Rabu, 27 November 2024

Saat Pulung belum Pulang, Maka Fajar Mulai Menyerang: Drama PILKADA Di Konoha

Gambar hanya Pemanis canda

Di sebuah desa kecil bernama Desa Sukabohong, suasana Pilkada 2024 begitu menggema. Bukan karena visi-misi calon yang menggelegar, tapi karena drama kocak yang tiap hari bisa jadi sinetron.

Bagi-bagi Kaos dan Sembako Sakti
"Eh, pak RT kemarin dapet apa?" tanya Bu Nanik, sambil menjemur cucian.
Pak RT tersenyum lebar sambil menunjuk kaos merah dengan tulisan: Maju Bersama Calon No. 65, Hidup Bahagia.
"Kaos aja, Bu. Sama janji pengaspalan jalan... padahal jalan desa ini masih dari zaman Belanda!"

Bu Nanik tak mau kalah, "Lha, saya malah dapet sembako dari tim lawan, Calon No. 17. Berasnya premium, minyaknya Bimoli, sampe ada bonus gula tiga kilo!"

Tiba-tiba, Pak Udin ikut nimbrung. "Ah, kalian itu kecil. Saya kemarin dapet pulsa 50 ribu sama kupon undian motor dari tim Calon No. 9! Mereka katanya mau bikin jembatan gantung di kali belakang rumah saya. Masalahnya, di sana nggak ada kali, Pak!"

Begadang Demi Pulung
Yang paling seru adalah cerita Pulung. Pulung ini bukan orang, tapi istilah lokal untuk uang pelicin. Kata orang, siapa yang kuat begadang di posko paslon sampai pagi, pulung bakal turun dari langit seperti wangsit.

Pak Karto, kepala keamanan desa, cerita dengan mata merah akibat kurang tidur, "Saya tiga malam nggak tidur demi Pulung, Mas. Lha, katanya kalau tim sukses suka sama loyalitas kita, pagi-pagi langsung dibagi amplop tebal."

Bu Lastri, yang biasa jual gorengan, ikut menimpali, "Pak Karto ini polos, pulung itu mitos! Lihat tuh, Pak Darno, yang tiap malam begadang sama, ujung-ujungnya cuma dapet kopi sachet lima biji. Gimana, nggak balik modal dia?"

Pak Darno, yang kebetulan lewat, nyengir pahit. "Cuman kopi lima, Bu. Padahal udah seminggu saya nggak ngojek demi posko. Nggak ada tanda-tanda amplop, malah dapet maag!"

Janji Kampanye yang Ajaib
Para calon makin kreatif bikin janji kampanye. Ada yang janji bikin internet gratis di semua rumah, meskipun listrik di desa ini sering mati tiap hujan deras.

Calon lainnya janji bikin sekolah internasional ber-AC, meski sekolah dasar saja atapnya masih bocor. Yang paling heboh, Calon No. 9 janji bikin pantai buatan lengkap dengan pasir putih dan jet ski, padahal desa ini letaknya di tengah sawah!

"Saya yakin desa kita bisa jadi desa wisata kelas dunia," kata calon itu dengan meyakinkan di depan warga. Tapi warga cuma saling pandang, bertanya-tanya apakah calon itu sedang halusinasi atau memang kebanyakan nonton drama Korea.

Hari Pemilihan: Drama Tanpa Akhir
Tibalah hari pemilihan. TPS penuh drama. Ada warga yang datang pakai baju adat sebagai bentuk dukungan pada paslon tertentu. Ada juga yang bawa handphone dengan harapan selfie di bilik suara untuk bukti “pekerjaan” demi tambahan pulsa dari tim sukses.

Pak Karto terlihat gagah dengan kaos tiga lapis: kaos Calon No. 65, ditumpuk kaos Calon No. 17, dan jaket Calon No. 9. "Jaga netralitas, Mas. Yang penting pulung lancar," katanya sambil mengedipkan mata.

Di akhir cerita, siapa pun yang menang, drama Pulung dan kampanye ajaib ini selalu jadi pengingat bahwa Pilkada di Konoha lebih seperti festival komedi daripada proses demokrasi. Toh, siapa peduli siapa yang menang? Yang penting, janji pantai buatan jangan lupa, ya! 😄

 

Pulungnya Belum Pulang

Hari demi hari berlalu, tapi yang ditunggu-tunggu tak kunjung datang: Pulung, si uang pelicin, masih misterius keberadaannya. Warga Desa Sukabohong mulai resah. Bahkan ada yang bikin teori konspirasi.

Pak Karto, yang sudah begadang dua minggu, menghela napas panjang. "Kayaknya pulungnya nyasar ke desa sebelah. Itu Desa Makmur katanya dapet berkarung-karung beras dan amplop, kok kita nggak dapet apa-apa?"

Bu Nanik, yang mulai kehilangan harapan, nyeletuk, "Mungkin pulungnya takut ke sini, Pak. Desa ini kan terkenal dengan banyaknya tuyul. Jangan-jangan amplopnya udah hilang duluan!"

Fenomena Lima Tahunan: Si Fajar

Sambil menunggu pulung yang tak kunjung pulang, muncul fenomena lain yang bikin desa heboh: Si Fajar. Kalau biasanya hilal jadi perbincangan setahun sekali menjelang Ramadan, Fajar ini datang lima tahunan, pas musim Pilkada.

"Siapa sih Fajar ini, kok tiba-tiba viral?" tanya Pak Udin penasaran.

Pak Darno, yang selalu mengaku update soal gosip politik, menjelaskan dengan gaya detektif, "Fajar itu julukan buat orang yang suka nyerang pas musim kampanye. Di mana ada perdebatan soal calon, di situ ada Fajar nyeruduk."

Bu Lastri ikut nimbrung, "Oh, itu yang suka nulis komentar pedas di grup WA desa, ya? Kalo ada yang beda pendapat, langsung dituduh antek lawan!"

Pak Darno mengangguk. "Betul, Bu. Dia itu kayak superhero, tapi kebalik. Super-nyerang! Entah apa kerjaannya, pokoknya di Facebook, Twitter, sampai TikTok, dia ada terus, perang komentar."

Fajar Si Tukang Nyinyir

Fenomena si Fajar ini memang menghibur sekaligus bikin geleng kepala. Semua warga jadi serba hati-hati kalau mau bicara soal paslon. Salah-salah, komentar nyerocos si Fajar bisa bikin geger satu desa.

Pak Karto kena sial waktu dia iseng mengkritik janji kampanye pantai buatan. "Mana mungkin desa sawah kayak kita punya pantai?" katanya di grup WA. Belum lima menit, si Fajar muncul dengan capslock dan emot marah.

"PAK KARTO TIDAK MENGHARGAI INOVASI! INI ADALAH PEMIKIRAN KOLONIAL!" tulis si Fajar, lengkap dengan spasi berlebihan dan link artikel abal-abal yang nggak nyambung.

"Orang kayak Fajar ini pasti dibayar, ya?" tanya Bu Nanik.

Pak Darno menduga hal yang sama. "Iya, Bu. Kalau nggak, kok dia semangat banget bela paslon sampai nggak tidur. Padahal, sama kayak kita, pulungnya juga belum pulang!"

Dramanya Belum Selesai

Fenomena Pulung dan Fajar adalah cermin kecil Pilkada di negeri ini. Saat demokrasi mestinya jadi ajang gagasan dan diskusi, malah berubah jadi drama begadang dan perang komentar.

Warga Desa Sukabohong hanya bisa menunggu. Apakah pulung akhirnya pulang? Apakah si Fajar bisa istirahat? Yang pasti, lima tahun lagi, kisah seperti ini akan terulang. Karena di negeri ini, Pilkada bukan cuma soal memilih pemimpin, tapi juga pesta rakyat penuh komedi satir yang tak ada habisnya. 😄

Pulungnya Belum Pulang, Fajar Makin Nyerang

Warga Desa Sukabohong mulai frustasi. Sudah tiga minggu berlalu, pilkada selesai, suara dihitung, tapi pulung tetap nihil. Pak Karto yang tadinya semangat begadang kini lebih mirip zombie kampung, mata panda makin tebal, langkah makin gontai.

“Ini kayak nunggu mantan balik, Bu. Pulungnya janji mau datang, tapi cuma PHP,” keluh Pak Karto ke Bu Lastri yang sedang goreng pisang.

Bu Lastri ngakak. “Pak, mantan balik aja bisa-bisa bawa utang! Pulung kan minimal bawa amplop!”

Fenomena Lima Tahunan: Fajar Masih Aktif

Sementara warga sibuk menunggu pulung, si Fajar makin menjadi-jadi. Kalau biasanya dia cuma nyerang di grup WA desa, kini dia muncul di lapangan dengan strategi baru: door-to-door.

Pak Darno yang sedang santai di beranda rumahnya, tiba-tiba didatangi Fajar. “Pak, kenapa tadi di grup bilang pantai buatan itu nggak mungkin? Anda tidak cinta pembangunan, ya?” tanya Fajar dengan nada investigatif.

Pak Darno, yang kaget tapi tetap santai, menjawab, “Ya kalau pantai buatan itu jadi, saya mau buka usaha ojek perahu. Tapi kali belakang rumah saya itu kering, Mas. Jadi realistis aja.”

Fajar mendengus, “Begini-begini nih yang bikin bangsa kita nggak maju. Kurang optimis! Pikirannya pesimis terus.”

Pak Darno langsung menimpali, “Eh, optimis itu penting, Mas. Tapi, kalau pasir putihnya diambil dari mimpi, jet ski-nya dari rental di TikTok, ya kita ini masuk kategori halu, bukan optimis!”

Kampanye Terakhir: Pulung Palsu

Kegelisahan soal pulung mencapai puncaknya ketika berita menyebar bahwa tim sukses salah satu paslon diam-diam membagi “pulung palsu”. Isinya ternyata cuma selebaran janji-janji kosong.

