.

(Bersambung)

Rabu, 23 Oktober 2024

"Debu di Tengah Pusaran Angin badai: Harapan Dalam Deru Pilu Kontestasi"

Ilustrasi situasi

Angin politik kian kencang berhembus. Pilkada yang dinanti perlahan mendekati hari H, membawa serta dinamika yang tak terelakkan. Di tengah hiruk-pikuk ini, keprihatinan menyusup dalam benak, terlebih saat melihat jam'iyah yang selama ini aku banggakan, kini mulai terguncang.

Para tokoh yang selama ini ku takdzimi, mereka yang menjadi panutan dalam segala kebijakan, kini bersitegang. Berbeda pandangan, berbeda kepentingan. Adakah yang lebih memilukan daripada melihat saudara seiman dan seperjuangan kini terlibat dalam pertikaian, mempertahankan argumen politik masing-masing? Mereka yang kukagumi kini saling berbantah, seakan lupa bahwa kita semua adalah satu kesatuan dalam jam'iyah yang sama.

Di satu sisi, ada yang berusaha mempertahankan kesepakatan politik demi menjaga keselamatan jam'iyah, meski harus menerima konsekuensi berat. Di sisi lain, ada yang merasa perlu mengawal aspirasi mereka, sebagai bentuk balas budi atas khidmah dan kebaikan di masa lalu. Aku? Aku hanyalah debu, terombang-ambing oleh badai situasi ini, tanpa daya untuk melawan.

Hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa semua ini kuserahkan. Semoga badai ini segera mereda, dan hati-hati yang terpecah kembali bersatu. Meski hatiku menangis, teriris menyaksikan kehancuran yang perlahan menggerogoti, aku tak punya kuasa untuk menghentikan semua ini.

Cukuplah diriku yang beberapa bulan lalu menjadi korban dari ego perpolitikan. Aku tak ingin melihat jam'iyah yang kucintai diterpa petaka. Meski suara ini hanyalah bisikan kecil di tengah kegaduhan, aku berharap semoga semuanya tetap baik-baik saja.

Namun, kenyataan kerap kali tak sejalan dengan harapan. Setiap langkah menuju pemilihan, setiap percakapan yang terlibat dalam kontestasi ini, kian menambah jarak di antara kita. Saudara-saudaraku yang dulu saling berbagi tawa dan doa, kini saling curiga. Mereka yang dulu satu barisan di belakang panji jam'iyah, kini terpecah dalam kepentingan politik yang tak seharusnya mengikis persaudaraan.

Aku merasa seperti saksi bisu yang terjebak di tengah konflik ini. Suara-suara keras yang saling bersahutan, janji-janji politik yang menggema di setiap sudut, semuanya hanya membuatku semakin terasing dalam diam. Apa yang bisa kulakukan? Hanya sebutir debu yang terombang-ambing dalam pusaran kepentingan dan ambisi, aku terlalu kecil untuk bisa menghentikan arus yang deras ini.

Namun, meski hati ini kian terkoyak melihat kenyataan, aku tetap menggantungkan seluruh harap kepada Tuhan. Dalam kesunyian doa, kutitipkan segalanya pada-Nya. Semoga perselisihan ini tak berlarut, semoga kesepakatan dan keikhlasan bisa kembali tumbuh, menyatukan kembali hati-hati yang kini terpisah oleh batas-batas perbedaan.

Aku tak ingin ada lagi yang menjadi korban, tak ingin ada lagi jiwa yang tergores akibat keegoisan manusia. Cukuplah aku yang merasakan pahitnya fitnah buta politik ini beberapa bulan lalu, biarlah aku yang menyimpan luka itu sendiri. Karena di tengah badai ini, aku hanya berharap—meski kecil harapanku—bahwa perdamaian, persaudaraan, dan keutuhan jam'iyah bisa kembali hadir, mengobati setiap luka yang telah tercipta.

Walau langit tampak gelap, walau awan hitam menggantung di atas kepala, aku masih percaya, dalam doaku yang lirih, bahwa cahaya akan kembali muncul. Semoga, dengan izin-Nya, kita bisa kembali merasakan damai di bawah naungan jam'iyah yang kita cintai.

Suara lirihku terus mengalun "dari tengah belantara, harap ku lambungkan, dan do'a ku senandungkan semoga airmata cukuplah membasuh dosa bukan membasuh saudara".

Dari tengah belantara yang kian pekat, di antara riuhnya suara perpecahan, aku hanya bisa melambungkan harapan. Harapan yang mungkin terdengar samar, di tengah bisingnya pertikaian, tapi kupegang erat, agar tak hilang ditelan kekacauan. Seiring dengan harapan itu, doaku terus senandungkan, permohonan agar kiranya Tuhan mendengar lirihnya jiwa yang lelah.

Semoga air mata yang jatuh, bukanlah tanda kehancuran, melainkan penawar bagi dosa-dosa kita. Bukan untuk membasuh saudara dari hubungan yang dulu erat, melainkan untuk membersihkan hati yang telah disebabkan oleh ambisi dan ego. Aku berharap, dalam tangisan ini, ada kelegaan, ada maaf yang terbit, dan ada perdamaian yang mulai perlahan ke dalam jiwa-jiwa yang sedang panas.

Kita semua pernah bersujud bersama, melafalkan doa yang sama, di bawah langit yang sama. Kini, saat politik terpecah belah, betapa inginku agar sujud itu kembali menyatukan kita. Bukan perpecahan yang menguatkan, melainkan kasih dan kebersamaan yang dulu kita banggakan sebagai ikatan jam'iyah ini. Ah, betapa air mata ini ingin membasuh dosa, bukan memisahkan saudara.

Di atas segala yang terjadi, aku percaya, masih ada jalan untuk kembali. Aku hanya berharap, meski tak banyak yang bisa kulakukan, bahwa kita semua dapat merasakan kembali kedamaian, di mana kita kembali bersaudara, dalam naungan cinta yang tak beragam oleh warna-warna politik.

Rabu, 09 Oktober 2024

Mewakili Pak Naib yang Sedang Tugas Luar Kota

Sambutan Mewakili Pak Naib

Hari ini, Rabu, 09 September 2024, sebuah tugas mulia dan penuh tanggung jawab hadir di hadapan saya. Dalam suasana hangat dan penuh harapan, saya diberi amanah untuk mewakili Bapak Kepala KUA Margomulyo dalam acara Lomba Keluarga Sakinah. Momen ini tidak hanya sekadar seremonial, melainkan sebuah refleksi atas upaya kita dalam menciptakan keluarga yang bahagia dan harmonis.

Namun, di balik kebahagiaan ini, ada kabar yang menyentuh hati. Bapak Naib, sosok yang selalu menjadi teladan dalam pelayanan dan kepemimpinan, tidak dapat hadir. Ia tengah mengikuti Uji Kompetensi Penghulu di Kanwil Kementerian Agama Jawa Timur. Meski jarak memisahkan, semangat dan pesan beliau senantiasa mengalir dalam setiap detak jantung acara ini.

Saat tiba di hadapan hadirin, sebelum sambutan resmi dari panitia, saya diamanahi untuk memimpin doa pembuka. Dalam keheningan dan ketulusan, kami mengangkat tangan, memohon kepada Allah agar acara ini diberkahi dan setiap peserta diberikan kekuatan untuk terus berjuang membangun keluarga sakinah.

Setelah doa, saya menyampaikan sambutan dengan penuh rasa syukur. Selain menyampaikan pesan-pesan hangat dari Bapak Naib, saya tak lupa menyampaikan sepatah dua kata tentang konsep dasar keluarga sakinah. Dengan lembut, saya berbagi dengan para peserta bahwa esensi dari keluarga sakinah adalah kemampuan kita untuk istiqomah mencintai pasangan kita. Sebuah cinta yang tak mengenal batas waktu, tempat, atau keadaan. Cinta yang terukir dalam setiap detik perjalanan hidup, dalam suka maupun duka, dalam tawa dan air mata.

“Saudara-saudara,” saya melanjutkan, “marilah kita tanamkan dalam diri kita, bahwa cinta sejati adalah tentang komitmen. Setiap hari kita berusaha untuk saling mencintai, mendukung, dan memahami satu sama lain. Dalam keadaan apapun, bagaimanapun, dan kapanpun, mari kita jadikan cinta sebagai jembatan yang menghubungkan hati kita.”

Dengan semangat ini, saya berharap setiap peserta dapat meresapi arti sejati dari keluarga sakinah dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Acara pun dimulai, dengan harapan dan doa yang mengalir dalam setiap langkah kita menuju keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Suasana acara perlahan semakin syahdu. Setiap peserta hadir dengan semangat yang membara, namun hati mereka tetap teduh, selaras dengan pesan-pesan cinta yang telah disampaikan. Dalam perlombaan ini, bukan hanya kompetisi yang menjadi fokus, melainkan pembelajaran akan nilai-nilai luhur yang membentuk keluarga sakinah.

Saya duduk di barisan tamu undangan, memperhatikan setiap keluarga yang tampil dengan bangga, membawa nilai-nilai kebersamaan, kasih sayang, dan keikhlasan. Dari wajah mereka, terpancar harapan untuk menjadi teladan bagi keluarga-keluarga lain, menginspirasi lingkungan mereka agar selalu berpegang pada prinsip-prinsip agama dalam setiap aspek kehidupan rumah tangga.

Setiap keluarga yang berpartisipasi menampilkan keindahan rumah tangga yang dibangun di atas pondasi cinta dan komitmen. Ada yang berbagi kisah tentang bagaimana mereka menghadapi ujian hidup, mengatasi perbedaan, hingga menjaga keharmonisan meski dalam keterbatasan. Di tengah-tengah semua itu, saya merenung dan tersenyum. Betapa indahnya ketika cinta diikat dengan keimanan, diperkuat dengan ketakwaan, dan dijaga dengan kesabaran.

Acara ini bukan sekadar perlombaan untuk mencari pemenang, tapi sebuah kesempatan untuk menegaskan kembali bahwa keluarga sakinah bukanlah sesuatu yang hadir begitu saja. Ia perlu diperjuangkan dengan tekad dan keyakinan. Sebagaimana cinta yang istiqomah, keluarga sakinah dibangun dengan konsistensi mencintai, memahami, dan saling mendukung, tidak hanya saat bahagia, tetapi juga ketika menghadapi badai kehidupan.

Sambil menyimak para peserta, saya teringat kembali akan pentingnya doa yang telah saya panjatkan di awal acara. Bahwa hanya dengan rahmat dan ridha Allah-lah, kita bisa menjaga keutuhan keluarga kita. Karena itu, saya berharap setiap keluarga yang hadir hari ini dapat membawa pulang pelajaran yang lebih dari sekadar kemenangan lomba—yakni pemahaman akan makna sejati keluarga sakinah.

