Rabu, 27 November 2024

Saat Pulung belum Pulang, Maka Fajar Mulai Menyerang: Drama PILKADA Di Konoha

Gambar hanya Pemanis canda

Di sebuah desa kecil bernama Desa Sukabohong, suasana Pilkada 2024 begitu menggema. Bukan karena visi-misi calon yang menggelegar, tapi karena drama kocak yang tiap hari bisa jadi sinetron.

Bagi-bagi Kaos dan Sembako Sakti
"Eh, pak RT kemarin dapet apa?" tanya Bu Nanik, sambil menjemur cucian.
Pak RT tersenyum lebar sambil menunjuk kaos merah dengan tulisan: Maju Bersama Calon No. 65, Hidup Bahagia.
"Kaos aja, Bu. Sama janji pengaspalan jalan... padahal jalan desa ini masih dari zaman Belanda!"

Bu Nanik tak mau kalah, "Lha, saya malah dapet sembako dari tim lawan, Calon No. 17. Berasnya premium, minyaknya Bimoli, sampe ada bonus gula tiga kilo!"

Tiba-tiba, Pak Udin ikut nimbrung. "Ah, kalian itu kecil. Saya kemarin dapet pulsa 50 ribu sama kupon undian motor dari tim Calon No. 9! Mereka katanya mau bikin jembatan gantung di kali belakang rumah saya. Masalahnya, di sana nggak ada kali, Pak!"

Begadang Demi Pulung
Yang paling seru adalah cerita Pulung. Pulung ini bukan orang, tapi istilah lokal untuk uang pelicin. Kata orang, siapa yang kuat begadang di posko paslon sampai pagi, pulung bakal turun dari langit seperti wangsit.

Pak Karto, kepala keamanan desa, cerita dengan mata merah akibat kurang tidur, "Saya tiga malam nggak tidur demi Pulung, Mas. Lha, katanya kalau tim sukses suka sama loyalitas kita, pagi-pagi langsung dibagi amplop tebal."

Bu Lastri, yang biasa jual gorengan, ikut menimpali, "Pak Karto ini polos, pulung itu mitos! Lihat tuh, Pak Darno, yang tiap malam begadang sama, ujung-ujungnya cuma dapet kopi sachet lima biji. Gimana, nggak balik modal dia?"

Pak Darno, yang kebetulan lewat, nyengir pahit. "Cuman kopi lima, Bu. Padahal udah seminggu saya nggak ngojek demi posko. Nggak ada tanda-tanda amplop, malah dapet maag!"

Janji Kampanye yang Ajaib
Para calon makin kreatif bikin janji kampanye. Ada yang janji bikin internet gratis di semua rumah, meskipun listrik di desa ini sering mati tiap hujan deras.

Calon lainnya janji bikin sekolah internasional ber-AC, meski sekolah dasar saja atapnya masih bocor. Yang paling heboh, Calon No. 9 janji bikin pantai buatan lengkap dengan pasir putih dan jet ski, padahal desa ini letaknya di tengah sawah!

"Saya yakin desa kita bisa jadi desa wisata kelas dunia," kata calon itu dengan meyakinkan di depan warga. Tapi warga cuma saling pandang, bertanya-tanya apakah calon itu sedang halusinasi atau memang kebanyakan nonton drama Korea.

Hari Pemilihan: Drama Tanpa Akhir
Tibalah hari pemilihan. TPS penuh drama. Ada warga yang datang pakai baju adat sebagai bentuk dukungan pada paslon tertentu. Ada juga yang bawa handphone dengan harapan selfie di bilik suara untuk bukti “pekerjaan” demi tambahan pulsa dari tim sukses.

Pak Karto terlihat gagah dengan kaos tiga lapis: kaos Calon No. 65, ditumpuk kaos Calon No. 17, dan jaket Calon No. 9. "Jaga netralitas, Mas. Yang penting pulung lancar," katanya sambil mengedipkan mata.

Di akhir cerita, siapa pun yang menang, drama Pulung dan kampanye ajaib ini selalu jadi pengingat bahwa Pilkada di Konoha lebih seperti festival komedi daripada proses demokrasi. Toh, siapa peduli siapa yang menang? Yang penting, janji pantai buatan jangan lupa, ya! 😄

 

Pulungnya Belum Pulang

Hari demi hari berlalu, tapi yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang: Pulung, si uang pelicin, masih misterius keberadaannya. Warga Desa Sukabohong mulai resah. Bahkan ada yang bikin teori konspirasi.