Bu Nanik, yang sempat menerima selebaran itu, melaporkan ke grup arisan. “Bayangin aja, isinya cuma tulisan: Terima Kasih Telah Mendukung! Tunggu Proyek Kami di Desa Ini.

Pak Udin, yang biasanya pendiam, langsung berkomentar, “Berarti bener, ya. Mereka ini menganut konsep pembangunan versi tabungan akhirat. Janji sekarang, realisasi nanti… di alam kubur!”

Pemilu Rasa Drama Komedi

Ketegangan sedikit mereda ketika hasil pemilu diumumkan. Tapi bukannya selesai, malah muncul tontonan baru: para pendukung paslon kalah mulai menyusun skenario konspirasi.

“Pasti ada kecurangan! Suara kita dikorupsi,” teriak salah satu pendukung fanatik di balai desa.

Bu Lastri yang mendengar, nyeletuk pelan ke Pak Darno, “Kalau suara itu bisa dikorupsi, kok suara kentut suamiku nggak pernah bisa disensor?!”

Pak Darno nyengir lebar. “Mungkin karena suara kentut itu paling jujur, Bu. Gak bisa disogok sama pulung.”

Fajar, Pulung, dan Harapan Baru

Meski banyak yang mengeluh soal drama pilkada, warga Desa Sukabohong tetap optimis. Mereka sadar, lima tahun lagi fenomena ini pasti akan terulang. Pulung akan kembali dijanjikan, Fajar akan tetap menyerang, dan janji-janji ajaib akan berseliweran lagi.

Tapi Pak Karto punya kesimpulan bijak sambil memandang langit, “Kalau pulung nggak pulang, kalau pantai buatan nggak jadi, kalau Fajar masih ngamuk, ya sudahlah. Yang penting kita tetap tertawa. Soalnya, cuma ketawa yang nggak butuh janji politik.”

Dan begitulah Desa Sukabohong, di mana Pilkada adalah pesta rakyat sekaligus festival komedi satir yang selalu berhasil bikin semua orang geleng-geleng sambil ngakak. 😄

Rabu, 06 November 2024

"Jejak NIK yang Tercatut: Sebuah Perjuangan Menjemput Keadilan di Antara Bayang-Bayang Nama yang Tercederai"

(NIK Yang Di catut)
Rabu, 06 November 2024, hari ini langit tak secerah biasanya, seakan turut merasakan beratnya cerita yang akan datang. Di tengah aktivitas yang melaju perlahan, ponselku tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan dari seorang teman lama, seseorang yang kini berjalan seiring bersamaku dalam seleksi administrasi untuk pendaftaran P3K di Kementerian Agama.

Dengan nada suara yang terasa ragu namun sarat kekhawatiran, ia memulai cerita. Rupanya, ia menemukan bahwa NIK-nya masih tercatat sebagai anggota partai politik di laman situs resmi KPU RI. Namanya terpampang jelas, seolah ia masih menjadi bagian dari arus politik yang pernah ia tinggalkan. Dulu, ia memang pernah terdaftar sebagai pengurus partai, namun kini ia telah jauh melangkah ke jalan yang berbeda, menata hidup dan tujuan yang lebih tulus.

Mendengar cerita itu, aku pun turut merasakan keresahannya. Dalam diam, aku berpikir, berusaha menemukan jalan keluarnya. Setelah beberapa saat, dengan suara yang kukuatkan, kusampaikan padanya untuk segera mengurus segala persyaratan yang, aku tahu, pasti tak sederhana. "Ikutilah prosedur, walau panjang dan berliku. Segala yang njlimet itu pasti ada jalannya," kataku mencoba memberi secercah harapan.

Seketika percakapan kami berakhir, aku duduk termenung, merasakan beban yang menguap bersama cerita tadi. Di antara bayang-bayang rasa khawatir yang menyeruak, aku tersenyum, sedikit lega. "Aku tak perlu risau," gumamku dalam hati, meyakinkan diri. "Aku tak pernah terlibat dalam partai politik manapun; jalanku adalah untuk mengabdi tanpa embel-embel yang membelenggu."

Namun, dalam senyap yang tiba-tiba menyergap, benakku melayang pada kenyataan bahwa apa yang terjadi pada temanku bisa menimpa siapa saja, termasuk diriku. Hari ini menjadi pengingat halus, bahwa niat dan ketulusan tak selalu menjauhkan kita dari kesalahpahaman yang tak terduga. Tetap, aku percaya, apapun yang datang, jika hati dan langkah ini tulus, jalan akan terbuka, seiring takdir yang disuratkan Sang Pengatur Alam.

Tak lama berselang setelah percakapan dengan temanku, sebuah lintasan pikiran tiba-tiba menggoda hatiku. "Bagaimana kalau aku juga memeriksa NIK-ku? Bukankah tidak ada salahnya untuk berjaga-jaga?" Dengan perasaan iseng namun sedikit khawatir, aku menghubungi Mas Yadi, seorang teman yang bekerja sebagai PANWASCAM. "Mas, boleh tolong cek NIK-ku? Siapa tahu ada yang menyalahgunakan," pesanku ringan.

Tak sampai lama, ponselku bergetar, dan sebuah pesan dari Mas Yadi masuk. Namun, isi pesan itu bak petir menyambar jiwa. "Nikmu, ternyata, tercatat oleh salah satu parpol baru."

Jantungku seketika berdegup kencang, mataku tertuju pada layar ponsel, membaca berulang kali pesan yang tak kunjung kupahami maknanya. Aku membeku, mencoba menepis kenyataan yang tak kunjung hilang. Partai yang mengatasnamakan diriku ini, tak pernah kudengar namanya, tak pernah kulihat logonya. Warna, simbol, bahkan filosofi yang mereka usung pun sama sekali asing bagiku.

"Ooh, betapa kejamnya dunia!" gumamku dalam hati. Mengapa harus aku, di mana letak salahku? Aku tak pernah menorehkan tinta di atas lembaran janji politik, tak pernah menyandarkan hidup pada ormas berwarna tertentu. Namun kini, namaku terhimpit di antara yang tak pernah kujejakkan kaki. Aku terjebak dalam catatan yang bukan milikku, menanggung beban dari kesalahan yang tak pernah kubuat.

Apakah harus aku terjatuh karena permainan dunia yang begitu kejam? Di hadapan kenyataan yang getir ini, aku terpekur, seolah disergap takdir yang tak pernah kupilih.

Aku masih terpaku, merenungi getirnya kenyataan yang baru saja menghantam. Dunia terasa berputar pelan, namun membawa kesadaran pahit bahwa nama baik dan ketulusanku telah dicatut oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab. Di satu sisi, muncul keinginan untuk berontak, untuk mempertanyakan mengapa aku harus terjebak dalam belenggu yang tak pernah kubuat. Namun di sisi lain, rasa lelah membayangi, seolah-olah aku hanya debu kecil di pusaran dunia yang tak kenal belas kasih.

Sejenak, aku menarik napas dalam, mencoba meredam segala emosi yang menggelegak di dada. "Apakah harus aku tunduk pada tipu daya ini? Apakah aku harus menerima takdir yang menyakitkan ini tanpa daya?" Pertanyaan itu mengendap dalam benak, memaksaku menimbang pilihan antara menerima atau melawan.

Namun, dari dasar hati yang terdalam, aku tahu bahwa ketidakadilan ini tak boleh dibiarkan begitu saja. Nama baik adalah warisan berharga, cerminan kehormatan yang kubangun dengan ketulusan dan pengabdian. Dengan tekad yang mulai kukumpulkan, kubulatkan hati untuk memperjuangkan kebenaran ini. Jalan mungkin akan panjang, penuh liku-liku birokrasi yang melelahkan. Tapi, aku yakin Allah menyaksikan dan takkan meninggalkan hamba-Nya yang berjuang atas kebenaran.

Dalam hening saat itu, aku menengadahkan tangan, menyerahkan segala yang terjadi pada Sang Pemilik Keadilan. "Ya Allah, berikanlah aku kekuatan untuk meluruskan segalanya. Jadikanlah ujian ini sebagai jalan bagiku untuk semakin mendekat pada-Mu dan menjaga amanah hidup yang Kau titipkan," doaku bergetar, menggema dalam jiwa yang perlahan mulai kukuh kembali.

Dan saat itu, meski kenyataan masih terasa berat, aku merasa ada cahaya yang menuntunku. Sebuah keyakinan bahwa aku tak sendiri dalam menghadapi semua ini, bahwa Tuhan selalu hadir dalam setiap langkah pencarian kebenaran. Maka, dengan segala kerendahan hati dan keteguhan, kutetapkan niat untuk memperjuangkan nama dan amanah yang telah lama kujaga.

Di saat selanjutnya, masih dengan semangat yang terjaga meski tak terhindar dari kepenatan, aku memutuskan untuk menghubungi beberapa sahabat terpercaya. Mas Agus, seorang PPK di kecamatan; Ndan Wahyudi, sahabat yang kerap menopang keluh kesahku; Gus Zainuddin, yang selalu penuh nasihat bijak; dan Mas Imam Sholikin, seorang yang selalu siap sedia dengan tangan terbuka. Setiap nama yang kukontak, kutuangkan keresahan dan harapan akan jawaban, seolah mereka adalah cahaya kecil yang akan membantuku menyusuri jalan keluar dari kegelapan yang tiba-tiba datang ini.

Dari saran mereka, ada satu solusi yang disepakati: melaporkan pencatutan NIK ini secara daring melalui situs KPU. Aku pun bergegas melakukannya, berharap bisa menyelesaikan urusan ini secepat mungkin, agar kelak tak ada ganjalan yang akan menghentikan langkahku menuju tujuan yang telah kutetapkan. Namun, kenyataan berbicara lain. Proses di laman KPU tak secepat dan semudah aku mengunggah keluh kesah di media sosial. Berulang kali aku coba, namun sistem tampaknya tak mengizinkanku untuk menyelesaikan laporan itu. Di sela-sela usaha yang tak kunjung berhasil, sempat terlintas rasa putus asa, namun aku kembali pada tekad awal: aku akan memperjuangkan nama baik ini, seberapa pun sulitnya.

