Dengan nada suara yang terasa ragu namun sarat kekhawatiran, ia memulai cerita. Rupanya, ia menemukan bahwa NIK-nya masih tercatat sebagai anggota partai politik di laman situs resmi KPU RI. Namanya terpampang jelas, seolah ia masih menjadi bagian dari arus politik yang pernah ia tinggalkan. Dulu, ia memang pernah terdaftar sebagai pengurus partai, namun kini ia telah jauh melangkah ke jalan yang berbeda, menata hidup dan tujuan yang lebih tulus.
Mendengar cerita itu, aku pun turut merasakan keresahannya. Dalam diam, aku berpikir, berusaha menemukan jalan keluarnya. Setelah beberapa saat, dengan suara yang kukuatkan, kusampaikan padanya untuk segera mengurus segala persyaratan yang, aku tahu, pasti tak sederhana. "Ikutilah prosedur, walau panjang dan berliku. Segala yang njlimet itu pasti ada jalannya," kataku mencoba memberi secercah harapan.
Seketika percakapan kami berakhir, aku duduk termenung, merasakan beban yang menguap bersama cerita tadi. Di antara bayang-bayang rasa khawatir yang menyeruak, aku tersenyum, sedikit lega. "Aku tak perlu risau," gumamku dalam hati, meyakinkan diri. "Aku tak pernah terlibat dalam partai politik manapun; jalanku adalah untuk mengabdi tanpa embel-embel yang membelenggu."
Namun, dalam senyap yang tiba-tiba menyergap, benakku melayang pada kenyataan bahwa apa yang terjadi pada temanku bisa menimpa siapa saja, termasuk diriku. Hari ini menjadi pengingat halus, bahwa niat dan ketulusan tak selalu menjauhkan kita dari kesalahpahaman yang tak terduga. Tetap, aku percaya, apapun yang datang, jika hati dan langkah ini tulus, jalan akan terbuka, seiring takdir yang disuratkan Sang Pengatur Alam.
Tak lama berselang setelah percakapan dengan temanku, sebuah lintasan pikiran tiba-tiba menggoda hatiku. "Bagaimana kalau aku juga memeriksa NIK-ku? Bukankah tidak ada salahnya untuk berjaga-jaga?" Dengan perasaan iseng namun sedikit khawatir, aku menghubungi Mas Yadi, seorang teman yang bekerja sebagai PANWASCAM. "Mas, boleh tolong cek NIK-ku? Siapa tahu ada yang menyalahgunakan," pesanku ringan.
Tak sampai lama, ponselku bergetar, dan sebuah pesan dari Mas Yadi masuk. Namun, isi pesan itu bak petir menyambar jiwa. "Nikmu, ternyata, tercatat oleh salah satu parpol baru."
Jantungku seketika berdegup kencang, mataku tertuju pada layar ponsel, membaca berulang kali pesan yang tak kunjung kupahami maknanya. Aku membeku, mencoba menepis kenyataan yang tak kunjung hilang. Partai yang mengatasnamakan diriku ini, tak pernah kudengar namanya, tak pernah kulihat logonya. Warna, simbol, bahkan filosofi yang mereka usung pun sama sekali asing bagiku.
"Ooh, betapa kejamnya dunia!" gumamku dalam hati. Mengapa harus aku, di mana letak salahku? Aku tak pernah menorehkan tinta di atas lembaran janji politik, tak pernah menyandarkan hidup pada ormas berwarna tertentu. Namun kini, namaku terhimpit di antara yang tak pernah kujejakkan kaki. Aku terjebak dalam catatan yang bukan milikku, menanggung beban dari kesalahan yang tak pernah kubuat.
Apakah harus aku terjatuh karena permainan dunia yang begitu kejam? Di hadapan kenyataan yang getir ini, aku terpekur, seolah disergap takdir yang tak pernah kupilih.
Aku masih terpaku, merenungi getirnya kenyataan yang baru saja menghantam. Dunia terasa berputar pelan, namun membawa kesadaran pahit bahwa nama baik dan ketulusanku telah dicatut oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Di satu sisi, muncul keinginan untuk berontak, untuk mempertanyakan mengapa aku harus terjebak dalam belenggu yang tak pernah kubuat. Namun di sisi lain, rasa lelah membayangi, seolah-olah aku hanya debu kecil di pusaran dunia yang tak kenal belas kasih.
Sejenak, aku menarik napas dalam, mencoba meredam segala emosi yang menggelegak di dada. "Apakah harus aku tunduk pada tipu daya ini? Apakah aku harus menerima takdir yang menyakitkan ini tanpa daya?" Pertanyaan itu mengendap dalam benak, memaksaku menimbang pilihan antara menerima atau melawan.