Ketika acara mulai berakhir, saya merasakan kehangatan hati. Semua keluarga yang hadir hari ini adalah pemenang, bukan karena trofi yang mereka bawa pulang, tapi karena mereka telah memilih jalan untuk membangun keluarga yang penuh cinta dan harmoni, sesuai dengan ajaran Islam. Sebuah keluarga yang mampu menjadi cahaya bagi lingkungan dan masyarakat sekitarnya.

Dengan penuh syukur, saya menyadari bahwa pesan tentang keluarga sakinah yang saya sampaikan tadi bukan hanya kata-kata. Itu adalah doa dan harapan bagi setiap kita, bahwa di setiap rumah tangga yang dibangun di atas pondasi cinta, keimanan, dan keikhlasan, keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah akan selalu tumbuh dan berkembang.

Hari ini adalah bukti bahwa setiap kita mampu mewujudkannya dengan cinta yang istiqomah, dan dengan doa yang tak pernah putus.

Senin, 07 Oktober 2024

"Petualangan Sore Syafiq: Menemukan Sejarah di Alun-alun Demak"

Syafiq di Halaman Masjid Demak
"Sore itu, suasana di alun-alun Masjid Demak Bintoro terasa begitu damai. Di antara orang-orang yang berlalu lalang, tampak seorang anak kecil bernama Syafiq yang sedang menikmati waktu santainya. Dengan wajah polos dan senyum lebar, Syafiq berlarian di sekitar alun-alun, sesekali berhenti untuk mengagumi keindahan arsitektur Masjid Agung Demak yang megah.

Sinar matahari sore membelai lembut wajah Syafiq, menciptakan bayangan panjang di atas rumput hijau alun-alun. Suara azan Maghrib sayup-sayup terdengar, menambah kekhusyukan suasana. Syafiq, dengan mata berbinar, memandang ke arah menara masjid, seolah terpesona oleh keagungan bangunan bersejarah itu.

Momen ini menjadi potret indah yang menggambarkan keceriaan masa kanak-kanak Syafiq, berpadu dengan ketenangan spiritual yang terpancar dari lingkungan sekitar Masjid Demak Bintoro. Sebuah kenangan manis yang pasti akan selalu diingat Syafiq ketika ia beranjak dewasa nanti."

Narasi ini dibuat berdasarkan gambaran umum yang Anda berikan. Jika Anda ingin narasi yang lebih spesifik atau berbeda, silakan berikan detail tambahan dan saya akan dengan senang hati membantu menyusun narasi baru.

"Saat Syafiq asyik bermain, ia tak sengaja bertemu dengan seorang kakek yang sedang duduk di salah satu bangku taman. Kakek itu tersenyum ramah dan memanggil Syafiq. Dengan rasa ingin tahu yang besar, Syafiq menghampiri sang kakek.

'Nak, maukah kamu mendengar sebuah cerita?' tanya kakek itu lembut. Syafiq mengangguk antusias, lalu duduk di samping kakek tersebut.

Sang kakek mulai bercerita tentang sejarah Masjid Agung Demak, tentang bagaimana masjid itu dibangun oleh Wali Songo, dan tentang peran pentingnya dalam penyebaran Islam di tanah Jawa. Syafiq mendengarkan dengan seksama, matanya berbinar-binar mendengar kisah-kisah heroik dan penuh hikmah.

Tanpa terasa, langit mulai gelap dan lampu-lampu di sekitar alun-alun mulai menyala. Orang tua Syafiq yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan, akhirnya menghampiri. Mereka mengucapkan terima kasih kepada kakek itu dan mengajak Syafiq pulang.

Dalam perjalanan pulang, Syafiq tak henti-hentinya bercerita tentang apa yang ia pelajari hari itu. Pengalaman sederhana di sore hari di alun-alun Masjid Demak Bintoro telah memberikan Syafiq tidak hanya kegembiraan, tetapi juga pengetahuan dan apresiasi terhadap warisan budaya dan sejarah Islam di Indonesia.

Hari itu menjadi salah satu kenangan indah bagi Syafiq, sebuah momen yang mungkin akan membekas dalam ingatannya dan membentuk rasa cintanya terhadap sejarah dan budaya bangsanya sendiri."

Kamis, 03 Oktober 2024

"Hujan dan Kenangan: Ngopi Sore di Ngluwah"

(Foto Hanya Pemanis cerita)

Sore itu, langit baru saja berhenti menangis setelah hujan lebat yang mengguyur Dusun Jipangulu sejak siang. Udara masih basah oleh embun yang menggantung di daun-daun, dan tanah pun masih lembab, menyimpan jejak-jejak rintik air yang membasuh bumi. Dusun yang kini tengah menjadi bagian dari proyek besar pembangunan Bendungan Karang Nongko, menyisakan ketenangan yang syahdu saat matahari senja perlahan tenggelam di ufuk barat.


Di tepi dusun, ada sebuah kawasan yang dulu kami kenal sebagai "Ngluwah". Ngluwah tak lain adalah sebuah hutan kecil di pinggiran desaku. Hutan itu, bagi kami anak-anak desa, bukan hanya sekadar rimbunan pepohonan dan semak belukar, tapi sebuah arena kehidupan. Di sanalah kami bermain, berlari, tertawa, menggembala kambing, dan sesekali menantang diri memanjat pohon tertinggi. Setiap jengkal tanah di sana seolah menyimpan guratan cerita masa kecil kami, kenangan yang tak pernah pudar meski waktu terus berputar.


Namun kini, Ngluwah tak lagi sama. Perubahan telah merangkulnya dalam wujud yang baru. Kanan dan kiri jalan menuju Ngluwah berdiri warung-warung kecil, milik para tetangga dan teman-teman masa kecilku yang mencoba menghidupi keluarga dengan usaha UMKM. Di antara bangunan-bangunan sederhana itu, terasa betapa kehidupan terus berjalan, menciptakan peluang baru di tengah perubahan yang tak terhindarkan.


Selepas magrib, aku dan Mas Aris, Bujang Jiapangulu yang sedang menanti qudrot Illahi datangnya Bidadari, memutuskan untuk singgah di sebuah warung milik Pak Kades. Warung itu sederhana, tapi ada kehangatan yang tak bisa dibeli dengan uang di sana. Di meja kayu unik sebagai saksi sore ini, secangkir kopi panas mengepul di depan kami. Aroma kopi yang khas menguar, membawa serta kenangan masa lalu yang kembali terlintas di benakku.


"Ngluwah memang sudah banyak berubah, ya?" gumamku sambil menyeruput kopi pelan.


Mas Aris mengangguk pelan, matanya menerawang jauh ke arah pepohonan yang masih tersisa di ujung sana. "Iya, tapi kenangannya nggak pernah berubah. Rasanya baru kemarin kita main dan mengumbar tawa di sini."


Aku tersenyum tipis, menyadari betapa waktu telah mengubah banyak hal di sekitar kami, tapi kenangan itu tetap utuh, tersimpan rapi di dalam hati. Di tengah segala perubahan, ada sesuatu yang tak bisa disentuh oleh waktu, yaitu perasaan dan memori yang terukir dari masa kecil. Kopi sore itu seolah menjadi pengantar bagi kami untuk kembali meresapi masa lalu, meski hanya sejenak, sebelum kembali berhadapan dengan kenyataan yang terus bergerak maju.


Ngopi di Ngluwah, di bawah langit yang perlahan mulai gelap, diiringi suara jangkrik dan riuh rendah kehidupan malam dusun, menjadi momen yang begitu syahdu. Rasanya seperti melintasi batas waktu, berdamai dengan perubahan, dan mensyukuri setiap langkah yang telah diambil dalam perjalanan hidup ini.


Di sini, di antara tegukan kopi yang hangat, aku menemukan ketenangan. Ketenangan yang hanya bisa dirasakan di tempat yang penuh dengan kenangan, di mana setiap sudutnya pernah menjadi saksi bisu perjalanan hidupku.


Selain Mas Aris, Pak Lurah tiba-tiba ikut merapat menghampiri kami. Beliau dengan senyumnya yang ramah membawa secangkir kopi yang baru saja dibuat di warungnya sendiri, kemudian duduk di sebelah kami. Kehadirannya menambah hangat suasana sore yang perlahan mulai berubah gelap. Obrolan kami, yang semula hanyut dalam kenangan masa kecil, beralih menjadi bincang-bincang ringan yang mengalir santai.


"Eh, gimana kabar kalian berdua?" tanya Pak Lurah, menyelipkan pertanyaan yang terdengar akrab, seperti seorang teman lama yang tak pernah berjarak.


"Baik, Pak. Habis capek muter-muter proyek bendungan, sekarang ngopi dulu," jawab Mas Aris sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk kecil, membenarkan jawaban Mas Aris.


Obrolan pun berlanjut, membahas beberapa hal aktual yang sedang terjadi di desa. Dari proyek bendungan yang terus berjalan, hingga isu-isu kecil di kampung, semuanya kami bahas dengan santai. Namun, di tengah topik yang cukup serius itu, sesekali tawa kami pecah karena candaan-candaan ringan yang mewarnai percakapan. Suasana menjadi semakin hangat, seolah tak ada jarak antara kami bertiga, meski Pak Lurah adalah pemimpin desa.


"Oh iya, tadi aku pulang kehujanan, padahal cuma beberapa meter dari sini," cerita Pak Lurah tiba-tiba, mengubah topik dengan kisah yang baru saja dialaminya.


Aku dan Mas Aris langsung tertawa mendengarnya. Pak Lurah ikut tertawa, sambil menggelengkan kepala seolah tak percaya dirinya bisa begitu apes.


"Tadi habis belanja buat warung, sudah mendung, tapi kupikir hujan nggak bakal deras. Eh, ternyata baru jalan sebentar, hujan turun lebat sekali!" lanjut Pak Lurah dengan ekspresi lucu.


Mas Aris terkekeh, "Untung nggak sampai masuk angin, Pak. Hujan tadi deras banget, lho. Aku aja sampai nggak bisa lihat jelas jalan."


"Iya, makanya. Untung nggak jauh-jauh amat. Kalau nggak, bisa basah kuyup kayak orang baru saja nyemplung kali," sahut Pak Lurah, mencoba bercanda dengan wajah yang masih sedikit mengernyit mengingat kejadian tadi.