Lalu, seorang teman yang peduli memberikan nomor kontak pengurus partai tersebut. Dengan ragu namun berbalut tekad, aku menghubunginya. Kupaparkan keluh kesah, kekecewaan, dan kebingungan. Kuharap, dari kata-kata yang kusampaikan, ia bisa melihat beratnya beban yang kualami karena kesalahan yang bukan milikku. Pengurus partai itu mendengarkan dengan penuh simpati, lalu dengan nada yang tulus, ia meminta maaf atas perilaku tidak sopan dari anggotanya yang bertindak tanpa pertimbangan. “Kami akan mengeluarkan surat pernyataan resmi bahwa Anda bukan bagian dari partai kami,” ujarnya, memberikan sedikit kelegaan yang langsung kurasakan.

Meski begitu, langkah belum sepenuhnya selesai. Sambil menunggu kabar dari pengurus partai, aku terus mencoba melaporkan pencatutan ini di laman KPU. Pagi berganti siang, siang pun perlahan menuju senja, dan hingga larut malam, upayaku tak juga berbuah hasil. Setiap kali mencoba, kegagalan seolah telah menanti di ujung proses.

Di tengah segala kebuntuan ini, teman-temanku tak lelah memberikan dukungan dan mencoba mencari solusi alternatif, entah itu melalui pihak berwenang atau jalur administratif lain. Namun hingga detik ini, jalan keluar tampak masih tersembunyi, membuatku merasa terombang-ambing di antara harapan dan keraguan. Meski begitu, aku bertekad untuk terus melangkah, berjuang tanpa menyerah, hingga nama baik ini kembali bersih seperti sedia kala.

(Bersambung)

Rabu, 23 Oktober 2024

"Debu di Tengah Pusaran Angin badai: Harapan Dalam Deru Pilu Kontestasi"

Ilustrasi situasi

Angin politik kian kencang berhembus. Pilkada yang dinanti perlahan mendekati hari H, membawa serta dinamika yang tak terelakkan. Di tengah hiruk-pikuk ini, keprihatinan menyusup dalam benak, terlebih saat melihat jam'iyah yang selama ini aku banggakan, kini mulai terguncang.

Para tokoh yang selama ini ku takdzimi, mereka yang menjadi panutan dalam segala kebijakan, kini bersitegang. Berbeda pandangan, berbeda kepentingan. Adakah yang lebih memilukan daripada melihat saudara seiman dan seperjuangan kini terlibat dalam pertikaian, mempertahankan argumen politik masing-masing? Mereka yang kukagumi kini saling berbantah, seakan lupa bahwa kita semua adalah satu kesatuan dalam jam'iyah yang sama.

Di satu sisi, ada yang berusaha mempertahankan kesepakatan politik demi menjaga keselamatan jam'iyah, meski harus menerima konsekuensi berat. Di sisi lain, ada yang merasa perlu mengawal aspirasi mereka, sebagai bentuk balas budi atas khidmah dan kebaikan di masa lalu. Aku? Aku hanyalah debu, terombang-ambing oleh badai situasi ini, tanpa daya untuk melawan.

Hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa semua ini kuserahkan. Semoga badai ini segera mereda, dan hati-hati yang terpecah kembali bersatu. Meski hatiku menangis, teriris menyaksikan kehancuran yang perlahan menggerogoti, aku tak punya kuasa untuk menghentikan semua ini.

Cukuplah diriku yang beberapa bulan lalu menjadi korban dari ego perpolitikan. Aku tak ingin melihat jam'iyah yang kucintai diterpa petaka. Meski suara ini hanyalah bisikan kecil di tengah kegaduhan, aku berharap semoga semuanya tetap baik-baik saja.

Namun, kenyataan kerap kali tak sejalan dengan harapan. Setiap langkah menuju pemilihan, setiap percakapan yang terlibat dalam kontestasi ini, kian menambah jarak di antara kita. Saudara-saudaraku yang dulu saling berbagi tawa dan doa, kini saling curiga. Mereka yang dulu satu barisan di belakang panji jam'iyah, kini terpecah dalam kepentingan politik yang tak seharusnya mengikis persaudaraan.

Aku merasa seperti saksi bisu yang terjebak di tengah konflik ini. Suara-suara keras yang saling bersahutan, janji-janji politik yang menggema di setiap sudut, semuanya hanya membuatku semakin terasing dalam diam. Apa yang bisa kulakukan? Hanya sebutir debu yang terombang-ambing dalam pusaran kepentingan dan ambisi, aku terlalu kecil untuk bisa menghentikan arus yang deras ini.

Namun, meski hati ini kian terkoyak melihat kenyataan, aku tetap menggantungkan seluruh harap kepada Tuhan. Dalam kesunyian doa, kutitipkan segalanya pada-Nya. Semoga perselisihan ini tak berlarut, semoga kesepakatan dan keikhlasan bisa kembali tumbuh, menyatukan kembali hati-hati yang kini terpisah oleh batas-batas perbedaan.

Aku tak ingin ada lagi yang menjadi korban, tak ingin ada lagi jiwa yang tergores akibat keegoisan manusia. Cukuplah aku yang merasakan pahitnya fitnah buta politik ini beberapa bulan lalu, biarlah aku yang menyimpan luka itu sendiri. Karena di tengah badai ini, aku hanya berharap—meski kecil harapanku—bahwa perdamaian, persaudaraan, dan keutuhan jam'iyah bisa kembali hadir, mengobati setiap luka yang telah tercipta.

Walau langit tampak gelap, walau awan hitam menggantung di atas kepala, aku masih percaya, dalam doaku yang lirih, bahwa cahaya akan kembali muncul. Semoga, dengan izin-Nya, kita bisa kembali merasakan damai di bawah naungan jam'iyah yang kita cintai.

Suara lirihku terus mengalun "dari tengah belantara, harap ku lambungkan, dan do'a ku senandungkan semoga airmata cukuplah membasuh dosa bukan membasuh saudara".

Dari tengah belantara yang kian pekat, di antara riuhnya suara perpecahan, aku hanya bisa melambungkan harapan. Harapan yang mungkin terdengar samar, di tengah bisingnya pertikaian, tapi kupegang erat, agar tak hilang ditelan kekacauan. Seiring dengan harapan itu, doaku terus senandungkan, permohonan agar kiranya Tuhan mendengar lirihnya jiwa yang lelah.

Semoga air mata yang jatuh, bukanlah tanda kehancuran, melainkan penawar bagi dosa-dosa kita. Bukan untuk membasuh saudara dari hubungan yang dulu erat, melainkan untuk membersihkan hati yang telah disebabkan oleh ambisi dan ego. Aku berharap, dalam tangisan ini, ada kelegaan, ada maaf yang terbit, dan ada perdamaian yang mulai perlahan ke dalam jiwa-jiwa yang sedang panas.

Kita semua pernah bersujud bersama, melafalkan doa yang sama, di bawah langit yang sama. Kini, saat politik terpecah belah, betapa inginku agar sujud itu kembali menyatukan kita. Bukan perpecahan yang menguatkan, melainkan kasih dan kebersamaan yang dulu kita banggakan sebagai ikatan jam'iyah ini. Ah, betapa air mata ini ingin membasuh dosa, bukan memisahkan saudara.

Di atas segala yang terjadi, aku percaya, masih ada jalan untuk kembali. Aku hanya berharap, meski tak banyak yang bisa kulakukan, bahwa kita semua dapat merasakan kembali kedamaian, di mana kita kembali bersaudara, dalam naungan cinta yang tak beragam oleh warna-warna politik.

Rabu, 09 Oktober 2024

Mewakili Pak Naib yang Sedang Tugas Luar Kota

Sambutan Mewakili Pak Naib

Hari ini, Rabu, 09 September 2024, sebuah tugas mulia dan penuh tanggung jawab hadir di hadapan saya. Dalam suasana hangat dan penuh harapan, saya diberi amanah untuk mewakili Bapak Kepala KUA Margomulyo dalam acara Lomba Keluarga Sakinah. Momen ini tidak hanya sekadar seremonial, melainkan sebuah refleksi atas upaya kita dalam menciptakan keluarga yang bahagia dan harmonis.

Namun, di balik kebahagiaan ini, ada kabar yang menyentuh hati. Bapak Naib, sosok yang selalu menjadi teladan dalam pelayanan dan kepemimpinan, tidak dapat hadir. Ia tengah mengikuti Uji Kompetensi Penghulu di Kanwil Kementerian Agama Jawa Timur. Meski jarak memisahkan, semangat dan pesan beliau senantiasa mengalir dalam setiap detak jantung acara ini.

Saat tiba di hadapan hadirin, sebelum sambutan resmi dari panitia, saya diamanahi untuk memimpin doa pembuka. Dalam keheningan dan ketulusan, kami mengangkat tangan, memohon kepada Allah agar acara ini diberkahi dan setiap peserta diberikan kekuatan untuk terus berjuang membangun keluarga sakinah.

Setelah doa, saya menyampaikan sambutan dengan penuh rasa syukur. Selain menyampaikan pesan-pesan hangat dari Bapak Naib, saya tak lupa menyampaikan sepatah dua kata tentang konsep dasar keluarga sakinah. Dengan lembut, saya berbagi dengan para peserta bahwa esensi dari keluarga sakinah adalah kemampuan kita untuk istiqomah mencintai pasangan kita. Sebuah cinta yang tak mengenal batas waktu, tempat, atau keadaan. Cinta yang terukir dalam setiap detik perjalanan hidup, dalam suka maupun duka, dalam tawa dan air mata.