Pak Karto, yang sudah begadang dua minggu, menghela napas panjang. "Kayaknya pulungnya nyasar ke desa sebelah. Itu Desa Makmur katanya dapet berkarung-karung beras dan amplop, kok kita nggak dapet apa-apa?"

Bu Nanik, yang mulai kehilangan harapan, nyeletuk, "Mungkin pulungnya takut ke sini, Pak. Desa ini kan terkenal dengan banyaknya tuyul. Jangan-jangan amplopnya udah hilang duluan!"

Fenomena Lima Tahunan: Si Fajar

Sambil menunggu pulung yang tak kunjung pulang, muncul fenomena lain yang bikin desa heboh: Si Fajar. Kalau biasanya hilal jadi perbincangan setahun sekali menjelang Ramadan, Fajar ini datang lima tahunan, pas musim Pilkada.

"Siapa sih Fajar ini, kok tiba-tiba viral?" tanya Pak Udin penasaran.

Pak Darno, yang selalu mengaku update soal gosip politik, menjelaskan dengan gaya detektif, "Fajar itu julukan buat orang yang suka nyerang pas musim kampanye. Di mana ada perdebatan soal calon, di situ ada Fajar nyeruduk."

Bu Lastri ikut nimbrung, "Oh, itu yang suka nulis komentar pedas di grup WA desa, ya? Kalo ada yang beda pendapat, langsung dituduh antek lawan!"

Pak Darno mengangguk. "Betul, Bu. Dia itu kayak superhero, tapi kebalik. Super-nyerang! Entah apa kerjaannya, pokoknya di Facebook, Twitter, sampai TikTok, dia ada terus, perang komentar."

Fajar Si Tukang Nyinyir

Fenomena si Fajar ini memang menghibur sekaligus bikin geleng kepala. Semua warga jadi serba hati-hati kalau mau bicara soal paslon. Salah-salah, komentar nyerocos si Fajar bisa bikin geger satu desa.

Pak Karto kena sial waktu dia iseng mengkritik janji kampanye pantai buatan. "Mana mungkin desa sawah kayak kita punya pantai?" katanya di grup WA. Belum lima menit, si Fajar muncul dengan capslock dan emot marah.

"PAK KARTO TIDAK MENGHARGAI INOVASI! INI ADALAH PEMIKIRAN KOLONIAL!" tulis si Fajar, lengkap dengan spasi berlebihan dan link artikel abal-abal yang nggak nyambung.

"Orang kayak Fajar ini pasti dibayar, ya?" tanya Bu Nanik.

Pak Darno menduga hal yang sama. "Iya, Bu. Kalau nggak, kok dia semangat banget bela paslon sampai nggak tidur. Padahal, sama kayak kita, pulungnya juga belum pulang!"

Dramanya Belum Selesai

Fenomena Pulung dan Fajar adalah cermin kecil Pilkada di negeri ini. Saat demokrasi mestinya jadi ajang gagasan dan diskusi, malah berubah jadi drama begadang dan perang komentar.

Warga Desa Sukabohong hanya bisa menunggu. Apakah pulung akhirnya pulang? Apakah si Fajar bisa istirahat? Yang pasti, lima tahun lagi, kisah seperti ini akan terulang. Karena di negeri ini, Pilkada bukan cuma soal memilih pemimpin, tapi juga pesta rakyat penuh komedi satir yang tak ada habisnya. 😄

Pulungnya Belum Pulang, Fajar Makin Nyerang

Warga Desa Sukabohong mulai frustasi. Sudah tiga minggu berlalu, pilkada selesai, suara dihitung, tapi pulung tetap nihil. Pak Karto yang tadinya semangat begadang kini lebih mirip zombie kampung, mata panda makin tebal, langkah makin gontai.

“Ini kayak nunggu mantan balik, Bu. Pulungnya janji mau datang, tapi cuma PHP,” keluh Pak Karto ke Bu Lastri yang sedang goreng pisang.

Bu Lastri ngakak. “Pak, mantan balik aja bisa-bisa bawa utang! Pulung kan minimal bawa amplop!”

Fenomena Lima Tahunan: Fajar Masih Aktif

Sementara warga sibuk menunggu pulung, si Fajar makin menjadi-jadi. Kalau biasanya dia cuma nyerang di grup WA desa, kini dia muncul di lapangan dengan strategi baru: door-to-door.