Kisah kehujanan Pak Lurah itu membuat suasana semakin cair. Tawa kami bersahutan di antara desiran angin malam yang mulai menyentuh lembut kulit. Di tengah gelapnya malam yang perlahan semakin menelan senja, percakapan kami seolah menjadi pengisi kekosongan, menciptakan momen sederhana yang penuh kebersamaan.


Kami tak membahas hal-hal besar yang mungkin bisa mengubah dunia, tapi di situ ada kehangatan yang tak bisa diukur dengan materi. Ada canda, tawa, dan cerita yang membuat kami merasa kembali muda—kembali seperti anak-anak yang dulu bermain bebas di Ngluwah, tanpa beban kehidupan dewasa yang kini ada di pundak masing-masing.


"Yah, hidup memang seperti hujan, nggak bisa ditebak kapan datangnya," ucap Pak Lurah sambil tersenyum bijak. Aku dan Mas Aris hanya bisa tersenyum mendengar pernyataan sederhana itu, tapi terasa begitu dalam.


Ngopi sore di Ngluwah, dengan segelas kopi dan cerita ringan di antara teman lama, menjadi pengingat betapa indahnya momen-momen kecil seperti ini—momen yang seringkali terlupakan di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang kian cepat bergerak.

Minggu, 22 September 2024

"Menapaki Jejak Wali: Ziarah Upgrade Spiritual dan Penguatan Mental"

(Makam Ki Ageng Tarub)

Pada Sabtu pagi, 21 September 2024, suasana penuh khidmat menyelimuti Desa Ngelo. Pukul 06.00 tepat, rombongan ziyaroh wali yang terdiri dari jajaran Pemerintah Desa Ngelo berangkat dari Jipangulu dengan satu tujuan mulia—menziarahi makam para wali Allah di Jawa Tengah. Rombongan ini dipimpin langsung oleh Kepala Desa, didampingi oleh para Kepala Urusan (KAUR), Kepala Dusun (KASUN), dan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Mereka semua bersatu dalam satu niat yang tulus, mengharap ridho Allah dan keberkahan dari para wali.

Dalam perjalanan ziyaroh ini, saya diberikan kehormatan untuk menjadi imam sekaligus pemandu. Sebagai seorang penyuluh agama, tanggung jawab ini saya emban dengan penuh rasa syukur, mengingat betapa pentingnya spiritualitas dalam setiap langkah perjalanan. Kami memulai perjalanan dengan do’a bersama, memohon kepada Allah agar diberikan kelancaran dan keberkahan dalam setiap kunjungan kami.

Destinasi pertama kami adalah Maqom Ki Ageng Tarub, atau yang lebih dikenal dengan nama Joko Tarub, di Tarub, Purwodadi. Dalam tradisi keagamaan masyarakat Jawa, sosok Joko Tarub dikenal sebagai tokoh yang berperan besar dalam penyebaran Islam di tanah Jawa, sehingga maqomnya sering menjadi tempat berziarah bagi mereka yang ingin mendekatkan diri kepada Allah melalui wasilah para wali-Nya.

Sepanjang perjalanan, suasana di dalam kendaraan dipenuhi dengan lantunan dzikir dan shalawat, menambah kekhusyukan rombongan dalam perjalanan spiritual ini. Sesekali, saya menyampaikan tausiyah singkat tentang pentingnya ziyaroh sebagai bentuk penghormatan kepada para wali yang telah berjuang menegakkan agama Allah di Nusantara.

Kegiatan ziyaroh ini bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin. Setiap langkah yang kami ambil diiringi dengan harapan agar rahmat Allah senantiasa menaungi kami dan seluruh masyarakat Desa Ngelo. Kami percaya, dengan berziaroh ke makam wali, bukan hanya doa-doa kami yang lebih dekat terkabul, tetapi juga keberkahan para wali bisa membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi desa kami tercinta.

Setelah menyelesaikan rangkaian ritual di Maqom Ki Ageng Tarub, suasana syahdu tetap terasa menyelimuti rombongan. Kami bersama-sama melantunkan do'a, memohon keberkahan dari Allah melalui wasilah Ki Ageng Tarub, seorang wali yang memiliki peran besar dalam penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa. Doa-doa kami mengalir khusyuk, diiringi harapan agar perjalanan ini membawa keberkahan, tidak hanya bagi diri kami pribadi, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Desa Ngelo.

Setelah prosesi ziyaroh selesai, kami tak lupa menyempatkan diri untuk berfoto bersama di sekitar maqom, sebagai kenang-kenangan atas perjalanan spiritual ini. Wajah-wajah para peserta tampak cerah, seakan merasakan ketenangan dan kebahagiaan tersendiri setelah menziarahi salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam Jawa. Momen ini menjadi pengingat bahwa di balik perjalanan ziyaroh, selalu ada rasa kebersamaan yang terjalin di antara kami, para pelayan masyarakat Desa Ngelo.

(Aula Makam Ki Ageng Selo)

Tanpa berlama-lama, perjalanan kami lanjutkan menuju tujuan berikutnya, yakni Maqom Ki Ageng Selo. Letaknya tidak terlalu jauh, dan meskipun jalan yang kami lalui terkadang berliku dan berbukit, semangat kami tidak surut. Ki Ageng Selo adalah sosok wali yang dikenal luas dengan karomah dan keutamaan ilmu agamanya. Banyak yang percaya bahwa ia memiliki kemampuan luar biasa, termasuk mampu ‘menangkap petir,’ sebuah simbol dari ketakwaannya yang luar biasa kepada Allah SWT.

Sepanjang perjalanan, kami kembali melantunkan dzikir dan shalawat, mengiringi setiap kilometer yang kami tempuh. Saya, sebagai pemandu perjalanan, bermuhasabah mengenai sejarah dan keutamaan Ki Ageng Selo, menekankan pentingnya meneladani ketakwaan dan kebersahajaan para wali. Rasa haru dan kekaguman kepada para leluhur Islam ini makin kuat dirasakan oleh seluruh peserta ziyaroh.

Sesampainya di Maqom Ki Ageng Selo, kami disambut oleh suasana tenang dan sejuk. Pohon-pohon besar yang rindang melindungi tempat ini, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan spiritual yang kami tempuh. Kami langsung menuju area maqom untuk melanjutkan ritual ziyaroh dengan penuh khusyuk, mempersembahkan doa-doa terbaik untuk kebaikan dunia dan akhirat. Berdoa di tempat-tempat yang penuh berkah seperti ini, bagi kami, adalah sebuah anugerah, kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memohon petunjuk-Nya dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Setelah menyelesaikan ritual ziyaroh di Maqom Ki Ageng Selo, suasana khidmat kembali terasa menyelimuti seluruh peserta. Di bawah naungan pohon-pohon besar yang meneduhkan, kami melantunkan doa-doa dengan penuh kekhusyukan, memohon agar Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan keberkahan melalui perantara wali yang begitu masyhur ini. Wajah-wajah para peserta tampak semakin berseri, mungkin karena mereka merasakan ketenangan batin setelah ziyaroh di tempat yang begitu sakral.

Setelah prosesi doa, kami kembali menyempatkan diri untuk berfoto bersama sebagai tanda kenangan perjalanan ini. Setiap peserta tampak antusias, berbagi senyuman dan kebersamaan di tengah perjalanan spiritual yang penuh makna ini. Foto-foto ini nantinya bukan hanya menjadi dokumentasi perjalanan, tetapi juga simbol dari kebersamaan kami sebagai keluarga besar Pemerintah Desa Ngelo, yang dalam setiap langkahnya senantiasa berharap pada ridho dan keberkahan dari Allah SWT.

(Masjid Kadilangu Komplek Makam Sunan Kalijogo)

Tanpa menunggu lama, perjalanan berikutnya kami lanjutkan menuju destinasi yang sudah dinanti-nantikan, yakni Maqom Raden Sa’id atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Kalijogo di Kadilangu, Demak Bintoro. Sosok Sunan Kalijogo memiliki tempat yang istimewa dalam hati setiap muslim di Nusantara, terutama karena kebijaksanaan dan metode dakwahnya yang begitu lembut dan mendalam. Sunan Kalijogo dikenal sebagai wali yang menyebarkan Islam dengan penuh toleransi, seni, dan budaya yang begitu dekat dengan masyarakat Jawa pada zamannya.

Perjalanan menuju Demak terasa semakin berkesan. Sepanjang jalan, saya kembali mengajak rombongan untuk bershalawat dan berdzikir, menjaga suasana hati tetap tenang dan berserah diri kepada Allah. Saya juga menyempatkan diri bercerita sedikit tentang sejarah Sunan Kalijogo—bagaimana beliau berdakwah melalui seni wayang dan tembang, serta peran besarnya dalam membangun peradaban Islam di Jawa. Cerita-cerita ini, saya harapkan, tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga memperdalam cinta kami kepada para wali dan ajaran-ajaran mereka yang penuh dengan kearifan.

Sesampainya di Kadilangu, kami disambut dengan suasana yang sangat berbeda—lebih ramai, karena banyaknya peziarah yang datang dari berbagai daerah untuk berziaroh ke Maqom Sunan Kalijogo. Meskipun ramai, suasana di sekitar maqom tetap penuh ketenangan dan spiritualitas. Kami segera menuju maqom, berbaur dengan para peziarah lain yang juga datang dengan niat yang sama: memohon ridho dan keberkahan Allah melalui wasilah salah satu wali terbesar di Nusantara.

Ritual ziyaroh di Maqom Sunan Kalijogo kami lakukan dengan penuh rasa haru. Melantunkan doa dan tahlil di tempat yang begitu bersejarah ini, hati kami serasa terhubung dengan perjalanan dakwah dan perjuangan panjang yang dilakukan oleh para wali untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Seusai doa, kami menyempatkan diri untuk sejenak merenung dan mengambil pelajaran dari kebesaran sosok Sunan Kalijogo, yang tak hanya berperan dalam penyebaran Islam, tetapi juga membangun harmoni di tengah masyarakat melalui pendekatan budaya.

Setelah itu, sebelum melanjutkan perjalanan, kami kembali berfoto sejenak di sekitar area maqom. Momen ini menjadi momen yang indah dari perjalanan ziyaroh yang penuh berkah, sekaligus menjadi pengingat bahwa perjalanan spiritual kami bukan hanya sekadar ziyaroh fisik, tetapi juga perjalanan batin yang memperkuat iman dan harapan akan ridho dan keberkahan Allah bagi kami dan seluruh masyarakat Desa Ngelo.

Setelah menyelesaikan ritual di Maqom Sunan Kalijogo, suasana ziyaroh yang penuh ketenangan masih menyelimuti rombongan kami. Di tengah hiruk-pikuk peziarah yang datang dari berbagai pelosok, kami melanjutkan ritual dengan khusyuk, berharap agar setiap doa yang terucap dari hati yang tulus di maqom wali besar ini membawa keberkahan bagi diri kami dan masyarakat Desa Ngelo.