“Saudara-saudara,” saya melanjutkan, “marilah kita tanamkan dalam diri kita, bahwa cinta sejati adalah tentang komitmen. Setiap hari kita berusaha untuk saling mencintai, mendukung, dan memahami satu sama lain. Dalam keadaan apapun, bagaimanapun, dan kapanpun, mari kita jadikan cinta sebagai jembatan yang menghubungkan hati kita.”

Dengan semangat ini, saya berharap setiap peserta dapat meresapi arti sejati dari keluarga sakinah dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Acara pun dimulai, dengan harapan dan doa yang mengalir dalam setiap langkah kita menuju keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Suasana acara perlahan semakin syahdu. Setiap peserta hadir dengan semangat yang membara, namun hati mereka tetap teduh, selaras dengan pesan-pesan cinta yang telah disampaikan. Dalam perlombaan ini, bukan hanya kompetisi yang menjadi fokus, melainkan pembelajaran akan nilai-nilai luhur yang membentuk keluarga sakinah.

Saya duduk di barisan tamu undangan, memperhatikan setiap keluarga yang tampil dengan bangga, membawa nilai-nilai kebersamaan, kasih sayang, dan keikhlasan. Dari wajah mereka, terpancar harapan untuk menjadi teladan bagi keluarga-keluarga lain, menginspirasi lingkungan mereka agar selalu berpegang pada prinsip-prinsip agama dalam setiap aspek kehidupan rumah tangga.

Setiap keluarga yang berpartisipasi menampilkan keindahan rumah tangga yang dibangun di atas pondasi cinta dan komitmen. Ada yang berbagi kisah tentang bagaimana mereka menghadapi ujian hidup, mengatasi perbedaan, hingga menjaga keharmonisan meski dalam keterbatasan. Di tengah-tengah semua itu, saya merenung dan tersenyum. Betapa indahnya ketika cinta diikat dengan keimanan, diperkuat dengan ketakwaan, dan dijaga dengan kesabaran.

Acara ini bukan sekadar perlombaan untuk mencari pemenang, tapi sebuah kesempatan untuk menegaskan kembali bahwa keluarga sakinah bukanlah sesuatu yang hadir begitu saja. Ia perlu diperjuangkan dengan tekad dan keyakinan. Sebagaimana cinta yang istiqomah, keluarga sakinah dibangun dengan konsistensi mencintai, memahami, dan saling mendukung, tidak hanya saat bahagia, tetapi juga ketika menghadapi badai kehidupan.

Sambil menyimak para peserta, saya teringat kembali akan pentingnya doa yang telah saya panjatkan di awal acara. Bahwa hanya dengan rahmat dan ridha Allah-lah, kita bisa menjaga keutuhan keluarga kita. Karena itu, saya berharap setiap keluarga yang hadir hari ini dapat membawa pulang pelajaran yang lebih dari sekadar kemenangan lomba—yakni pemahaman akan makna sejati keluarga sakinah.

Ketika acara mulai berakhir, saya merasakan kehangatan hati. Semua keluarga yang hadir hari ini adalah pemenang, bukan karena trofi yang mereka bawa pulang, tapi karena mereka telah memilih jalan untuk membangun keluarga yang penuh cinta dan harmoni, sesuai dengan ajaran Islam. Sebuah keluarga yang mampu menjadi cahaya bagi lingkungan dan masyarakat sekitarnya.

Dengan penuh syukur, saya menyadari bahwa pesan tentang keluarga sakinah yang saya sampaikan tadi bukan hanya kata-kata. Itu adalah doa dan harapan bagi setiap kita, bahwa di setiap rumah tangga yang dibangun di atas pondasi cinta, keimanan, dan keikhlasan, keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah akan selalu tumbuh dan berkembang.

Hari ini adalah bukti bahwa setiap kita mampu mewujudkannya dengan cinta yang istiqomah, dan dengan doa yang tak pernah putus.

Senin, 07 Oktober 2024

"Petualangan Sore Syafiq: Menemukan Sejarah di Alun-alun Demak"

Syafiq di Halaman Masjid Demak
"Sore itu, suasana di alun-alun Masjid Demak Bintoro terasa begitu damai. Di antara orang-orang yang berlalu lalang, tampak seorang anak kecil bernama Syafiq yang sedang menikmati waktu santainya. Dengan wajah polos dan senyum lebar, Syafiq berlarian di sekitar alun-alun, sesekali berhenti untuk mengagumi keindahan arsitektur Masjid Agung Demak yang megah.

Sinar matahari sore membelai lembut wajah Syafiq, menciptakan bayangan panjang di atas rumput hijau alun-alun. Suara azan Maghrib sayup-sayup terdengar, menambah kekhusyukan suasana. Syafiq, dengan mata berbinar, memandang ke arah menara masjid, seolah terpesona oleh keagungan bangunan bersejarah itu.

Momen ini menjadi potret indah yang menggambarkan keceriaan masa kanak-kanak Syafiq, berpadu dengan ketenangan spiritual yang terpancar dari lingkungan sekitar Masjid Demak Bintoro. Sebuah kenangan manis yang pasti akan selalu diingat Syafiq ketika ia beranjak dewasa nanti."

Narasi ini dibuat berdasarkan gambaran umum yang Anda berikan. Jika Anda ingin narasi yang lebih spesifik atau berbeda, silakan berikan detail tambahan dan saya akan dengan senang hati membantu menyusun narasi baru.

"Saat Syafiq asyik bermain, ia tak sengaja bertemu dengan seorang kakek yang sedang duduk di salah satu bangku taman. Kakek itu tersenyum ramah dan memanggil Syafiq. Dengan rasa ingin tahu yang besar, Syafiq menghampiri sang kakek.

'Nak, maukah kamu mendengar sebuah cerita?' tanya kakek itu lembut. Syafiq mengangguk antusias, lalu duduk di samping kakek tersebut.

Sang kakek mulai bercerita tentang sejarah Masjid Agung Demak, tentang bagaimana masjid itu dibangun oleh Wali Songo, dan tentang peran pentingnya dalam penyebaran Islam di tanah Jawa. Syafiq mendengarkan dengan seksama, matanya berbinar-binar mendengar kisah-kisah heroik dan penuh hikmah.

Tanpa terasa, langit mulai gelap dan lampu-lampu di sekitar alun-alun mulai menyala. Orang tua Syafiq yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan, akhirnya menghampiri. Mereka mengucapkan terima kasih kepada kakek itu dan mengajak Syafiq pulang.

Dalam perjalanan pulang, Syafiq tak henti-hentinya bercerita tentang apa yang ia pelajari hari itu. Pengalaman sederhana di sore hari di alun-alun Masjid Demak Bintoro telah memberikan Syafiq tidak hanya kegembiraan, tetapi juga pengetahuan dan apresiasi terhadap warisan budaya dan sejarah Islam di Indonesia.

Hari itu menjadi salah satu kenangan indah bagi Syafiq, sebuah momen yang mungkin akan membekas dalam ingatannya dan membentuk rasa cintanya terhadap sejarah dan budaya bangsanya sendiri."

Kamis, 03 Oktober 2024

"Hujan dan Kenangan: Ngopi Sore di Ngluwah"

(Foto Hanya Pemanis cerita)

Sore itu, langit baru saja berhenti menangis setelah hujan lebat yang mengguyur Dusun Jipangulu sejak siang. Udara masih basah oleh embun yang menggantung di daun-daun, dan tanah pun masih lembab, menyimpan jejak-jejak rintik air yang membasuh bumi. Dusun yang kini tengah menjadi bagian dari proyek besar pembangunan Bendungan Karang Nongko, menyisakan ketenangan yang syahdu saat matahari senja perlahan tenggelam di ufuk barat.


Di tepi dusun, ada sebuah kawasan yang dulu kami kenal sebagai "Ngluwah". Ngluwah tak lain adalah sebuah hutan kecil di pinggiran desaku. Hutan itu, bagi kami anak-anak desa, bukan hanya sekadar rimbunan pepohonan dan semak belukar, tapi sebuah arena kehidupan. Di sanalah kami bermain, berlari, tertawa, menggembala kambing, dan sesekali menantang diri memanjat pohon tertinggi. Setiap jengkal tanah di sana seolah menyimpan guratan cerita masa kecil kami, kenangan yang tak pernah pudar meski waktu terus berputar.


Namun kini, Ngluwah tak lagi sama. Perubahan telah merangkulnya dalam wujud yang baru. Kanan dan kiri jalan menuju Ngluwah berdiri warung-warung kecil, milik para tetangga dan teman-teman masa kecilku yang mencoba menghidupi keluarga dengan usaha UMKM. Di antara bangunan-bangunan sederhana itu, terasa betapa kehidupan terus berjalan, menciptakan peluang baru di tengah perubahan yang tak terhindarkan.


Selepas magrib, aku dan Mas Aris, Bujang Jiapangulu yang sedang menanti qudrot Illahi datangnya Bidadari, memutuskan untuk singgah di sebuah warung milik Pak Kades. Warung itu sederhana, tapi ada kehangatan yang tak bisa dibeli dengan uang di sana. Di meja kayu unik sebagai saksi sore ini, secangkir kopi panas mengepul di depan kami. Aroma kopi yang khas menguar, membawa serta kenangan masa lalu yang kembali terlintas di benakku.


"Ngluwah memang sudah banyak berubah, ya?" gumamku sambil menyeruput kopi pelan.


Mas Aris mengangguk pelan, matanya menerawang jauh ke arah pepohonan yang masih tersisa di ujung sana. "Iya, tapi kenangannya nggak pernah berubah. Rasanya baru kemarin kita main dan mengumbar tawa di sini."


Aku tersenyum tipis, menyadari betapa waktu telah mengubah banyak hal di sekitar kami, tapi kenangan itu tetap utuh, tersimpan rapi di dalam hati. Di tengah segala perubahan, ada sesuatu yang tak bisa disentuh oleh waktu, yaitu perasaan dan memori yang terukir dari masa kecil. Kopi sore itu seolah menjadi pengantar bagi kami untuk kembali meresapi masa lalu, meski hanya sejenak, sebelum kembali berhadapan dengan kenyataan yang terus bergerak maju.