Namun, dari dasar hati yang terdalam, aku tahu bahwa ketidakadilan ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Nama baik adalah warisan berharga, cerminan kehormatan yang kubangun dengan ketulusan dan pengabdian. Dengan tekad yang mulai kukumpulkan, kubulatkan hati untuk memperjuangkan kebenaran ini. Jalan mungkin akan panjang, penuh liku-liku birokrasi yang melelahkan. Tapi, aku yakin Allah menyaksikan dan takkan meninggalkan hamba-Nya yang berjuang atas kebenaran.
Dalam hening saat itu, aku menengadahkan tangan, menyerahkan segala yang terjadi pada Sang Pemilik Keadilan. "Ya Allah, berikanlah aku kekuatan untuk meluruskan segalanya. Jadikanlah ujian ini sebagai jalan bagiku untuk semakin mendekat pada-Mu dan menjaga amanah hidup yang Kau titipkan," doaku bergetar, menggema dalam jiwa yang perlahan mulai kukuh kembali.
Dan saat itu, meski kenyataan masih terasa berat, aku merasa ada cahaya yang menuntunku. Sebuah keyakinan bahwa aku tak sendiri dalam menghadapi semua ini, bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap langkah pencarian kebenaran. Maka, dengan segala kerendahan hati dan keteguhan, kutetapkan niat untuk memperjuangkan nama dan amanah yang telah lama kujaga.
Di saat selanjutnya, masih dengan semangat yang terjaga meski tak terhindar dari kepenatan, aku memutuskan untuk menghubungi beberapa sahabat terpercaya. Mas Agus, seorang PPK di kecamatan; Ndan Wahyudi, sahabat yang kerap menopang keluh kesahku; Gus Zainuddin, yang selalu penuh nasihat bijak; dan Mas Imam Sholikin, seorang yang selalu siap sedia dengan tangan terbuka. Setiap nama yang kukontak, kutuangkan keresahan dan harapan akan jawaban, seolah mereka adalah cahaya kecil yang akan membantuku menyusuri jalan keluar dari kegelapan yang tiba-tiba datang ini.
Dari saran mereka, ada satu solusi yang disepakati: melaporkan pencatutan NIK ini secara daring melalui situs KPU. Aku pun bergegas melakukannya, berharap bisa menyelesaikan urusan ini secepat mungkin, agar kelak tak ada ganjalan yang akan menghentikan langkahku menuju tujuan yang telah kutetapkan. Namun, kenyataan berbicara lain. Proses di laman KPU tak secepat dan semudah aku mengunggah keluh kesah di media sosial. Berulang kali aku coba, namun sistem tampaknya tak mengizinkanku untuk menyelesaikan laporan itu. Di sela-sela usaha yang tak kunjung berhasil, sempat terlintas rasa putus asa, namun aku kembali pada tekad awal: aku akan memperjuangkan nama baik ini, seberapa pun sulitnya.
Lalu, seorang teman yang peduli memberikan nomor kontak pengurus partai tersebut. Dengan ragu namun berbalut tekad, aku menghubunginya. Kupaparkan keluh kesah, kekecewaan, dan kebingungan. Kuharap, dari kata-kata yang kusampaikan, ia bisa melihat beratnya beban yang kualami karena kesalahan yang bukan milikku. Pengurus partai itu mendengarkan dengan penuh simpati, lalu dengan nada yang tulus, ia meminta maaf atas perilaku tidak sopan dari anggotanya yang bertindak tanpa pertimbangan. “Kami akan mengeluarkan surat pernyataan resmi bahwa Anda bukan bagian dari partai kami,” ujarnya, memberikan sedikit kelegaan yang langsung kurasakan.
Meski begitu, langkah belum sepenuhnya selesai. Sambil menunggu kabar dari pengurus partai, aku terus mencoba melaporkan pencatutan ini di laman KPU. Pagi berganti siang, siang pun perlahan menuju senja, dan hingga larut malam, upayaku tak juga berbuah hasil. Setiap kali mencoba, kegagalan seolah telah menanti di ujung proses.
Di tengah segala kebuntuan ini, teman-temanku tak lelah memberikan dukungan dan mencoba mencari solusi alternatif, entah itu melalui pihak berwenang atau jalur administratif lain. Namun hingga detik ini, jalan keluar tampak masih tersembunyi, membuatku merasa terombang-ambing di antara harapan dan keraguan. Meski begitu, aku bertekad untuk terus melangkah, berjuang tanpa menyerah, hingga nama baik ini kembali bersih seperti sedia kala.
(Bersambung)
0 comments:
Posting Komentar