Setelah prosesi doa dan tahlil, kami kembali menyempatkan diri untuk berfoto sejenak di sekitar maqom Sunan Kalijogo. Senyum yang terpancar di wajah para peserta mencerminkan kepuasan batin setelah ziyaroh ini, dan rasa kebersamaan di antara kami semakin erat terjalin. Dokumentasi foto ini tidak hanya menjadi kenangan dari perjalanan spiritual kami, tetapi juga simbol persatuan dan niat tulus untuk terus membawa kebaikan bagi desa dan masyarakat kami.

Tanpa menunda lebih lama, perjalanan kami lanjutkan menuju destinasi berikutnya, yaitu Maqom Raden Fatah dan keluarga besar Raja Demak di area Masjid Agung Demak, Bintoro. Perjalanan ini terasa semakin bermakna, mengingat Raden Fatah merupakan pendiri Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama dan terbesar di Jawa. Beliau tidak hanya dikenal sebagai seorang raja yang bijaksana, tetapi juga sebagai seorang tokoh penyebar Islam yang mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kebijaksanaan dalam memimpin.

Saat mendekati Demak, rombongan kami disambut oleh pemandangan megahnya Masjid Agung Demak, sebuah masjid bersejarah yang menjadi saksi kebesaran peradaban Islam di Jawa. Masjid ini, yang dibangun oleh Walisongo di bawah kepemimpinan Raden Fatah, berdiri kokoh sebagai simbol penyebaran agama Islam dan pusat kegiatan keagamaan pada masanya. Melihat masjid ini dari kejauhan, hati kami dipenuhi rasa haru dan kagum akan sejarah besar yang ada di baliknya.

(Museum Masjid Agung Demak Komplek Makam Raden Fatah)

Sesampainya di area makam Raden Fatah dan keluarga besar Kesultanan Demak, kami segera berkumpul untuk melaksanakan ziyaroh. Doa-doa dipanjatkan dengan penuh kekhidmatan, mengingat jasa besar Raden Fatah dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa dan membangun pondasi yang kokoh bagi peradaban Islam di Nusantara. Sebagai pendiri Kesultanan Demak, Raden Fatah adalah sosok yang tidak hanya dihormati karena kehebatannya sebagai pemimpin, tetapi juga karena ketakwaannya kepada Allah dan kecintaannya pada agama.

Setelah melantunkan doa dan tahlil, kami juga menyempatkan diri untuk merenungi perjuangan besar yang dilakukan oleh keluarga besar Kesultanan Demak. Merenungi peran mereka dalam memperkuat Islam di Nusantara, memberikan kami inspirasi untuk terus berjuang dan berdakwah dengan penuh keteguhan, sebagaimana para leluhur kita telah melakukannya.

Di akhir ritual, kami sekali lagi menyempatkan diri untuk mengambil foto bersama di sekitar area Masjid Agung Demak. Berdiri di depan masjid yang penuh sejarah ini, kami merasa tersambung dengan perjalanan panjang peradaban Islam di Jawa. Dokumentasi ini menjadi penutup yang sempurna dari rangkaian ziyaroh wali yang kami lakukan hari itu.

Dengan hati yang penuh rasa syukur dan harapan, kami melanjutkan perjalanan pulang, membawa serta doa-doa dan keberkahan yang kami harapkan akan memberi dampak baik bagi kami semua, terutama bagi masyarakat Desa Ngelo. Perjalanan ziyaroh ini bukan hanya sekadar mengenang sejarah, tetapi juga memperkuat iman kami dan mempererat ikatan kebersamaan dalam melayani masyarakat dengan penuh keikhlasan, sebagaimana para wali dan tokoh Islam besar yang kami ziarahi telah memberikan teladan bagi kami semua.

Setelah menyelesaikan ritual di Maqom Raden Fatah, kami tak lupa menyempatkan diri untuk berfoto sejenak di area Museum Kerajaan Demak yang terletak tak jauh dari Masjid Agung Demak. Museum ini menjadi saksi bisu sejarah kejayaan Kesultanan Demak, memperlihatkan berbagai artefak dan peninggalan yang menjadi bagian dari perjalanan Islam di Nusantara. Melihat benda-benda bersejarah ini, kami seolah terseret kembali ke masa lalu, membayangkan betapa besar pengaruh Raden Fatah dan Kesultanan Demak dalam menyebarkan agama Islam dan menjaga kearifan lokal.

Para peserta ziyaroh tampak antusias, tak hanya karena kebersamaan yang terjalin erat, tetapi juga karena kesempatan untuk menapaki jejak sejarah yang begitu kaya. Foto-foto yang kami ambil di sekitar museum tidak hanya menjadi dokumentasi perjalanan, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan akan warisan sejarah Islam di Jawa. Kami semua merasa terinspirasi oleh kejayaan masa lalu, yang seharusnya menjadi teladan bagi kita dalam menjaga keimanan dan tanggung jawab sebagai pemimpin masyarakat.

Setelah meninggalkan Museum Kerajaan Demak, perjalanan kami lanjutkan menuju tujuan berikutnya, yakni Maqom Sunan Kudus dan keluarga besarnya yang terletak di area Masjid Al-Aqso Menara Kudus. Sunan Kudus adalah salah satu dari Walisongo, sosok yang dikenal dengan dakwahnya yang bijak dan toleran, menggunakan pendekatan budaya dan filosofi yang mampu menyentuh hati masyarakat Jawa kala itu. Beliau menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang harmonis, menggabungkan unsur-unsur lokal dengan nilai-nilai Islam, sehingga masyarakat dapat menerimanya dengan mudah.

Perjalanan menuju Kudus terasa semakin sarat makna. Saya kembali memimpin doa dan dzikir di sepanjang perjalanan, menjaga suasana hati para peserta tetap tenang dan fokus pada tujuan spiritual kami. Dalam perjalanan ini, saya juga mengisahkan betapa pentingnya peran Sunan Kudus dalam membangun Islam yang damai dan penuh toleransi, khususnya di kalangan masyarakat Jawa. Kisah-kisah tentang kebijaksanaan Sunan Kudus, seperti cara beliau mengajarkan tauhid melalui simbol-simbol yang dikenal masyarakat, menambah rasa kagum kami akan para wali.

Sesampainya di Masjid Al-Aqso Menara Kudus, kami disambut dengan pemandangan menara masjid yang begitu ikonik, salah satu warisan arsitektur Islam yang unik. Menara ini menggabungkan elemen budaya Hindu-Buddha dengan konsep Islam, mencerminkan cara Sunan Kudus berdakwah yang menghormati tradisi lokal tanpa mengorbankan esensi ajaran Islam. Area masjid dipenuhi peziarah, namun suasana tetap khusyuk dan tenang, mencerminkan betapa besarnya pengaruh spiritual dari tempat ini.

Kami segera menuju Maqom Sunan Kudus dan keluarga besarnya. Ritual ziyaroh kami lakukan dengan penuh kekhidmatan, melantunkan doa-doa terbaik, berharap agar Allah SWT melimpahkan rahmat dan keberkahan melalui perantara Sunan Kudus, seorang wali yang dikenal sangat bijaksana. Di hadapan maqom beliau, kami merenungkan betapa luar biasanya peran Sunan Kudus dalam menyebarkan Islam yang penuh hikmah dan kedamaian. Beliau tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga menciptakan harmoni antara agama dan budaya, yang hingga kini tetap menjadi contoh dalam dakwah Islam.

Setelah doa-doa dipanjatkan, kami menyempatkan diri untuk berfoto di area sekitar Menara Kudus dan masjid. Foto-foto ini mengabadikan momen berharga dalam perjalanan ziyaroh kami, menjadi kenang-kenangan dari perjalanan spiritual yang penuh hikmah. Selain sebagai dokumentasi, foto ini juga melambangkan komitmen kami untuk terus menjaga nilai-nilai keislaman yang penuh toleransi, sebagaimana telah dicontohkan oleh Sunan Kudus.

Perjalanan ziyaroh ini benar-benar memperkaya batin kami. Dari satu maqom wali ke maqom lainnya, kami tidak hanya belajar tentang sejarah Islam di Jawa, tetapi juga menyerap kebijaksanaan yang diajarkan para wali dalam menjalani kehidupan. Setelah menyelesaikan ziyaroh di Maqom Sunan Kudus, kami melanjutkan perjalanan pulang dengan hati yang penuh rasa syukur, membawa serta doa-doa dan harapan agar perjalanan ini memberikan keberkahan bagi kami, keluarga, dan seluruh masyarakat Desa Ngelo.

Setelah menyelesaikan ritual ziyaroh di Maqom Sunan Kudus, hari mulai beranjak senja. Kami memutuskan untuk berbuka puasa bersama di area sekitar Masjid Al-Aqso Menara Kudus. Suasana berbuka terasa hangat, penuh keakraban dan rasa syukur setelah menjalani rangkaian perjalanan spiritual ini. Masing-masing dari kami membawa bekal sederhana, namun kebersamaan inilah yang membuat momen berbuka menjadi begitu istimewa.

Setelah berbuka, kami segera menunaikan salat Maghrib berjamaah di Masjid Menara Kudus. Keagungan masjid ini, dipadukan dengan kekhidmatan ibadah di dalamnya, semakin memperdalam rasa spiritual kami. Suasana penuh ketenangan menyelimuti hati kami semua, seolah Sunan Kudus yang begitu dikenal dengan dakwah damainya, masih memberikan bimbingan kepada setiap peziarah yang datang. Usai berjamaah, kami menyempatkan diri lagi untuk berfoto sejenak, mengabadikan momen-momen berharga ini di sekitar menara yang ikonik tersebut.

Tanpa membuang waktu, perjalanan kami lanjutkan menuju Maqom Sunan Muria di puncak Gunung Muria, salah satu wali yang juga sangat dihormati di kalangan Walisongo. Namun, saat meninggalkan area Maqom Sunan Kudus, kami harus menghadapi tantangan yang tak terduga—kemacetan yang luar biasa di jalan keluar. Kendaraan berdesakan, sementara jalan sempit membuat lalu lintas sangat tersendat. Selama sekitar 30 menit, kami berjibaku dengan kemacetan tersebut. Meski sedikit menguras kesabaran, namun kami tetap berusaha menjaga semangat dan niat baik dalam perjalanan ini, berharap bahwa kesulitan ini menjadi bagian dari ujian kesabaran dalam ziyaroh kami.