Ngopi di Ngluwah, di bawah langit yang perlahan mulai gelap, diiringi suara jangkrik dan riuh rendah kehidupan malam dusun, menjadi momen yang begitu syahdu. Rasanya seperti melintasi batas waktu, berdamai dengan perubahan, dan mensyukuri setiap langkah yang telah diambil dalam perjalanan hidup ini.


Di sini, di antara tegukan kopi yang hangat, aku menemukan ketenangan. Ketenangan yang hanya bisa dirasakan di tempat yang penuh dengan kenangan, di mana setiap sudutnya pernah menjadi saksi bisu perjalanan hidupku.


Selain Mas Aris, Pak Lurah tiba-tiba ikut merapat menghampiri kami. Beliau dengan senyumnya yang ramah membawa secangkir kopi yang baru saja dibuat di warungnya sendiri, kemudian duduk di sebelah kami. Kehadirannya menambah hangat suasana sore yang perlahan mulai berubah gelap. Obrolan kami, yang semula hanyut dalam kenangan masa kecil, beralih menjadi bincang-bincang ringan yang mengalir santai.


"Eh, gimana kabar kalian berdua?" tanya Pak Lurah, menyelipkan pertanyaan yang terdengar akrab, seperti seorang teman lama yang tak pernah berjarak.


"Baik, Pak. Habis capek muter-muter proyek bendungan, sekarang ngopi dulu," jawab Mas Aris sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk kecil, membenarkan jawaban Mas Aris.


Obrolan pun berlanjut, membahas beberapa hal aktual yang sedang terjadi di desa. Dari proyek bendungan yang terus berjalan, hingga isu-isu kecil di kampung, semuanya kami bahas dengan santai. Namun, di tengah topik yang cukup serius itu, sesekali tawa kami pecah karena candaan-candaan ringan yang mewarnai percakapan. Suasana menjadi semakin hangat, seolah tak ada jarak antara kami bertiga, meski Pak Lurah adalah pemimpin desa.


"Oh iya, tadi aku pulang kehujanan, padahal cuma beberapa meter dari sini," cerita Pak Lurah tiba-tiba, mengubah topik dengan kisah yang baru saja dialaminya.


Aku dan Mas Aris langsung tertawa mendengarnya. Pak Lurah ikut tertawa, sambil menggelengkan kepala seolah tak percaya dirinya bisa begitu apes.


"Tadi habis belanja buat warung, sudah mendung, tapi kupikir hujan nggak bakal deras. Eh, ternyata baru jalan sebentar, hujan turun lebat sekali!" lanjut Pak Lurah dengan ekspresi lucu.


Mas Aris terkekeh, "Untung nggak sampai masuk angin, Pak. Hujan tadi deras banget, lho. Aku aja sampai nggak bisa lihat jelas jalan."


"Iya, makanya. Untung nggak jauh-jauh amat. Kalau nggak, bisa basah kuyup kayak orang baru saja nyemplung kali," sahut Pak Lurah, mencoba bercanda dengan wajah yang masih sedikit mengernyit mengingat kejadian tadi.


Kisah kehujanan Pak Lurah itu membuat suasana semakin cair. Tawa kami bersahutan di antara desiran angin malam yang mulai menyentuh lembut kulit. Di tengah gelapnya malam yang perlahan semakin menelan senja, percakapan kami seolah menjadi pengisi kekosongan, menciptakan momen sederhana yang penuh kebersamaan.


Kami tak membahas hal-hal besar yang mungkin bisa mengubah dunia, tapi di situ ada kehangatan yang tak bisa diukur dengan materi. Ada canda, tawa, dan cerita yang membuat kami merasa kembali muda—kembali seperti anak-anak yang dulu bermain bebas di Ngluwah, tanpa beban kehidupan dewasa yang kini ada di pundak masing-masing.


"Yah, hidup memang seperti hujan, nggak bisa ditebak kapan datangnya," ucap Pak Lurah sambil tersenyum bijak. Aku dan Mas Aris hanya bisa tersenyum mendengar pernyataan sederhana itu, tapi terasa begitu dalam.


Ngopi sore di Ngluwah, dengan segelas kopi dan cerita ringan di antara teman lama, menjadi pengingat betapa indahnya momen-momen kecil seperti ini—momen yang seringkali terlupakan di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang kian cepat bergerak.

Minggu, 22 September 2024

"Menapaki Jejak Wali: Ziarah Upgrade Spiritual dan Penguatan Mental"

(Makam Ki Ageng Tarub)

Pada Sabtu pagi, 21 September 2024, suasana penuh khidmat menyelimuti Desa Ngelo. Pukul 06.00 tepat, rombongan ziyaroh wali yang terdiri dari jajaran Pemerintah Desa Ngelo berangkat dari Jipangulu dengan satu tujuan mulia—menziarahi makam para wali Allah di Jawa Tengah. Rombongan ini dipimpin langsung oleh Kepala Desa, didampingi oleh para Kepala Urusan (KAUR), Kepala Dusun (KASUN), dan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD). Mereka semua bersatu dalam satu niat yang tulus, mengharap ridho Allah dan keberkahan dari para wali.

Dalam perjalanan ziyaroh ini, saya diberikan kehormatan untuk menjadi imam sekaligus pemandu. Sebagai seorang penyuluh agama, tanggung jawab ini saya emban dengan penuh rasa syukur, mengingat betapa pentingnya spiritualitas dalam setiap langkah perjalanan. Kami memulai perjalanan dengan do’a bersama, memohon kepada Allah agar diberikan kelancaran dan keberkahan dalam setiap kunjungan kami.

Destinasi pertama kami adalah Maqom Ki Ageng Tarub, atau yang lebih dikenal dengan nama Joko Tarub, di Tarub, Purwodadi. Dalam tradisi keagamaan masyarakat Jawa, sosok Joko Tarub dikenal sebagai tokoh yang berperan besar dalam penyebaran Islam di tanah Jawa, sehingga maqomnya sering menjadi tempat berziarah bagi mereka yang ingin mendekatkan diri kepada Allah melalui wasilah para wali-Nya.

Sepanjang perjalanan, suasana di dalam kendaraan dipenuhi dengan lantunan dzikir dan shalawat, menambah kekhusyukan rombongan dalam perjalanan spiritual ini. Sesekali, saya menyampaikan tausiyah singkat tentang pentingnya ziyaroh sebagai bentuk penghormatan kepada para wali yang telah berjuang menegakkan agama Allah di Nusantara.

Kegiatan ziyaroh ini bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan batin. Setiap langkah yang kami ambil diiringi dengan harapan agar rahmat Allah senantiasa menaungi kami dan seluruh masyarakat Desa Ngelo. Kami percaya, dengan berziaroh ke makam wali, bukan hanya doa-doa kami yang lebih dekat terkabul, tetapi juga keberkahan para wali bisa membawa kebaikan dan kemaslahatan bagi desa kami tercinta.

Setelah menyelesaikan rangkaian ritual di Maqom Ki Ageng Tarub, suasana syahdu tetap terasa menyelimuti rombongan. Kami bersama-sama melantunkan do'a, memohon keberkahan dari Allah melalui wasilah Ki Ageng Tarub, seorang wali yang memiliki peran besar dalam penyebaran ajaran Islam di tanah Jawa. Doa-doa kami mengalir khusyuk, diiringi harapan agar perjalanan ini membawa keberkahan, tidak hanya bagi diri kami pribadi, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Desa Ngelo.

Setelah prosesi ziyaroh selesai, kami tak lupa menyempatkan diri untuk berfoto bersama di sekitar maqom, sebagai kenang-kenangan atas perjalanan spiritual ini. Wajah-wajah para peserta tampak cerah, seakan merasakan ketenangan dan kebahagiaan tersendiri setelah menziarahi salah satu tokoh penting dalam sejarah Islam Jawa. Momen ini menjadi pengingat bahwa di balik perjalanan ziyaroh, selalu ada rasa kebersamaan yang terjalin di antara kami, para pelayan masyarakat Desa Ngelo.

(Aula Makam Ki Ageng Selo)

Tanpa berlama-lama, perjalanan kami lanjutkan menuju tujuan berikutnya, yakni Maqom Ki Ageng Selo. Letaknya tidak terlalu jauh, dan meskipun jalan yang kami lalui terkadang berliku dan berbukit, semangat kami tidak surut. Ki Ageng Selo adalah sosok wali yang dikenal luas dengan karomah dan keutamaan ilmu agamanya. Banyak yang percaya bahwa ia memiliki kemampuan luar biasa, termasuk mampu ‘menangkap petir,’ sebuah simbol dari ketakwaannya yang luar biasa kepada Allah SWT.

Sepanjang perjalanan, kami kembali melantunkan dzikir dan shalawat, mengiringi setiap kilometer yang kami tempuh. Saya, sebagai pemandu perjalanan, bermuhasabah mengenai sejarah dan keutamaan Ki Ageng Selo, menekankan pentingnya meneladani ketakwaan dan kebersahajaan para wali. Rasa haru dan kekaguman kepada para leluhur Islam ini makin kuat dirasakan oleh seluruh peserta ziyaroh.