Pak Darno yang sedang santai di beranda rumahnya, tiba-tiba didatangi Fajar. “Pak, kenapa tadi di grup bilang pantai buatan itu nggak mungkin? Anda tidak cinta pembangunan, ya?” tanya Fajar dengan nada investigatif.

Pak Darno, yang kaget tapi tetap santai, menjawab, “Ya kalau pantai buatan itu jadi, saya mau buka usaha ojek perahu. Tapi kali belakang rumah saya itu kering, Mas. Jadi realistis aja.”

Fajar mendengus, “Begini-begini nih yang bikin bangsa kita nggak maju. Kurang optimis! Pikirannya pesimis terus.”

Pak Darno langsung menimpali, “Eh, optimis itu penting, Mas. Tapi, kalau pasir putihnya diambil dari mimpi, jet ski-nya dari rental di TikTok, ya kita ini masuk kategori halu, bukan optimis!”

Kampanye Terakhir: Pulung Palsu

Kegelisahan soal pulung mencapai puncaknya ketika berita menyebar bahwa tim sukses salah satu paslon diam-diam membagi “pulung palsu”. Isinya ternyata cuma selebaran janji-janji kosong.

Bu Nanik, yang sempat menerima selebaran itu, melaporkan ke grup arisan. “Bayangin aja, isinya cuma tulisan: Terima Kasih Telah Mendukung! Tunggu Proyek Kami di Desa Ini.

Pak Udin, yang biasanya pendiam, langsung berkomentar, “Berarti bener, ya. Mereka ini menganut konsep pembangunan versi tabungan akhirat. Janji sekarang, realisasi nanti… di alam kubur!”

Pemilu Rasa Drama Komedi

Ketegangan sedikit mereda ketika hasil pemilu diumumkan. Tapi bukannya selesai, malah muncul tontonan baru: para pendukung paslon kalah mulai menyusun skenario konspirasi.

“Pasti ada kecurangan! Suara kita dikorupsi,” teriak salah satu pendukung fanatik di balai desa.

Bu Lastri yang mendengar, nyeletuk pelan ke Pak Darno, “Kalau suara itu bisa dikorupsi, kok suara kentut suamiku nggak pernah bisa disensor?!”

Pak Darno nyengir lebar. “Mungkin karena suara kentut itu paling jujur, Bu. Gak bisa disogok sama pulung.”

Fajar, Pulung, dan Harapan Baru

Meski banyak yang mengeluh soal drama pilkada, warga Desa Sukabohong tetap optimis. Mereka sadar, lima tahun lagi fenomena ini pasti akan terulang. Pulung akan kembali dijanjikan, Fajar akan tetap menyerang, dan janji-janji ajaib akan berseliweran lagi.

Tapi Pak Karto punya kesimpulan bijak sambil memandang langit, “Kalau pulung nggak pulang, kalau pantai buatan nggak jadi, kalau Fajar masih ngamuk, ya sudahlah. Yang penting kita tetap tertawa. Soalnya, cuma ketawa yang nggak butuh janji politik.”

Dan begitulah Desa Sukabohong, di mana Pilkada adalah pesta rakyat sekaligus festival komedi satir yang selalu berhasil bikin semua orang geleng-geleng sambil ngakak. 😄

Rabu, 06 November 2024

"Jejak NIK yang Tercatut: Sebuah Perjuangan Menjemput Keadilan di Antara Bayang-Bayang Nama yang Tercederai"

(NIK Yang Di catut)
Rabu, 06 November 2024, hari ini langit tak secerah biasanya, seakan turut merasakan beratnya cerita yang akan datang. Di tengah aktivitas yang melaju perlahan, ponselku tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan dari seorang teman lama, seseorang yang kini berjalan seiring bersamaku dalam seleksi administrasi untuk pendaftaran P3K di Kementerian Agama.

Dengan nada suara yang terasa ragu namun sarat kekhawatiran, ia memulai cerita. Rupanya, ia menemukan bahwa NIK-nya masih tercatat sebagai anggota partai politik di laman situs resmi KPU RI. Namanya terpampang jelas, seolah ia masih menjadi bagian dari arus politik yang pernah ia tinggalkan. Dulu, ia memang pernah terdaftar sebagai pengurus partai, namun kini ia telah jauh melangkah ke jalan yang berbeda, menata hidup dan tujuan yang lebih tulus.