Akhirnya, setelah berusaha keluar dari kemacetan, kami tiba di pelataran Makam Sunan Muria. Perasaan lega dan penuh syukur kembali menyelimuti rombongan kami setelah sampai di tempat ini. Area Gunung Muria yang sejuk dan tenang menyambut kedatangan kami. Sebelum melanjutkan ritual ziyaroh, kami semua mengambil waktu untuk membersihkan diri. Beberapa di antara kami mandi, sementara yang lainnya berwudhu di area yang telah disediakan. Air yang mengalir dari pegunungan Muria terasa begitu segar, seolah memberikan kesucian dan ketenangan kepada tubuh dan jiwa kami yang telah menempuh perjalanan panjang.

Persiapan ini kami lakukan dengan penuh kesadaran bahwa mendekati maqom seorang wali haruslah dengan tubuh yang bersih dan hati yang suci. Sunan Muria dikenal sebagai wali yang sangat sederhana, dekat dengan masyarakat pegunungan, dan ajaran-ajarannya sangat meresap di hati masyarakat sekitar. Beliau adalah sosok yang rendah hati dan penuh kebijaksanaan, yang mengajarkan nilai-nilai Islam melalui pendekatan lokal dan kebudayaan masyarakat setempat.

Dengan tubuh yang bersih dan hati yang tenang, kami siap melanjutkan ziyaroh ke maqom Sunan Muria dan keluarganya, berharap memperoleh keberkahan dan bimbingan dari Allah SWT melalui perantara para wali-Nya yang mulia. Perjalanan ziyaroh ini tidak hanya memperdalam ikatan spiritual kami, tetapi juga memperkuat semangat kami untuk terus mengamalkan ajaran Islam yang damai dan penuh hikmah, seperti yang diajarkan oleh para wali Allah di tanah Jawa ini.


(Pangkalan Ojek Sunan Muria)

Setelah merasa cukup bersih dan siap untuk melanjutkan ziyaroh, kami segera bergegas menuju puncak Gunung Muria. Medan yang menantang membuat kami memilih menggunakan jasa ojek untuk mencapai puncak dengan lebih cepat. Inilah momen yang menghadirkan sensasi tersendiri dalam perjalanan ziyaroh kami—perjalanan naik ojek di Gunung Muria yang terkenal curam dan berliku.

Saat duduk di atas motor, kami berpegang erat pada joki ojek yang sudah sangat mahir melintasi jalur-jalur terjal pegunungan ini. Dengan kecepatan yang menegangkan, tukang ojek membawa kami melewati tanjakan-tanjakan curam dan tikungan tajam. Setiap tikungan membuat jantung kami berdebar lebih cepat, seolah-olah sedang melintasi jalur roller coaster alami. Beberapa dari kami tak kuasa menahan tawa bercampur adrenalin, meski tetap harus menjaga keseimbangan dan berdoa dalam hati agar perjalanan ini lancar tanpa hambatan.

Namun, di balik sensasi mendebarkan tersebut, keindahan alam kawasan Gunung Muria perlahan-lahan tersingkap di depan mata. Pemandangan hutan-hutan hijau yang rimbun, lembah-lembah yang menghampar, dan kabut tipis yang menyelimuti sebagian lereng gunung, seolah memanjakan pandangan kami di sepanjang perjalanan. Udara sejuk yang menyegarkan menjadi teman setia, memberikan ketenangan di tengah detak jantung yang berdegup kencang.

Keindahan alam ini begitu mempesona, seolah menjadi tanda kebesaran Allah yang tercermin dalam ciptaan-Nya. Gunung Muria yang menjadi rumah bagi salah satu wali besar, Sunan Muria, kini juga menghadirkan ketenangan spiritual dalam setiap tarikan napas kami. Di antara suara deru motor yang menderu kencang di tanjakan, kami masih bisa merasakan kedamaian yang luar biasa dari suasana pegunungan ini.

Setiap detik perjalanan mendaki Gunung Muria dengan ojek ini memberi kami pengalaman yang tak terlupakan. Meski sesekali kami harus menahan napas saat melewati tikungan tajam dengan kecepatan tinggi, ada rasa kagum yang tak terungkap ketika menyaksikan keindahan yang terpampang luas di depan mata. Di sela-sela canda tawa yang timbul karena sensasi mendebarkan, kami tetap merasakan keagungan dan keindahan ciptaan Allah yang tak tertandingi.


(Pintu Masuk Komplek Makam Sunan Muria)

Akhirnya, setelah melewati perjalanan yang mendebarkan namun penuh pesona ini, kami tiba di puncak Gunung Muria, tempat maqom Sunan Muria berada. Hati kami semakin dipenuhi oleh rasa syukur dan kekaguman, bukan hanya karena berhasil menempuh perjalanan yang menantang, tetapi juga karena kesempatan untuk menyambung silaturahmi spiritual dengan salah satu wali Allah yang penuh hikmah dan kesederhanaan. Kami pun siap melanjutkan ziyaroh dengan hati yang bersih dan semangat yang baru, meresapi setiap doa yang kami panjatkan di tempat yang penuh berkah ini.

Sesampainya di puncak Gunung Muria, kami semua bersama-sama memasuki kawasan makam dengan penuh khidmat. Langkah-langkah kami terasa lebih pelan, seolah diselimuti oleh aura kesucian dan kedamaian yang terpancar dari tempat tersebut. Maqom Sunan Muria, yang dikelilingi oleh alam pegunungan yang tenang, menghadirkan suasana yang sarat dengan ketenangan batin. Para peziarah, termasuk kami, memasuki area makam dengan hati penuh rasa hormat dan khusyuk.

Tanpa membuang waktu, kami mulai melaksanakan ritual ziyaroh dengan penuh keikhlasan. Setiap lantunan doa yang kami panjatkan terasa menyatu dengan hembusan angin pegunungan yang lembut. Kami memulai dengan membaca tahlil dan zikir, memohon ampunan dan ridho dari Allah SWT melalui perantaraan Sunan Muria dan keluarganya yang dimakamkan di sini. Di tengah keheningan malam, kami merasakan kehadiran spiritual yang kuat, seakan-akan doa-doa kami dihantarkan langsung kepada Sang Maha Kuasa.

Setelah tahlil selesai, kami melanjutkan dengan mujahadah bersama. Dalam suasana yang penuh dengan kesyahduan, setiap dari kami tenggelam dalam doa-doa pribadi. Ini adalah momen di mana kami memadu harapan dan meramu doa kepada Ilahi, memohon perlindungan, keberkahan, dan petunjuk dalam menjalani kehidupan. Di hadapan maqom wali Allah yang penuh berkah ini, kami memohon agar segala niat baik kami dikabulkan dan diberikan kemudahan oleh-Nya.

Harapan-harapan kami melangit, seperti doa-doa yang tak henti kami bisikkan dalam hati. Di tengah kesunyian Gunung Muria, kami menyerahkan segala urusan hidup kepada Allah, berharap agar keberkahan para wali Allah ini bisa membawa cahaya bagi jalan hidup kami. Setiap doa yang dipanjatkan terasa begitu tulus, mencerminkan keyakinan kami bahwa setiap langkah dalam ziyaroh ini adalah upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Momen mujahadah ini bukan hanya menjadi waktu untuk berdoa, tetapi juga saat untuk merenung. Kami merenungi perjalanan hidup, tantangan yang dihadapi, serta harapan yang ingin dicapai. Di sini, di depan makam Sunan Muria, kami menemukan ketenangan dalam doa, mengalirkan segala kegelisahan dan memohon bimbingan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Setelah mujahadah dan doa bersama selesai, kami semua merasakan kedamaian yang luar biasa. Hati kami terasa lebih ringan, dipenuhi dengan rasa syukur dan harapan baru. Kami menyadari bahwa ziyaroh ini bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendalam—sebuah kesempatan untuk memperbaiki diri, memperkuat iman, dan memperbaharui semangat hidup di bawah ridho Allah SWT dan keberkahan para wali-Nya.

Setelah menyelesaikan seluruh rangkaian ritual di maqom Sunan Muria, kami menyempatkan berfoto-foto sejenak di area makam. Momen ini terasa begitu istimewa, karena di balik kesederhanaan ziyaroh, ada kebersamaan dan kekompakan yang terjalin kuat. Foto-foto yang diambil bukan sekadar dokumentasi perjalanan, melainkan kenangan spiritual yang kami bawa pulang—menjadi pengingat akan ketulusan doa yang dipanjatkan dan keberkahan yang dirasakan.

Ketika tiba saatnya untuk turun dari puncak Gunung Muria, kami terbagi menjadi dua kelompok. Saya, bersama Pak Kades Ngelo, memutuskan untuk tetap menggunakan ojek. Meski perjalanan naik sebelumnya cukup mendebarkan, kami merasa lebih praktis dan cepat dengan cara ini. Namun, sebagian besar peserta lainnya, terutama yang merasa sedikit trauma dengan pengalaman naik ojek yang menantang, memilih untuk turun dengan berjalan kaki. Mereka mengambil jalur menurun sambil menikmati keindahan alam Gunung Muria, yang terlihat lebih santai dari jalur pendakian.

Menuruni jalur pegunungan Muria dengan berjalan kaki memang menawarkan pengalaman yang berbeda. Selain lebih tenang, peserta yang memilih berjalan kaki juga sempat berhenti di beberapa kios oleh-oleh yang ada di sepanjang jalur turun. Mereka membeli suvenir khas daerah Muria, mulai dari makanan ringan hingga kerajinan tangan lokal, sebagai buah tangan untuk keluarga di rumah.

Sementara itu, saya dan Pak Kades melaju di atas ojek, kembali merasakan sensasi angin pegunungan yang dingin menyejukkan tubuh. Jalur menurun terasa lebih mudah bagi joki ojek, namun kami tetap menjaga keseimbangan dan berpegang erat, mengingat betapa curamnya jalur tersebut. Di antara perasaan lega dan kegembiraan, kami merenungi perjalanan ziyaroh yang sudah setengah jalan kami lalui.

Sesampainya di titik pertemuan di bawah, kami menunggu rombongan yang turun berjalan kaki sembari berbagi cerita tentang pengalaman masing-masing. Setelah semua kembali berkumpul, perjalanan kami lanjutkan ke tujuan berikutnya: Maqom Syekh Jangkung, yang terletak di Landoh, Kayen, Pati Selatan. Syekh Jangkung, atau Saridin, adalah tokoh legendaris yang memiliki kisah menarik dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa. Selain Syekh Jangkung sendiri, keluarganya juga dimakamkan di area ini.