Sesampainya di Maqom Ki Ageng Selo, kami disambut oleh suasana tenang dan sejuk. Pohon-pohon besar yang rindang melindungi tempat ini, seolah menjadi saksi bisu dari perjalanan spiritual yang kami tempuh. Kami langsung menuju area maqom untuk melanjutkan ritual ziyaroh dengan penuh khusyuk, mempersembahkan doa-doa terbaik untuk kebaikan dunia dan akhirat. Berdoa di tempat-tempat yang penuh berkah seperti ini, bagi kami, adalah sebuah anugerah, kesempatan untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah dan memohon petunjuk-Nya dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Setelah menyelesaikan ritual ziyaroh di Maqom Ki Ageng Selo, suasana khidmat kembali terasa menyelimuti seluruh peserta. Di bawah naungan pohon-pohon besar yang meneduhkan, kami melantunkan doa-doa dengan penuh kekhusyukan, memohon agar Allah SWT memberikan limpahan rahmat dan keberkahan melalui perantara wali yang begitu masyhur ini. Wajah-wajah para peserta tampak semakin berseri, mungkin karena mereka merasakan ketenangan batin setelah ziyaroh di tempat yang begitu sakral.

Setelah prosesi doa, kami kembali menyempatkan diri untuk berfoto bersama sebagai tanda kenangan perjalanan ini. Setiap peserta tampak antusias, berbagi senyuman dan kebersamaan di tengah perjalanan spiritual yang penuh makna ini. Foto-foto ini nantinya bukan hanya menjadi dokumentasi perjalanan, tetapi juga simbol dari kebersamaan kami sebagai keluarga besar Pemerintah Desa Ngelo, yang dalam setiap langkahnya senantiasa berharap pada ridho dan keberkahan dari Allah SWT.

(Masjid Kadilangu Komplek Makam Sunan Kalijogo)

Tanpa menunggu lama, perjalanan berikutnya kami lanjutkan menuju destinasi yang sudah dinanti-nantikan, yakni Maqom Raden Sa’id atau yang lebih dikenal sebagai Sunan Kalijogo di Kadilangu, Demak Bintoro. Sosok Sunan Kalijogo memiliki tempat yang istimewa dalam hati setiap muslim di Nusantara, terutama karena kebijaksanaan dan metode dakwahnya yang begitu lembut dan mendalam. Sunan Kalijogo dikenal sebagai wali yang menyebarkan Islam dengan penuh toleransi, seni, dan budaya yang begitu dekat dengan masyarakat Jawa pada zamannya.

Perjalanan menuju Demak terasa semakin berkesan. Sepanjang jalan, saya kembali mengajak rombongan untuk bershalawat dan berdzikir, menjaga suasana hati tetap tenang dan berserah diri kepada Allah. Saya juga menyempatkan diri bercerita sedikit tentang sejarah Sunan Kalijogo—bagaimana beliau berdakwah melalui seni wayang dan tembang, serta peran besarnya dalam membangun peradaban Islam di Jawa. Cerita-cerita ini, saya harapkan, tidak hanya menambah wawasan, tetapi juga memperdalam cinta kami kepada para wali dan ajaran-ajaran mereka yang penuh dengan kearifan.

Sesampainya di Kadilangu, kami disambut dengan suasana yang sangat berbeda—lebih ramai, karena banyaknya peziarah yang datang dari berbagai daerah untuk berziaroh ke Maqom Sunan Kalijogo. Meskipun ramai, suasana di sekitar maqom tetap penuh ketenangan dan spiritualitas. Kami segera menuju maqom, berbaur dengan para peziarah lain yang juga datang dengan niat yang sama: memohon ridho dan keberkahan Allah melalui wasilah salah satu wali terbesar di Nusantara.

Ritual ziyaroh di Maqom Sunan Kalijogo kami lakukan dengan penuh rasa haru. Melantunkan doa dan tahlil di tempat yang begitu bersejarah ini, hati kami serasa terhubung dengan perjalanan dakwah dan perjuangan panjang yang dilakukan oleh para wali untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Seusai doa, kami menyempatkan diri untuk sejenak merenung dan mengambil pelajaran dari kebesaran sosok Sunan Kalijogo, yang tak hanya berperan dalam penyebaran Islam, tetapi juga membangun harmoni di tengah masyarakat melalui pendekatan budaya.

Setelah itu, sebelum melanjutkan perjalanan, kami kembali berfoto sejenak di sekitar area maqom. Momen ini menjadi momen yang indah dari perjalanan ziyaroh yang penuh berkah, sekaligus menjadi pengingat bahwa perjalanan spiritual kami bukan hanya sekadar ziyaroh fisik, tetapi juga perjalanan batin yang memperkuat iman dan harapan akan ridho dan keberkahan Allah bagi kami dan seluruh masyarakat Desa Ngelo.

Setelah menyelesaikan ritual di Maqom Sunan Kalijogo, suasana ziyaroh yang penuh ketenangan masih menyelimuti rombongan kami. Di tengah hiruk-pikuk peziarah yang datang dari berbagai pelosok, kami melanjutkan ritual dengan khusyuk, berharap agar setiap doa yang terucap dari hati yang tulus di maqom wali besar ini membawa keberkahan bagi diri kami dan masyarakat Desa Ngelo.

Setelah prosesi doa dan tahlil, kami kembali menyempatkan diri untuk berfoto sejenak di sekitar maqom Sunan Kalijogo. Senyum yang terpancar di wajah para peserta mencerminkan kepuasan batin setelah ziyaroh ini, dan rasa kebersamaan di antara kami semakin erat terjalin. Dokumentasi foto ini tidak hanya menjadi kenangan dari perjalanan spiritual kami, tetapi juga simbol persatuan dan niat tulus untuk terus membawa kebaikan bagi desa dan masyarakat kami.

Tanpa menunda lebih lama, perjalanan kami lanjutkan menuju destinasi berikutnya, yaitu Maqom Raden Fatah dan keluarga besar Raja Demak di area Masjid Agung Demak, Bintoro. Perjalanan ini terasa semakin bermakna, mengingat Raden Fatah merupakan pendiri Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama dan terbesar di Jawa. Beliau tidak hanya dikenal sebagai seorang raja yang bijaksana, tetapi juga sebagai seorang tokoh penyebar Islam yang mengedepankan nilai-nilai keadilan dan kebijaksanaan dalam memimpin.

Saat mendekati Demak, rombongan kami disambut oleh pemandangan megahnya Masjid Agung Demak, sebuah masjid bersejarah yang menjadi saksi kebesaran peradaban Islam di Jawa. Masjid ini, yang dibangun oleh Walisongo di bawah kepemimpinan Raden Fatah, berdiri kokoh sebagai simbol penyebaran agama Islam dan pusat kegiatan keagamaan pada masanya. Melihat masjid ini dari kejauhan, hati kami dipenuhi rasa haru dan kagum akan sejarah besar yang ada di baliknya.

(Museum Masjid Agung Demak Komplek Makam Raden Fatah)

Sesampainya di area makam Raden Fatah dan keluarga besar Kesultanan Demak, kami segera berkumpul untuk melaksanakan ziyaroh. Doa-doa dipanjatkan dengan penuh kekhidmatan, mengingat jasa besar Raden Fatah dalam menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa dan membangun pondasi yang kokoh bagi peradaban Islam di Nusantara. Sebagai pendiri Kesultanan Demak, Raden Fatah adalah sosok yang tidak hanya dihormati karena kehebatannya sebagai pemimpin, tetapi juga karena ketakwaannya kepada Allah dan kecintaannya pada agama.

Setelah melantunkan doa dan tahlil, kami juga menyempatkan diri untuk merenungi perjuangan besar yang dilakukan oleh keluarga besar Kesultanan Demak. Merenungi peran mereka dalam memperkuat Islam di Nusantara, memberikan kami inspirasi untuk terus berjuang dan berdakwah dengan penuh keteguhan, sebagaimana para leluhur kita telah melakukannya.

Di akhir ritual, kami sekali lagi menyempatkan diri untuk mengambil foto bersama di sekitar area Masjid Agung Demak. Berdiri di depan masjid yang penuh sejarah ini, kami merasa tersambung dengan perjalanan panjang peradaban Islam di Jawa. Dokumentasi ini menjadi penutup yang sempurna dari rangkaian ziyaroh wali yang kami lakukan hari itu.

Dengan hati yang penuh rasa syukur dan harapan, kami melanjutkan perjalanan pulang, membawa serta doa-doa dan keberkahan yang kami harapkan akan memberi dampak baik bagi kami semua, terutama bagi masyarakat Desa Ngelo. Perjalanan ziyaroh ini bukan hanya sekadar mengenang sejarah, tetapi juga memperkuat iman kami dan mempererat ikatan kebersamaan dalam melayani masyarakat dengan penuh keikhlasan, sebagaimana para wali dan tokoh Islam besar yang kami ziarahi telah memberikan teladan bagi kami semua.

Setelah menyelesaikan ritual di Maqom Raden Fatah, kami tak lupa menyempatkan diri untuk berfoto sejenak di area Museum Kerajaan Demak yang terletak tak jauh dari Masjid Agung Demak. Museum ini menjadi saksi bisu sejarah kejayaan Kesultanan Demak, memperlihatkan berbagai artefak dan peninggalan yang menjadi bagian dari perjalanan Islam di Nusantara. Melihat benda-benda bersejarah ini, kami seolah terseret kembali ke masa lalu, membayangkan betapa besar pengaruh Raden Fatah dan Kesultanan Demak dalam menyebarkan agama Islam dan menjaga kearifan lokal.

Para peserta ziyaroh tampak antusias, tak hanya karena kebersamaan yang terjalin erat, tetapi juga karena kesempatan untuk menapaki jejak sejarah yang begitu kaya. Foto-foto yang kami ambil di sekitar museum tidak hanya menjadi dokumentasi perjalanan, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan akan warisan sejarah Islam di Jawa. Kami semua merasa terinspirasi oleh kejayaan masa lalu, yang seharusnya menjadi teladan bagi kita dalam menjaga keimanan dan tanggung jawab sebagai pemimpin masyarakat.