Mendengar cerita itu, aku pun turut merasakan keresahannya. Dalam diam, aku berpikir, berusaha menemukan jalan keluarnya. Setelah beberapa saat, dengan suara yang kukuatkan, kusampaikan padanya untuk segera mengurus segala persyaratan yang, aku tahu, pasti tak sederhana. "Ikutilah prosedur, walau panjang dan berliku. Segala yang njlimet itu pasti ada jalannya," kataku mencoba memberi secercah harapan.

Seketika percakapan kami berakhir, aku duduk termenung, merasakan beban yang menguap bersama cerita tadi. Di antara bayang-bayang rasa khawatir yang menyeruak, aku tersenyum, sedikit lega. "Aku tak perlu risau," gumamku dalam hati, meyakinkan diri. "Aku tak pernah terlibat dalam partai politik manapun; jalanku adalah untuk mengabdi tanpa embel-embel yang membelenggu."

Namun, dalam senyap yang tiba-tiba menyergap, benakku melayang pada kenyataan bahwa apa yang terjadi pada temanku bisa menimpa siapa saja, termasuk diriku. Hari ini menjadi pengingat halus, bahwa niat dan ketulusan tak selalu menjauhkan kita dari kesalahpahaman yang tak terduga. Tetap, aku percaya, apapun yang datang, jika hati dan langkah ini tulus, jalan akan terbuka, seiring takdir yang disuratkan Sang Pengatur Alam.

Tak lama berselang setelah percakapan dengan temanku, sebuah lintasan pikiran tiba-tiba menggoda hatiku. "Bagaimana kalau aku juga memeriksa NIK-ku? Bukankah tidak ada salahnya untuk berjaga-jaga?" Dengan perasaan iseng namun sedikit khawatir, aku menghubungi Mas Yadi, seorang teman yang bekerja sebagai PANWASCAM. "Mas, boleh tolong cek NIK-ku? Siapa tahu ada yang menyalahgunakan," pesanku ringan.

Tak sampai lama, ponselku bergetar, dan sebuah pesan dari Mas Yadi masuk. Namun, isi pesan itu bak petir menyambar jiwa. "Nikmu, ternyata, tercatat oleh salah satu parpol baru."

Jantungku seketika berdegup kencang, mataku tertuju pada layar ponsel, membaca berulang kali pesan yang tak kunjung kupahami maknanya. Aku membeku, mencoba menepis kenyataan yang tak kunjung hilang. Partai yang mengatasnamakan diriku ini, tak pernah kudengar namanya, tak pernah kulihat logonya. Warna, simbol, bahkan filosofi yang mereka usung pun sama sekali asing bagiku.

"Ooh, betapa kejamnya dunia!" gumamku dalam hati. Mengapa harus aku, di mana letak salahku? Aku tak pernah menorehkan tinta di atas lembaran janji politik, tak pernah menyandarkan hidup pada ormas berwarna tertentu. Namun kini, namaku terhimpit di antara yang tak pernah kujejakkan kaki. Aku terjebak dalam catatan yang bukan milikku, menanggung beban dari kesalahan yang tak pernah kubuat.

Apakah harus aku terjatuh karena permainan dunia yang begitu kejam? Di hadapan kenyataan yang getir ini, aku terpekur, seolah disergap takdir yang tak pernah kupilih.

Aku masih terpaku, merenungi getirnya kenyataan yang baru saja menghantam. Dunia terasa berputar pelan, namun membawa kesadaran pahit bahwa nama baik dan ketulusanku telah dicatut oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Di satu sisi, muncul keinginan untuk berontak, untuk mempertanyakan mengapa aku harus terjebak dalam belenggu yang tak pernah kubuat. Namun di sisi lain, rasa lelah membayangi, seolah-olah aku hanya debu kecil di pusaran dunia yang tak kenal belas kasih.

Sejenak, aku menarik napas dalam, mencoba meredam segala emosi yang menggelegak di dada. "Apakah harus aku tunduk pada tipu daya ini? Apakah aku harus menerima takdir yang menyakitkan ini tanpa daya?" Pertanyaan itu mengendap dalam benak, memaksaku menimbang pilihan antara menerima atau melawan.