(Pintu Masuk Utara Komplek Makam Syaih Jangkung)

Perjalanan menuju maqom Syekh Jangkung diwarnai dengan keheningan batin, mungkin karena kami sudah melewati beberapa makam wali besar, dan rasa khusyuk serta syukur semakin dalam terasa. Kami memahami bahwa ziyaroh ini bukan hanya soal menghormati para wali, tetapi juga upaya untuk menguatkan diri dalam iman dan ketakwaan kepada Allah. Dengan hati yang penuh harapan dan jiwa yang semakin lapang, kami pun melanjutkan perjalanan ziyaroh ini, dengan niat untuk terus mendekatkan diri pada ridho-Nya.

Sesampainya di Maqom Syekh Jangkung, waktu telah beranjak ke puncak malam. Kegelapan langit yang pekat disertai udara dingin pegunungan memberikan nuansa syahdu yang mengiringi langkah kami. Karena waktu Isya' sudah masuk, kami memutuskan untuk melaksanakan sholat Isya’ berjamaah sebelum memulai ritual ziyaroh di maqom ini. Di tengah suasana hening dan khusyuk, kami bersiap-siap untuk berwudhu dan melaksanakan sholat dengan penuh kekhidmatan.

Sholat Isya’ berjamaah ini menjadi momen perenungan tersendiri bagi kami. Di tengah perjalanan panjang ini, sholat terasa sebagai titik penyegaran, baik secara fisik maupun spiritual. Setelah usai menunaikan kewajiban, kami segera bergerak menuju area makam Syekh Jangkung. Dengan langkah hati-hati dan rasa penuh hormat, kami memasuki kawasan suci tersebut.

Di depan maqom Syekh Jangkung, kami memulai mujahadah dan bermunajat kepada Allah SWT. Doa-doa kami terucap dengan hati yang tulus, mengalirkan harapan dan keluh kesah kepada Sang Penguasa Jagad Raya. Dalam keheningan malam, setiap lafaz zikir yang kami panjatkan seakan menyatu dengan alam sekitar. Kami memohon ampunan, rahmat, serta keberkahan dari Allah SWT melalui perantaraan Syekh Jangkung dan keluarga besarnya yang dimakamkan di sini.

Mujahadah ini, seperti ritual di maqom-maqom sebelumnya, memberikan kedamaian batin yang mendalam. Di tengah perjalanan ziyaroh ini, kami semua merasakan kebersamaan yang tak hanya terjalin secara fisik, tapi juga secara spiritual. Ada ketenangan dan harapan baru yang tumbuh setelah setiap doa terpanjatkan.

Setelah semua ritual selesai, kami menyempatkan diri untuk duduk sejenak dan merasakan kedamaian yang menyelimuti maqom ini. Rasa syukur terucap dari setiap hati karena diberi kesempatan untuk berziyaroh ke makam-makam wali Allah yang mulia.

Kemudian, kami bergegas untuk memulai perjalanan pulang. Rute yang kami pilih kali ini adalah melewati puncak Sukolilo hingga Purwodadi. Perjalanan malam itu terasa lebih hening, seolah menyisakan ruang untuk kami merenungi setiap momen yang telah kami lalui. Udara malam yang dingin menemani perjalanan kami, namun hati kami terasa hangat oleh pengalaman spiritual yang mendalam.

Alhamdulillah, setelah perjalanan panjang dan penuh keberkahan, kami tiba di rumah masing-masing menjelang waktu subuh. Rasa syukur tak henti-hentinya kami panjatkan kepada Allah SWT atas kelancaran ziyaroh ini. Dengan hati yang lebih tenang, iman yang semakin kuat, dan harapan yang baru, kami menutup perjalanan ini dengan doa, berharap bahwa semua keberkahan dan ridho Allah senantiasa menyertai kami dan keluarga.

Rabu, 21 Agustus 2024

"Jejak Doa di Bawah Langit Senja: Sebuah Perjalanan, Harapan dan Keberkahan"

Ziyaroh Kerumah Ustd. Luqman

Hari ini, Selasa 20 Agustus 2024, adalah hari yang penuh makna dalam perjalanan hidupku. Di bawah langit biru yang seolah ikut merestui setiap langkahku, aku memulai perjalanan menuju desa Trucuk, Kabupaten Bojonegoro, untuk berziyarah ke rumah seorang sahabat yang baru saja pulang dari tanah suci, menunaikan ibadah Umroh. 


Perjalanan ini terasa istimewa, bukan hanya karena tujuan mulia yang kami niatkan, tetapi juga karena kebersamaan yang terjalin di antara kami berempat—aku, Pak Sigit, Pak Sareh, dan Gus Aly. Dalam perjalanan yang memakan waktu hampir dua jam itu, setiap detik terasa begitu berharga, diiringi percakapan ringan dan canda tawa yang tak lekang oleh waktu.


Sesampainya di rumah sahabatku, Ustadz Luqman dan istrinya, Ustadzah Muthoharotun Nisa', kami disambut dengan penuh kehangatan. Senyum tulus yang terpancar dari wajah mereka seolah menghapus lelah perjalanan. Di ruang tamu yang sederhana namun penuh berkah, kami duduk bersila, mendengarkan cerita-cerita religius yang dibagikan oleh Gus Luqman. Suaranya yang teduh membawa kami seakan ikut serta dalam setiap langkahnya di tanah suci, menapaki jejak-jejak spiritual yang mendalam, menguatkan iman, dan mempertebal rasa syukur.


Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah hikmah, setiap cerita yang disampaikan adalah pelajaran berharga tentang kebesaran-Nya. Dalam satu jam yang terasa begitu singkat, kami larut dalam keheningan yang penuh makna, merenungi perjalanan hidup dan bagaimana setiap langkah kita adalah bagian dari rencana besar yang telah digariskan oleh-Nya.


Akhirnya, tibalah saatnya kami berpamitan. Dengan hati yang penuh rasa syukur, kami meninggalkan rumah sahabatku, membawa pulang bukan hanya kenangan, tetapi juga inspirasi dan semangat baru untuk melanjutkan perjalanan hidup ini. Perjalanan pulang yang dilalui dalam senja yang mulai meredup, menutup hari ini dengan indah—sebuah hari yang tak akan terlupakan dalam jejak kehidupan yang terus bergulir.


Dalam perjalanan pulang, suara angin yang berdesir di antara pepohonan seolah menjadi irama pengantar renungan. Di dalam mobil, kami tak banyak bicara, seolah setiap dari kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, meresapi makna dari perjalanan yang baru saja kami lalui.


Pikiranku melayang pada setiap kisah yang disampaikan oleh Gus Luqman. Bagaimana ia menceritakan tentang tawaf di Ka'bah dengan penuh khusyuk, seakan waktu berhenti dan dunia hanya berpusat pada putaran yang penuh makna itu. Ia berbicara tentang keheningan di Arafah yang menyentuh relung jiwa, mengajarkan bahwa ketenangan sejati hanya bisa didapatkan saat kita benar-benar menyerahkan diri pada-Nya. Dan tentang sai di antara Safa dan Marwah, yang mengingatkan kita bahwa hidup ini adalah perjalanan tanpa henti, perjuangan yang tak mengenal kata menyerah.


Setiap kisahnya mengajarkanku banyak hal, bahwa dalam hidup ini, ada saatnya kita harus berhenti sejenak, merenung, dan mengambil hikmah dari setiap perjalanan yang telah kita lalui. Bukan hanya untuk memperkaya batin, tetapi juga untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih dekat kepada-Nya, dan lebih memahami arti dari setiap langkah yang kita ambil.


Mentari semakin memuncak ketika kami akhirnya tiba di rumah masing-masing. Namun, kehangatan yang kami bawa dari perjalanan hari ini masih terasa, seperti bara yang tetap menyala di dalam hati. Aku tahu, bahwa hari ini bukan sekadar perjalanan fisik menuju desa Trucuk, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendekatkan aku kepada Tuhan, kepada sahabat, dan kepada diriku sendiri.


Dan di akhir hari, saat mata ini perlahan terpejam, aku berdoa semoga setiap langkah yang kuambil ke depan akan selalu diberkahi oleh-Nya, sebagaimana perjalanan hari ini yang penuh dengan makna, cinta, dan kebersamaan. Inilah perjalanan hidup, yang tak selalu mudah, tetapi selalu penuh dengan keindahan dan pelajaran, jika kita mau membuka hati dan melihatnya dengan mata jiwa.

Memberikan Potongan Tumpeng Kepada Pak Hendra

Sesampainya di rumah sekitar pukul 12.00 siang, aku langsung menunaikan sholat Dhuhur dengan khusyuk, meresapi setiap doa yang kuucapkan, memohon keberkahan untuk hari yang panjang ini. Setelahnya, aku berbaring sejenak, mencoba merilekskan badan yang mulai terasa letih oleh perjalanan tadi pagi. Namun, istirahatku tak berlangsung lama, karena pada pukul 15.00 ada undangan yang harus kuhadiri—sebuah acara penting dari PT Waskita.


Sekitar pukul 14.00, istriku dengan lembut membangunkanku dari tidur siangku. Dengan senyuman yang penuh perhatian, ia mengingatkan bahwa saatnya untuk bersiap-siap. Aku segera menuju kamar mandi, air yang mengalir membasuh wajahku seolah membawa kesegaran baru, mempersiapkan diri untuk tugas berikutnya. Setelah mandi, aku meluangkan waktu sejenak untuk bermujahadah, menyerahkan seluruh rencana hari ini kepada Allah SWT, memohon kekuatan agar setiap langkah yang kuambil dipenuhi dengan keberkahan-Nya.


Tepat ketika adzan Asar berkumandang, aku mengambil wudhu dan melaksanakan sholat Asar dengan penuh kekhusyukan. Di dalam doa, aku memohon perlindungan dan kemudahan, mengharap setiap usaha yang kulakukan hari ini dapat menjadi amal yang diridhai-Nya. Tak lama setelah aku selesai sholat, suara mobil yang dikemudikan oleh Mas Ngadimen, utusan dari PT Waskita, terdengar memasuki halaman rumah. 


Aku berpamitan kepada istriku dan anak-anak, memeluk mereka dengan penuh kasih, dan kemudian melangkah keluar rumah dengan penuh keyakinan. Perjalanan menuju kawasan proyek Pengecoran Bendungan Karangnongko terasa tenang, pikiranku sudah mulai mempersiapkan diri untuk acara yang akan dihadiri.


Sesampainya di sana, aku disambut hangat oleh Pak Hendra, kontraktor utama proyek ini. Sebelum acara resmi dimulai, kami sempat berbincang tentang banyak hal—tentang proyek ini, tantangan yang dihadapi, hingga harapan-harapan ke depan. Pak Hendra adalah sosok yang berdedikasi tinggi, dan dari percakapan kami, terasa jelas bahwa ia sangat ingin proyek ini berjalan dengan lancar dan sukses.