Setelah meninggalkan Museum Kerajaan Demak, perjalanan kami lanjutkan menuju tujuan berikutnya, yakni Maqom Sunan Kudus dan keluarga besarnya yang terletak di area Masjid Al-Aqso Menara Kudus. Sunan Kudus adalah salah satu dari Walisongo, sosok yang dikenal dengan dakwahnya yang bijak dan toleran, menggunakan pendekatan budaya dan filosofi yang mampu menyentuh hati masyarakat Jawa kala itu. Beliau menyebarkan ajaran Islam dengan cara yang harmonis, menggabungkan unsur-unsur lokal dengan nilai-nilai Islam, sehingga masyarakat dapat menerimanya dengan mudah.

Perjalanan menuju Kudus terasa semakin sarat makna. Saya kembali memimpin doa dan dzikir di sepanjang perjalanan, menjaga suasana hati para peserta tetap tenang dan fokus pada tujuan spiritual kami. Dalam perjalanan ini, saya juga mengisahkan betapa pentingnya peran Sunan Kudus dalam membangun Islam yang damai dan penuh toleransi, khususnya di kalangan masyarakat Jawa. Kisah-kisah tentang kebijaksanaan Sunan Kudus, seperti cara beliau mengajarkan tauhid melalui simbol-simbol yang dikenal masyarakat, menambah rasa kagum kami akan para wali.

Sesampainya di Masjid Al-Aqso Menara Kudus, kami disambut dengan pemandangan menara masjid yang begitu ikonik, salah satu warisan arsitektur Islam yang unik. Menara ini menggabungkan elemen budaya Hindu-Buddha dengan konsep Islam, mencerminkan cara Sunan Kudus berdakwah yang menghormati tradisi lokal tanpa mengorbankan esensi ajaran Islam. Area masjid dipenuhi peziarah, namun suasana tetap khusyuk dan tenang, mencerminkan betapa besarnya pengaruh spiritual dari tempat ini.

Kami segera menuju Maqom Sunan Kudus dan keluarga besarnya. Ritual ziyaroh kami lakukan dengan penuh kekhidmatan, melantunkan doa-doa terbaik, berharap agar Allah SWT melimpahkan rahmat dan keberkahan melalui perantara Sunan Kudus, seorang wali yang dikenal sangat bijaksana. Di hadapan maqom beliau, kami merenungkan betapa luar biasanya peran Sunan Kudus dalam menyebarkan Islam yang penuh hikmah dan kedamaian. Beliau tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga menciptakan harmoni antara agama dan budaya, yang hingga kini tetap menjadi contoh dalam dakwah Islam.

Setelah doa-doa dipanjatkan, kami menyempatkan diri untuk berfoto di area sekitar Menara Kudus dan masjid. Foto-foto ini mengabadikan momen berharga dalam perjalanan ziyaroh kami, menjadi kenang-kenangan dari perjalanan spiritual yang penuh hikmah. Selain sebagai dokumentasi, foto ini juga melambangkan komitmen kami untuk terus menjaga nilai-nilai keislaman yang penuh toleransi, sebagaimana telah dicontohkan oleh Sunan Kudus.

Perjalanan ziyaroh ini benar-benar memperkaya batin kami. Dari satu maqom wali ke maqom lainnya, kami tidak hanya belajar tentang sejarah Islam di Jawa, tetapi juga menyerap kebijaksanaan yang diajarkan para wali dalam menjalani kehidupan. Setelah menyelesaikan ziyaroh di Maqom Sunan Kudus, kami melanjutkan perjalanan pulang dengan hati yang penuh rasa syukur, membawa serta doa-doa dan harapan agar perjalanan ini memberikan keberkahan bagi kami, keluarga, dan seluruh masyarakat Desa Ngelo.

Setelah menyelesaikan ritual ziyaroh di Maqom Sunan Kudus, hari mulai beranjak senja. Kami memutuskan untuk berbuka puasa bersama di area sekitar Masjid Al-Aqso Menara Kudus. Suasana berbuka terasa hangat, penuh keakraban dan rasa syukur setelah menjalani rangkaian perjalanan spiritual ini. Masing-masing dari kami membawa bekal sederhana, namun kebersamaan inilah yang membuat momen berbuka menjadi begitu istimewa.

Setelah berbuka, kami segera menunaikan salat Maghrib berjamaah di Masjid Menara Kudus. Keagungan masjid ini, dipadukan dengan kekhidmatan ibadah di dalamnya, semakin memperdalam rasa spiritual kami. Suasana penuh ketenangan menyelimuti hati kami semua, seolah Sunan Kudus yang begitu dikenal dengan dakwah damainya, masih memberikan bimbingan kepada setiap peziarah yang datang. Usai berjamaah, kami menyempatkan diri lagi untuk berfoto sejenak, mengabadikan momen-momen berharga ini di sekitar menara yang ikonik tersebut.

Tanpa membuang waktu, perjalanan kami lanjutkan menuju Maqom Sunan Muria di puncak Gunung Muria, salah satu wali yang juga sangat dihormati di kalangan Walisongo. Namun, saat meninggalkan area Maqom Sunan Kudus, kami harus menghadapi tantangan yang tak terduga—kemacetan yang luar biasa di jalan keluar. Kendaraan berdesakan, sementara jalan sempit membuat lalu lintas sangat tersendat. Selama sekitar 30 menit, kami berjibaku dengan kemacetan tersebut. Meski sedikit menguras kesabaran, namun kami tetap berusaha menjaga semangat dan niat baik dalam perjalanan ini, berharap bahwa kesulitan ini menjadi bagian dari ujian kesabaran dalam ziyaroh kami.

Akhirnya, setelah berusaha keluar dari kemacetan, kami tiba di pelataran Makam Sunan Muria. Perasaan lega dan penuh syukur kembali menyelimuti rombongan kami setelah sampai di tempat ini. Area Gunung Muria yang sejuk dan tenang menyambut kedatangan kami. Sebelum melanjutkan ritual ziyaroh, kami semua mengambil waktu untuk membersihkan diri. Beberapa di antara kami mandi, sementara yang lainnya berwudhu di area yang telah disediakan. Air yang mengalir dari pegunungan Muria terasa begitu segar, seolah memberikan kesucian dan ketenangan kepada tubuh dan jiwa kami yang telah menempuh perjalanan panjang.

Persiapan ini kami lakukan dengan penuh kesadaran bahwa mendekati maqom seorang wali haruslah dengan tubuh yang bersih dan hati yang suci. Sunan Muria dikenal sebagai wali yang sangat sederhana, dekat dengan masyarakat pegunungan, dan ajaran-ajarannya sangat meresap di hati masyarakat sekitar. Beliau adalah sosok yang rendah hati dan penuh kebijaksanaan, yang mengajarkan nilai-nilai Islam melalui pendekatan lokal dan kebudayaan masyarakat setempat.

Dengan tubuh yang bersih dan hati yang tenang, kami siap melanjutkan ziyaroh ke maqom Sunan Muria dan keluarganya, berharap memperoleh keberkahan dan bimbingan dari Allah SWT melalui perantara para wali-Nya yang mulia. Perjalanan ziyaroh ini tidak hanya memperdalam ikatan spiritual kami, tetapi juga memperkuat semangat kami untuk terus mengamalkan ajaran Islam yang damai dan penuh hikmah, seperti yang diajarkan oleh para wali Allah di tanah Jawa ini.


(Pangkalan Ojek Sunan Muria)

Setelah merasa cukup bersih dan siap untuk melanjutkan ziyaroh, kami segera bergegas menuju puncak Gunung Muria. Medan yang menantang membuat kami memilih menggunakan jasa ojek untuk mencapai puncak dengan lebih cepat. Inilah momen yang menghadirkan sensasi tersendiri dalam perjalanan ziyaroh kami—perjalanan naik ojek di Gunung Muria yang terkenal curam dan berliku.

Saat duduk di atas motor, kami berpegang erat pada joki ojek yang sudah sangat mahir melintasi jalur-jalur terjal pegunungan ini. Dengan kecepatan yang menegangkan, tukang ojek membawa kami melewati tanjakan-tanjakan curam dan tikungan tajam. Setiap tikungan membuat jantung kami berdebar lebih cepat, seolah-olah sedang melintasi jalur roller coaster alami. Beberapa dari kami tak kuasa menahan tawa bercampur adrenalin, meski tetap harus menjaga keseimbangan dan berdoa dalam hati agar perjalanan ini lancar tanpa hambatan.

Namun, di balik sensasi mendebarkan tersebut, keindahan alam kawasan Gunung Muria perlahan-lahan tersingkap di depan mata. Pemandangan hutan-hutan hijau yang rimbun, lembah-lembah yang menghampar, dan kabut tipis yang menyelimuti sebagian lereng gunung, seolah memanjakan pandangan kami di sepanjang perjalanan. Udara sejuk yang menyegarkan menjadi teman setia, memberikan ketenangan di tengah detak jantung yang berdegup kencang.

Keindahan alam ini begitu mempesona, seolah menjadi tanda kebesaran Allah yang tercermin dalam ciptaan-Nya. Gunung Muria yang menjadi rumah bagi salah satu wali besar, Sunan Muria, kini juga menghadirkan ketenangan spiritual dalam setiap tarikan napas kami. Di antara suara deru motor yang menderu kencang di tanjakan, kami masih bisa merasakan kedamaian yang luar biasa dari suasana pegunungan ini.

Setiap detik perjalanan mendaki Gunung Muria dengan ojek ini memberi kami pengalaman yang tak terlupakan. Meski sesekali kami harus menahan napas saat melewati tikungan tajam dengan kecepatan tinggi, ada rasa kagum yang tak terungkap ketika menyaksikan keindahan yang terpampang luas di depan mata. Di sela-sela canda tawa yang timbul karena sensasi mendebarkan, kami tetap merasakan keagungan dan keindahan ciptaan Allah yang tak tertandingi.