Namun, dari dasar hati yang terdalam, aku tahu bahwa ketidakadilan ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Nama baik adalah warisan berharga, cerminan kehormatan yang kubangun dengan ketulusan dan pengabdian. Dengan tekad yang mulai kukumpulkan, kubulatkan hati untuk memperjuangkan kebenaran ini. Jalan mungkin akan panjang, penuh liku-liku birokrasi yang melelahkan. Tapi, aku yakin Allah menyaksikan dan takkan meninggalkan hamba-Nya yang berjuang atas kebenaran.

Dalam hening saat itu, aku menengadahkan tangan, menyerahkan segala yang terjadi pada Sang Pemilik Keadilan. "Ya Allah, berikanlah aku kekuatan untuk meluruskan segalanya. Jadikanlah ujian ini sebagai jalan bagiku untuk semakin mendekat pada-Mu dan menjaga amanah hidup yang Kau titipkan," doaku bergetar, menggema dalam jiwa yang perlahan mulai kukuh kembali.

Dan saat itu, meski kenyataan masih terasa berat, aku merasa ada cahaya yang menuntunku. Sebuah keyakinan bahwa aku tak sendiri dalam menghadapi semua ini, bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap langkah pencarian kebenaran. Maka, dengan segala kerendahan hati dan keteguhan, kutetapkan niat untuk memperjuangkan nama dan amanah yang telah lama kujaga.

Di saat selanjutnya, masih dengan semangat yang terjaga meski tak terhindar dari kepenatan, aku memutuskan untuk menghubungi beberapa sahabat terpercaya. Mas Agus, seorang PPK di kecamatan; Ndan Wahyudi, sahabat yang kerap menopang keluh kesahku; Gus Zainuddin, yang selalu penuh nasihat bijak; dan Mas Imam Sholikin, seorang yang selalu siap sedia dengan tangan terbuka. Setiap nama yang kukontak, kutuangkan keresahan dan harapan akan jawaban, seolah mereka adalah cahaya kecil yang akan membantuku menyusuri jalan keluar dari kegelapan yang tiba-tiba datang ini.

Dari saran mereka, ada satu solusi yang disepakati: melaporkan pencatutan NIK ini secara daring melalui situs KPU. Aku pun bergegas melakukannya, berharap bisa menyelesaikan urusan ini secepat mungkin, agar kelak tak ada ganjalan yang akan menghentikan langkahku menuju tujuan yang telah kutetapkan. Namun, kenyataan berbicara lain. Proses di laman KPU tak secepat dan semudah aku mengunggah keluh kesah di media sosial. Berulang kali aku coba, namun sistem tampaknya tak mengizinkanku untuk menyelesaikan laporan itu. Di sela-sela usaha yang tak kunjung berhasil, sempat terlintas rasa putus asa, namun aku kembali pada tekad awal: aku akan memperjuangkan nama baik ini, seberapa pun sulitnya.

Lalu, seorang teman yang peduli memberikan nomor kontak pengurus partai tersebut. Dengan ragu namun berbalut tekad, aku menghubunginya. Kupaparkan keluh kesah, kekecewaan, dan kebingungan. Kuharap, dari kata-kata yang kusampaikan, ia bisa melihat beratnya beban yang kualami karena kesalahan yang bukan milikku. Pengurus partai itu mendengarkan dengan penuh simpati, lalu dengan nada yang tulus, ia meminta maaf atas perilaku tidak sopan dari anggotanya yang bertindak tanpa pertimbangan. “Kami akan mengeluarkan surat pernyataan resmi bahwa Anda bukan bagian dari partai kami,” ujarnya, memberikan sedikit kelegaan yang langsung kurasakan.

Meski begitu, langkah belum sepenuhnya selesai. Sambil menunggu kabar dari pengurus partai, aku terus mencoba melaporkan pencatutan ini di laman KPU. Pagi berganti siang, siang pun perlahan menuju senja, dan hingga larut malam, upayaku tak juga berbuah hasil. Setiap kali mencoba, kegagalan seolah telah menanti di ujung proses.

Di tengah segala kebuntuan ini, teman-temanku tak lelah memberikan dukungan dan mencoba mencari solusi alternatif, entah itu melalui pihak berwenang atau jalur administratif lain. Namun hingga detik ini, jalan keluar tampak masih tersembunyi, membuatku merasa terombang-ambing di antara harapan dan keraguan. Meski begitu, aku bertekad untuk terus melangkah, berjuang tanpa menyerah, hingga nama baik ini kembali bersih seperti sedia kala.

(Bersambung)