Ketika tiba waktunya, aku diminta untuk memimpin doa. Dengan penuh rasa syukur dan rendah hati, aku menyampaikan hajat kami kepada Allah SWT, memohon agar setiap orang yang terlibat dalam pembangunan bendungan ini senantiasa diberi keselamatan, dan semoga hasil dari pekerjaan ini membawa berkah bagi semua umat. Setelah doa selesai, aku diberi kehormatan untuk memotong tumpeng, sebuah simbol keberhasilan dan harapan baik untuk masa depan. Potongan tumpeng pertama aku serahkan kepada Pak Hendra, sebagai tanda kerjasama yang erat dan saling mendukung.


Setelah semua rangkaian acara selesai, aku berpamitan dengan Pak Hendra, berterima kasih atas sambutan dan kerjasamanya yang baik. Perjalanan pulang kali ini terasa ringan, bukan hanya karena acara yang berjalan lancar, tetapi juga karena doa-doa yang terucap hari ini, yang kuharap menjadi bagian dari setiap keberhasilan yang akan datang.


Dalam perjalanan pulang dari proyek Pengecoran Bendungan Karangnongko, suasana hati terasa tenteram. Setiap detik yang berlalu di hari ini membawa makna yang dalam, seolah-olah setiap langkah telah diatur dengan penuh kehati-hatian oleh-Nya. Mobil yang dikendarai Mas Ngadimen melaju dengan tenang di bawah langit sore yang mulai merona, menyisakan perenungan yang mendalam dalam pikiranku.


Aku merenung, bagaimana setiap kejadian di hari ini terjalin dalam satu kesatuan yang harmonis. Dari ziarah ke rumah sahabat yang baru pulang dari Umroh, hingga memimpin doa di proyek bendungan—semuanya membawa pesan tentang pentingnya menjaga niat yang lurus dan tulus dalam setiap tindakan. Doa yang kuucapkan tadi, aku yakini telah membawa keberkahan tidak hanya bagi mereka yang bekerja di proyek itu, tetapi juga bagi keluargaku dan diriku sendiri. 


Sesampainya di rumah, senja telah beranjak menuju malam. Istriku menyambutku di depan pintu dengan senyum hangat, dan anak-anak berlari menyongsongku dengan riang. Kehangatan keluarga ini adalah anugerah yang tiada tara, menghapus lelah dan menyegarkan jiwa. Dalam kebersamaan ini, aku merasa setiap tantangan yang kuhadapi sepanjang hari terbayar lunas oleh cinta dan perhatian yang mereka berikan.


Malam itu, setelah makan malam bersama, aku menyempatkan diri untuk duduk di ruang keluarga, berbicara dengan istriku tentang semua yang terjadi hari ini. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian, seperti biasa, menjadi tempatku berbagi segala cerita, kegelisahan, dan harapan. Dalam percakapan kami, aku merasakan betapa pentingnya peran keluarga dalam menjaga keseimbangan hidupku. Mereka adalah pilar yang selalu menopangku, menguatkan saat lelah, dan menghibur saat hati terasa berat.


Sebelum tidur, aku merenungkan semua yang telah terjadi. Hari ini, lebih dari sekadar aktivitas yang padat, adalah tentang bagaimana aku mencoba untuk selalu melibatkan Allah dalam setiap langkahku, dalam setiap niatku. Dan aku bersyukur, karena di setiap perjalanan yang kujalani, selalu ada cahaya-Nya yang menuntun, memberikan kekuatan dan kedamaian.


Malam itu, aku tidur dengan hati yang penuh syukur. Hari yang panjang ini, meski melelahkan, telah mengajarkanku bahwa hidup adalah tentang terus bergerak maju dengan keyakinan, dan bahwa setiap doa yang kita panjatkan dengan tulus akan selalu menemukan jalannya untuk dikabulkan. Besok, hari baru akan datang, dan aku siap untuk menyambutnya dengan penuh semangat, membawa pelajaran hari ini sebagai bekal untuk langkah-langkah berikutnya.

Senin, 12 Agustus 2024

"Jejak Rindu dan Cinta di Antara Dua Pesantren: Doa dan Harapan Meraih Ilmu Yang Barokah"


Ahad, 11 Agustus 2024 - Pagi itu, sekitar pukul delapan, kami sekeluarga bersiap untuk memulai perjalanan menuju dua pesantren yang penuh kenangan, Lirboyo di Kediri dan Sabilun Najah di Bojonegoro. Dalam satu mobil, kami menyusuri jalur Jipangulu - Watujago Ngawi, sebuah jalan desa yang kini telah bertransformasi menjadi jalan cor beton yang halus, dibangun dengan ketekunan pemerintah di tengah hutan yang lebat.


Sepanjang perjalanan, si bungsu Syafiq tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Wajahnya bersinar seperti pagi yang cerah, penuh antusiasme untuk bertemu dengan kedua kakaknya. Di sebelahnya, istri saya dan ibu saya—neneknya Syafiq—juga tak kalah bahagia. Keceriaan mereka adalah alunan nada yang harmonis, menyatu dengan deru mesin mobil yang mengantarkan kami ke tujuan.


Mas Udin, driver setia kami, mengemudi dengan penuh kepercayaan diri. Di sisinya, Mas Aris, Ketua Ansor yang masih lajang, duduk dengan tenang, sesekali tersenyum mendengarkan candaan ringan yang terbang bersama angin di dalam mobil. Kami semua merasa seperti tengah melakukan perjalanan penyembuhan, bukan sekadar perjalanan biasa. Udara pegunungan yang segar meresap dalam paru-paru kami, sementara pemandangan hijau dari hutan reboisasi di sepanjang jalan seakan menjadi pelipur lara, menjauhkan kami dari hiruk-pikuk dunia yang penuh kesibukan.


Ketika kami mulai memasuki kawasan kota Kediri, tiba-tiba telepon dari Kak Bekan berbunyi. Suaranya yang hangat melalui sambungan telepon menanyakan posisi kami, menambah semangat kami yang telah hampir sampai di tempat tujuan.


Sekitar pukul setengah dua belas siang, kami pun tiba di pesantren Lirboyo, tempat Kak Bekan menuntut ilmu. Hawa pesantren yang sejuk menyambut kami, mengingatkan pada suasana yang penuh dengan kesederhanaan dan kekhidmatan. Syafiq, si bungsu, langsung melompat keluar dari mobil dengan penuh semangat. Matanya bersinar saat melihat Kak Bekan yang menyambut kami di gerbang pesantren. Seperti biasa, Syafiq langsung merajuk manja kepada kakaknya, memanfaatkan setiap detik kebersamaan dengan penuh kasih sayang.


Perjalanan ini bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan jiwa yang membawa kami lebih dekat satu sama lain, menjalin kembali ikatan keluarga yang erat, dan mengingatkan kami akan pentingnya kebersamaan dalam setiap langkah kehidupan.


Sesampainya di pesantren Lirboyo, setelah pertemuan hangat dengan Kak Bekan, kami tak lupa untuk melaksanakan salah satu niat utama dalam perjalanan ini—ziyarah ke makam para mu'assis, pendiri pesantren, yakni Mbah Kiai Abdul Karim dan para dzuriyahnya. 


Dengan langkah yang perlahan namun penuh hormat, kami menuju kompleks makam yang terletak tidak jauh dari area utama pesantren. Suasana di sekitar makam begitu khidmat, seolah-olah setiap dedaunan yang berguguran membawa doa-doa yang tulus dari para peziarah yang datang. Udara di sana terasa sejuk, membawa aroma spiritual yang menyelimuti hati kami dengan ketenangan.


Istri saya, dengan kerudungnya yang tertiup lembut angin, menggandeng tangan ibu saya yang tampak khusyuk dalam setiap langkahnya. Sementara itu, Syafiq berjalan di antara mereka, matanya yang ceria sedikit meredup, mungkin merasakan keagungan dan kesucian tempat ini. Walau sesekali tetap menikmati manjanya dengan mkinta gendong kak Bhan.


Di depan makam Mbah Kiai Abdul Karim, kami berdiri dalam diam, tenggelam dalam doa-doa yang dipanjatkan dengan penuh keikhlasan. Mata kami terpejam, meresapi setiap bait doa yang kami ucapkan, mengirimkan rasa hormat dan terima kasih kepada mereka yang telah berjasa besar dalam menyebarkan ilmu dan kebaikan. 


Di antara bisikan angin yang membawa harum bunga-bunga do'a, doa-doa kami melayang, merangkai harapan agar warisan ilmu dan ketulusan para mu'assis ini terus terjaga, mengalir seperti air yang tak pernah kering, memberi manfaat bagi umat di sepanjang zaman. Ziarah ini bukan sekadar ritual, melainkan wujud penghormatan kami kepada beliau yang telah mewariskan ilmu, menuntun kami dalam jalan yang terang. 


Setelah menghabiskan beberapa waktu di makam, kami kembali ke tempat kami singgah  dengan hati yang lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih. Kami merasa diberkahi oleh perjalanan ini, seolah-olah semangat para ulama terdahulu ikut mengiringi langkah kami menuju tujuan berikutnya.


Sesampainya kami di tempat singgah wali santri, waktu telah beranjak sore. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah empat, menandakan bahwa kami harus segera bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya—Pesantren Sabilunnajah di Kanor, Bojonegoro, tempat di mana Kak Afif sedang menuntut ilmu. Suasana di tempat singgah itu tampak tenang, namun di dalam hati kami, ada kehangatan yang perlahan-lahan berubah menjadi rasa haru.

Si Bungsu, Syafiq, yang sejak tadi begitu gembira bertemu dengan Kak Bekan, kini terlihat sedikit ogah-ogahan saat waktu perpisahan tiba. Dia menundukkan kepala, menggenggam tangan Kak Bekan dengan erat, seolah-olah ingin memperpanjang setiap detik kebersamaan mereka. Namun, di balik mata beningnya yang sendu, terlihat juga kilatan antusiasme untuk segera bertemu dengan Kak Afif. Rasa rindu yang terbelah antara dua kakak ini menciptakan perasaan yang kompleks di dalam hati Syafiq, dan mungkin di hati kami semua.

Ketika saatnya tiba untuk berpamitan, pandangan haru menyelimuti kami. Saya melihat istri saya menahan air mata yang hampir jatuh, sementara ibu saya memberikan pelukan hangat kepada Kak Bekan. Di tengah keheningan, hanya terdengar bisikan-bisikan lembut doa yang kami ucapkan untuk Kak Bekan, agar ia senantiasa diberi kekuatan dan kesuksesan dalam menuntut ilmu di pesantren.