(Pintu Masuk Komplek Makam Sunan Muria)

Akhirnya, setelah melewati perjalanan yang mendebarkan namun penuh pesona ini, kami tiba di puncak Gunung Muria, tempat maqom Sunan Muria berada. Hati kami semakin dipenuhi oleh rasa syukur dan kekaguman, bukan hanya karena berhasil menempuh perjalanan yang menantang, tetapi juga karena kesempatan untuk menyambung silaturahmi spiritual dengan salah satu wali Allah yang penuh hikmah dan kesederhanaan. Kami pun siap melanjutkan ziyaroh dengan hati yang bersih dan semangat yang baru, meresapi setiap doa yang kami panjatkan di tempat yang penuh berkah ini.

Sesampainya di puncak Gunung Muria, kami semua bersama-sama memasuki kawasan makam dengan penuh khidmat. Langkah-langkah kami terasa lebih pelan, seolah diselimuti oleh aura kesucian dan kedamaian yang terpancar dari tempat tersebut. Maqom Sunan Muria, yang dikelilingi oleh alam pegunungan yang tenang, menghadirkan suasana yang sarat dengan ketenangan batin. Para peziarah, termasuk kami, memasuki area makam dengan hati penuh rasa hormat dan khusyuk.

Tanpa membuang waktu, kami mulai melaksanakan ritual ziyaroh dengan penuh keikhlasan. Setiap lantunan doa yang kami panjatkan terasa menyatu dengan hembusan angin pegunungan yang lembut. Kami memulai dengan membaca tahlil dan zikir, memohon ampunan dan ridho dari Allah SWT melalui perantaraan Sunan Muria dan keluarganya yang dimakamkan di sini. Di tengah keheningan malam, kami merasakan kehadiran spiritual yang kuat, seakan-akan doa-doa kami dihantarkan langsung kepada Sang Maha Kuasa.

Setelah tahlil selesai, kami melanjutkan dengan mujahadah bersama. Dalam suasana yang penuh dengan kesyahduan, setiap dari kami tenggelam dalam doa-doa pribadi. Ini adalah momen di mana kami memadu harapan dan meramu doa kepada Ilahi, memohon perlindungan, keberkahan, dan petunjuk dalam menjalani kehidupan. Di hadapan maqom wali Allah yang penuh berkah ini, kami memohon agar segala niat baik kami dikabulkan dan diberikan kemudahan oleh-Nya.

Harapan-harapan kami melangit, seperti doa-doa yang tak henti kami bisikkan dalam hati. Di tengah kesunyian Gunung Muria, kami menyerahkan segala urusan hidup kepada Allah, berharap agar keberkahan para wali Allah ini bisa membawa cahaya bagi jalan hidup kami. Setiap doa yang dipanjatkan terasa begitu tulus, mencerminkan keyakinan kami bahwa setiap langkah dalam ziyaroh ini adalah upaya mendekatkan diri kepada Sang Pencipta.

Momen mujahadah ini bukan hanya menjadi waktu untuk berdoa, tetapi juga saat untuk merenung. Kami merenungi perjalanan hidup, tantangan yang dihadapi, serta harapan yang ingin dicapai. Di sini, di depan makam Sunan Muria, kami menemukan ketenangan dalam doa, mengalirkan segala kegelisahan dan memohon bimbingan untuk menjadi pribadi yang lebih baik.

Setelah mujahadah dan doa bersama selesai, kami semua merasakan kedamaian yang luar biasa. Hati kami terasa lebih ringan, dipenuhi dengan rasa syukur dan harapan baru. Kami menyadari bahwa ziyaroh ini bukan hanya sekadar perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendalam—sebuah kesempatan untuk memperbaiki diri, memperkuat iman, dan memperbaharui semangat hidup di bawah ridho Allah SWT dan keberkahan para wali-Nya.

Setelah menyelesaikan seluruh rangkaian ritual di maqom Sunan Muria, kami menyempatkan berfoto-foto sejenak di area makam. Momen ini terasa begitu istimewa, karena di balik kesederhanaan ziyaroh, ada kebersamaan dan kekompakan yang terjalin kuat. Foto-foto yang diambil bukan sekadar dokumentasi perjalanan, melainkan kenangan spiritual yang kami bawa pulang—menjadi pengingat akan ketulusan doa yang dipanjatkan dan keberkahan yang dirasakan.

Ketika tiba saatnya untuk turun dari puncak Gunung Muria, kami terbagi menjadi dua kelompok. Saya, bersama Pak Kades Ngelo, memutuskan untuk tetap menggunakan ojek. Meski perjalanan naik sebelumnya cukup mendebarkan, kami merasa lebih praktis dan cepat dengan cara ini. Namun, sebagian besar peserta lainnya, terutama yang merasa sedikit trauma dengan pengalaman naik ojek yang menantang, memilih untuk turun dengan berjalan kaki. Mereka mengambil jalur menurun sambil menikmati keindahan alam Gunung Muria, yang terlihat lebih santai dari jalur pendakian.

Menuruni jalur pegunungan Muria dengan berjalan kaki memang menawarkan pengalaman yang berbeda. Selain lebih tenang, peserta yang memilih berjalan kaki juga sempat berhenti di beberapa kios oleh-oleh yang ada di sepanjang jalur turun. Mereka membeli suvenir khas daerah Muria, mulai dari makanan ringan hingga kerajinan tangan lokal, sebagai buah tangan untuk keluarga di rumah.

Sementara itu, saya dan Pak Kades melaju di atas ojek, kembali merasakan sensasi angin pegunungan yang dingin menyejukkan tubuh. Jalur menurun terasa lebih mudah bagi joki ojek, namun kami tetap menjaga keseimbangan dan berpegang erat, mengingat betapa curamnya jalur tersebut. Di antara perasaan lega dan kegembiraan, kami merenungi perjalanan ziyaroh yang sudah setengah jalan kami lalui.

Sesampainya di titik pertemuan di bawah, kami menunggu rombongan yang turun berjalan kaki sembari berbagi cerita tentang pengalaman masing-masing. Setelah semua kembali berkumpul, perjalanan kami lanjutkan ke tujuan berikutnya: Maqom Syekh Jangkung, yang terletak di Landoh, Kayen, Pati Selatan. Syekh Jangkung, atau Saridin, adalah tokoh legendaris yang memiliki kisah menarik dalam sejarah penyebaran Islam di Jawa. Selain Syekh Jangkung sendiri, keluarganya juga dimakamkan di area ini.

(Pintu Masuk Utara Komplek Makam Syaih Jangkung)

Perjalanan menuju maqom Syekh Jangkung diwarnai dengan keheningan batin, mungkin karena kami sudah melewati beberapa makam wali besar, dan rasa khusyuk serta syukur semakin dalam terasa. Kami memahami bahwa ziyaroh ini bukan hanya soal menghormati para wali, tetapi juga upaya untuk menguatkan diri dalam iman dan ketakwaan kepada Allah. Dengan hati yang penuh harapan dan jiwa yang semakin lapang, kami pun melanjutkan perjalanan ziyaroh ini, dengan niat untuk terus mendekatkan diri pada ridho-Nya.

Sesampainya di Maqom Syekh Jangkung, waktu telah beranjak ke puncak malam. Kegelapan langit yang pekat disertai udara dingin pegunungan memberikan nuansa syahdu yang mengiringi langkah kami. Karena waktu Isya' sudah masuk, kami memutuskan untuk melaksanakan sholat Isya’ berjamaah sebelum memulai ritual ziyaroh di maqom ini. Di tengah suasana hening dan khusyuk, kami bersiap-siap untuk berwudhu dan melaksanakan sholat dengan penuh kekhidmatan.

Sholat Isya’ berjamaah ini menjadi momen perenungan tersendiri bagi kami. Di tengah perjalanan panjang ini, sholat terasa sebagai titik penyegaran, baik secara fisik maupun spiritual. Setelah usai menunaikan kewajiban, kami segera bergerak menuju area makam Syekh Jangkung. Dengan langkah hati-hati dan rasa penuh hormat, kami memasuki kawasan suci tersebut.

Di depan maqom Syekh Jangkung, kami memulai mujahadah dan bermunajat kepada Allah SWT. Doa-doa kami terucap dengan hati yang tulus, mengalirkan harapan dan keluh kesah kepada Sang Penguasa Jagad Raya. Dalam keheningan malam, setiap lafaz zikir yang kami panjatkan seakan menyatu dengan alam sekitar. Kami memohon ampunan, rahmat, serta keberkahan dari Allah SWT melalui perantaraan Syekh Jangkung dan keluarga besarnya yang dimakamkan di sini.

Mujahadah ini, seperti ritual di maqom-maqom sebelumnya, memberikan kedamaian batin yang mendalam. Di tengah perjalanan ziyaroh ini, kami semua merasakan kebersamaan yang tak hanya terjalin secara fisik, tapi juga secara spiritual. Ada ketenangan dan harapan baru yang tumbuh setelah setiap doa terpanjatkan.

Setelah semua ritual selesai, kami menyempatkan diri untuk duduk sejenak dan merasakan kedamaian yang menyelimuti maqom ini. Rasa syukur terucap dari setiap hati karena diberi kesempatan untuk berziyaroh ke makam-makam wali Allah yang mulia.

Kemudian, kami bergegas untuk memulai perjalanan pulang. Rute yang kami pilih kali ini adalah melewati puncak Sukolilo hingga Purwodadi. Perjalanan malam itu terasa lebih hening, seolah menyisakan ruang untuk kami merenungi setiap momen yang telah kami lalui. Udara malam yang dingin menemani perjalanan kami, namun hati kami terasa hangat oleh pengalaman spiritual yang mendalam.

Alhamdulillah, setelah perjalanan panjang dan penuh keberkahan, kami tiba di rumah masing-masing menjelang waktu subuh. Rasa syukur tak henti-hentinya kami panjatkan kepada Allah SWT atas kelancaran ziyaroh ini. Dengan hati yang lebih tenang, iman yang semakin kuat, dan harapan yang baru, kami menutup perjalanan ini dengan doa, berharap bahwa semua keberkahan dan ridho Allah senantiasa menyertai kami dan keluarga.