Syafiq, dengan tatapan berat, akhirnya melepaskan genggaman tangannya dari Kak Bekan. "Nanti kalau ada waktu, Kak Bekan datang ya," ucapnya dengan suara pelan, tetapi penuh harapan. Kak Bekan tersenyum, mengangguk dengan janji yang tersirat dalam matanya, janji bahwa pertemuan berikutnya akan datang, entah kapan, tetapi pasti.

Dengan berat hati, kami pun masuk kembali ke dalam mobil. Perjalanan harus dilanjutkan, karena masih ada satu tujuan lagi yang menunggu. Saat mesin mobil mulai berderu, saya melirik ke kaca spion, melihat Kak Bekan yang berdiri di sana, melambaikan tangan dengan senyuman yang masih tergurat di wajahnya. Syafiq melambai balik, dan seketika, saya merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dada—sebuah perasaan yang begitu manusiawi, perpaduan antara kebahagiaan dan kesedihan yang hanya bisa dirasakan dalam momen perpisahan seperti ini.

Mobil pun mulai melaju, meninggalkan Lirboyo dengan segala kenangannya, menuju Bojonegoro dengan harapan baru. Di perjalanan, meski ada rasa haru yang tersisa, ada juga semangat yang perlahan tumbuh kembali. Kami tahu, perjalanan ini masih panjang, dan di ujungnya, ada Kak Afif yang menunggu dengan senyuman yang pasti akan kembali menghangatkan hati kami semua.

Perjalanan kami berlanjut dengan penuh keyakinan, mengikuti ijtihad Mas Udin, sang sopir yang sudah berpengalaman. Dengan tenang, ia memilih jalur yang terbaik, membawa kami melewati Papar, Kediri, hingga tembus ke Perak, Jombang. Jalanan yang mulus dan lengang membuat kami melaju dengan lancar, sementara di dalam mobil, suasana perlahan berubah menjadi lebih tenang, seiring matahari yang mulai meredup di ufuk barat.

Namun, tantangan sebenarnya baru dimulai ketika Mas Udin memutuskan untuk mengambil jalur pintas dari Jombang menuju Sukorame, dan kemudian tembus ke Sumberjo, Bojonegoro. Jalur ini memang lebih cepat, tetapi ia harus melintasi hutan lagi. Hanya saja, berbeda dengan perjalanan sebelumnya, kali ini kami harus melintasi hutan dalam gelapnya malam.

Saat kami mulai memasuki jalur hutan, keheningan malam perlahan menyelimuti kami. Hanya suara deru mesin dan hembusan angin yang terdengar, menggantikan canda tawa yang tadi mewarnai perjalanan. Kegelapan malam menutupi keindahan alam yang sebelumnya bisa kami nikmati di siang hari. Pohon-pohon tinggi di sekeliling kami hanya tampak sebagai bayangan hitam yang membingkai jalanan, menambah kesan misterius di perjalanan ini.

Di dalam mobil, Syafiq yang sebelumnya ceria kini mulai terkantuk-kantuk, kepalanya perlahan bersandar di pundak ibunya. Istri saya juga tampak mulai mengantuk, sementara ibu saya sudah tertidur lelap, mungkin lelah setelah seharian penuh menemani kami. Saya sendiri merasakan kelopak mata yang semakin berat, tetapi tetap berusaha terjaga, memperhatikan jalanan yang semakin gelap.

Malam itu, indahnya perjalanan tidak lagi bisa kami nikmati dengan mata terbuka. Segala keindahan yang pernah kami rasakan di siang hari, kini hanya bisa kami temui dalam mimpi. Jalanan yang sepi dan sunyi menjadi latar belakang yang sempurna untuk membiarkan imajinasi kami bermain, membayangkan kembali pemandangan hijau yang telah kami lewati, menggantikan kegelapan malam yang membatasi pandangan.

Mas Udin, dengan keahlian dan ketenangannya, tetap fokus membawa kami melalui jalan-jalan yang berkelok dan gelap. Meskipun kami tak lagi bisa menikmati indahnya alam di sekitar, keindahan malam itu hadir dalam bentuk lain—dalam kedamaian yang menyelimuti kami, dalam mimpi-mimpi yang mulai menghampiri, dan dalam keyakinan bahwa perjalanan ini akan berakhir dengan selamat, membawa kami bertemu Kak Afif yang sudah menunggu di ujung perjalanan.

Ketika akhirnya kami tiba di Bojonegoro, malam sudah semakin larut. Meski lelah, ada kebahagiaan yang tetap hangat dalam hati kami, mengetahui bahwa meski dalam gelap, kami telah melewati perjalanan ini bersama-sama, dengan segala keindahannya yang mungkin tak terlihat oleh mata, tetapi dirasakan dalam jiwa.

Sesampainya di pesantren Sabilunnajah, malam sudah semakin larut, namun agenda kami belum usai. Di sana, kami dihadapkan pada tradisi rutin yang tak boleh dilewatkan, yakni Mujadah Do'a bersama dan pengajian yang dipimpin oleh KH Anwar Zahid, acara yang ditujukan bagi wali santri dan para jamaah yang setia mengikuti kajian beliau. 

Meski badan terasa lelah setelah menempuh perjalanan panjang, kami tetap mengikuti acara dengan penuh khidmat. Di dalam ruangan yang sederhana namun penuh aura spiritual, suara lantunan doa dan dzikir bergema, menembus malam yang hening. Setiap kalimat yang diucapkan, setiap bait doa yang dipanjatkan, seolah membawa ketenangan dan kehangatan yang meresap ke dalam jiwa. Istri saya dan ibu saya terlihat khusyuk, mata mereka tertutup, tenggelam dalam doa-doa yang mereka panjatkan. Saya pun merasakan kedamaian yang mendalam, meski mata ini sudah mulai berat, tetapi hati terasa ringan, seolah beban dunia terangkat sejenak dalam lantunan doa bersama.


Waktu terus berjalan, hingga akhirnya acara selesai sekitar pukul 12 malam. Saat itu, barulah kami memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Kak Afif. Rasa lelah seketika hilang ketika kami melihat Kak Afif muncul dari balik pintu, senyum lebar menghiasi wajahnya. Si Bungsu, yang kebetulan baru saja terbangun dari tidurnya, langsung terlihat segar dan penuh semangat. Matanya yang berbinar kembali cerah, dan tanpa ragu, ia berlari kecil menuju Kak Afif. Dalam sekejap, ia sudah berada dalam pelukan hangat sang kakak.

Rasa manja Syafiq pun tumpah ruah, ia mulai bercerita tentang perjalanan kami, tentang Kak Behan, dan tentang rindu yang selama ini ia rasakan. Kak Afif, dengan sabar dan penuh kasih sayang, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut adiknya, sesekali tertawa, sesekali mengusap rambut Syafiq dengan lembut. Terlihat jelas bahwa mereka berdua sangat menikmati momen kebersamaan ini, momen yang mungkin langka, tetapi begitu berharga.

Saya dan istri, bersama ibu saya, hanya bisa duduk dan menyaksikan kebahagiaan mereka. Hati kami terasa penuh, dipenuhi rasa syukur dan haru. Sesekali, istri saya menyeka air mata yang tak terbendung, air mata kebahagiaan melihat anak-anak kami bisa berkumpul kembali meski dalam waktu yang singkat. Ibu saya juga tak kuasa menahan haru, tangannya menggenggam tangan saya erat, seolah ingin berbagi perasaan yang sama.

Malam itu, di bawah langit Pesantren Sabilunnajah, kami merasakan kehangatan yang begitu dalam. Kebersamaan ini adalah anugerah yang tak ternilai, membawa ketenangan dan kebahagiaan yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Meski lelah, meski malam sudah larut, pertemuan dengan Kak Afif menutup perjalanan panjang kami dengan sempurna—sebuah perjalanan yang penuh cinta, harapan, dan keharuan yang akan selalu kami kenang.

Setelah pertemuan dengan Kak Afif di Pesantren Sabilunnajah, perasaan haru yang mendalam masih menyelimuti hati kami. Namun, waktu tak bisa ditunda, dan kami tahu bahwa saatnya untuk berpamitan telah tiba. Dengan perasaan yang campur aduk, kami serombongan memutuskan untuk pulang. 

Si Bungsu, Syafiq, yang sejak tadi begitu ceria bertemu Kak Afif, kini terlihat masih enggan untuk berpisah. Tubuh kecilnya bergelayutan merangkul erat sang kakak, seolah ingin menahan setiap detik agar kebersamaan ini bisa bertahan sedikit lebih lama. Mata kecilnya yang ceria kini mulai meredup, seolah menyadari bahwa perpisahan tak bisa dihindari.

Kak Afif, dengan sabar dan lembut, menenangkan adiknya. Ia berjanji bahwa waktu akan membawa mereka bertemu lagi, di hari yang akan datang. Namun, tetap saja, momen ini penuh dengan perasaan yang tak mudah dilukiskan—campuran antara kasih sayang, kebanggaan, dan sedikit kesedihan. Kami, sebagai orang tua, hanya bisa mengamati dari kejauhan, merasakan setiap getaran emosi yang terpancar di antara mereka.

Dalam hati, saya dan istri, serta ibu saya, tak henti-hentinya bermunajat kepada Allah SWT. Harapan kami begitu besar, berharap agar putra-putra kami di pesantren dapat berhasil dalam menuntut ilmu. Kami berdoa agar ilmu yang mereka pelajari menjadi ilmu yang bermanfaat dan penuh berkah, agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang sholih, baik dalam lahir maupun batin, sukses di dunia dan akhirat. 

Doa-doa itu mengalir dari hati kami yang terdalam, memohon kepada Sang Maha Kuasa agar perjalanan hidup anak-anak kami selalu dilindungi dan diberkahi. Semoga segala usaha mereka dalam mencari ilmu diridhai oleh Allah, dan kelak mereka menjadi kebanggaan bagi keluarga dan agama.

Akhirnya, dengan hati yang sedikit berat, kami melepas Syafiq dari pelukan Kak Afif. Dengan lambaian tangan dan senyuman yang menguatkan, kami pun berangkat meninggalkan pesantren, membawa serta harapan dan doa-doa yang kami titipkan di setiap langkah. Malam semakin larut ketika kami melaju pulang, tetapi di dalam hati, ada cahaya yang tak pernah padam—cahaya cinta, doa, dan harapan yang akan selalu mengiringi perjalanan hidup anak-anak kami, di mana pun mereka berada.