Rabu, 23 Oktober 2024

"Debu di Tengah Pusaran Angin badai: Harapan Dalam Deru Pilu Kontestasi"

Ilustrasi situasi

Angin politik kian kencang berhembus. Pilkada yang dinanti perlahan mendekati hari H, membawa serta dinamika yang tak terelakkan. Di tengah hiruk-pikuk ini, keprihatinan menyusup dalam benak, terlebih saat melihat jam'iyah yang selama ini aku banggakan, kini mulai terguncang.

Para tokoh yang selama ini ku takdzimi, mereka yang menjadi panutan dalam segala kebijakan, kini bersitegang. Berbeda pandangan, berbeda kepentingan. Adakah yang lebih memilukan daripada melihat saudara seiman dan seperjuangan kini terlibat dalam pertikaian, mempertahankan argumen politik masing-masing? Mereka yang kukagumi kini saling berbantah, seakan lupa bahwa kita semua adalah satu kesatuan dalam jam'iyah yang sama.

Di satu sisi, ada yang berusaha mempertahankan kesepakatan politik demi menjaga keselamatan jam'iyah, meski harus menerima konsekuensi berat. Di sisi lain, ada yang merasa perlu mengawal aspirasi mereka, sebagai bentuk balas budi atas khidmah dan kebaikan di masa lalu. Aku? Aku hanyalah debu, terombang-ambing oleh badai situasi ini, tanpa daya untuk melawan.

Hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa semua ini kuserahkan. Semoga badai ini segera mereda, dan hati-hati yang terpecah kembali bersatu. Meski hatiku menangis, teriris menyaksikan kehancuran yang perlahan menggerogoti, aku tak punya kuasa untuk menghentikan semua ini.

Cukuplah diriku yang beberapa bulan lalu menjadi korban dari ego perpolitikan. Aku tak ingin melihat jam'iyah yang kucintai diterpa petaka. Meski suara ini hanyalah bisikan kecil di tengah kegaduhan, aku berharap semoga semuanya tetap baik-baik saja.

Namun, kenyataan kerap kali tak sejalan dengan harapan. Setiap langkah menuju pemilihan, setiap percakapan yang terlibat dalam kontestasi ini, kian menambah jarak di antara kita. Saudara-saudaraku yang dulu saling berbagi tawa dan doa, kini saling curiga. Mereka yang dulu satu barisan di belakang panji jam'iyah, kini terpecah dalam kepentingan politik yang tak seharusnya mengikis persaudaraan.

Aku merasa seperti saksi bisu yang terjebak di tengah konflik ini. Suara-suara keras yang saling bersahutan, janji-janji politik yang menggema di setiap sudut, semuanya hanya membuatku semakin terasing dalam diam. Apa yang bisa kulakukan? Hanya sebutir debu yang terombang-ambing dalam pusaran kepentingan dan ambisi, aku terlalu kecil untuk bisa menghentikan arus yang deras ini.

Namun, meski hati ini kian terkoyak melihat kenyataan, aku tetap menggantungkan seluruh harap kepada Tuhan. Dalam kesunyian doa, kutitipkan segalanya pada-Nya. Semoga perselisihan ini tak berlarut, semoga kesepakatan dan keikhlasan bisa kembali tumbuh, menyatukan kembali hati-hati yang kini terpisah oleh batas-batas perbedaan.

Aku tak ingin ada lagi yang menjadi korban, tak ingin ada lagi jiwa yang tergores akibat keegoisan manusia. Cukuplah aku yang merasakan pahitnya fitnah buta politik ini beberapa bulan lalu, biarlah aku yang menyimpan luka itu sendiri. Karena di tengah badai ini, aku hanya berharap—meski kecil harapanku—bahwa perdamaian, persaudaraan, dan keutuhan jam'iyah bisa kembali hadir, mengobati setiap luka yang telah tercipta.

Walau langit tampak gelap, walau awan hitam menggantung di atas kepala, aku masih percaya, dalam doaku yang lirih, bahwa cahaya akan kembali muncul. Semoga, dengan izin-Nya, kita bisa kembali merasakan damai di bawah naungan jam'iyah yang kita cintai.

Suara lirihku terus mengalun "dari tengah belantara, harap ku lambungkan, dan do'a ku senandungkan semoga airmata cukuplah membasuh dosa bukan membasuh saudara".

Dari tengah belantara yang kian pekat, di antara riuhnya suara perpecahan, aku hanya bisa melambungkan harapan. Harapan yang mungkin terdengar samar, di tengah bisingnya pertikaian, tapi kupegang erat, agar tak hilang ditelan kekacauan. Seiring dengan harapan itu, doaku terus senandungkan, permohonan agar kiranya Tuhan mendengar lirihnya jiwa yang lelah.

Semoga air mata yang jatuh, bukanlah tanda kehancuran, melainkan penawar bagi dosa-dosa kita. Bukan untuk membasuh saudara dari hubungan yang dulu erat, melainkan untuk membersihkan hati yang telah disebabkan oleh ambisi dan ego. Aku berharap, dalam tangisan ini, ada kelegaan, ada maaf yang terbit, dan ada perdamaian yang mulai perlahan ke dalam jiwa-jiwa yang sedang panas.

Kita semua pernah bersujud bersama, melafalkan doa yang sama, di bawah langit yang sama. Kini, saat politik terpecah belah, betapa inginku agar sujud itu kembali menyatukan kita. Bukan perpecahan yang menguatkan, melainkan kasih dan kebersamaan yang dulu kita banggakan sebagai ikatan jam'iyah ini. Ah, betapa air mata ini ingin membasuh dosa, bukan memisahkan saudara.

Di atas segala yang terjadi, aku percaya, masih ada jalan untuk kembali. Aku hanya berharap, meski tak banyak yang bisa kulakukan, bahwa kita semua dapat merasakan kembali kedamaian, di mana kita kembali bersaudara, dalam naungan cinta yang tak beragam oleh warna-warna politik.

Rabu, 09 Oktober 2024

Mewakili Pak Naib yang Sedang Tugas Luar Kota

Sambutan Mewakili Pak Naib

Hari ini, Rabu, 09 September 2024, sebuah tugas mulia dan penuh tanggung jawab hadir di hadapan saya. Dalam suasana hangat dan penuh harapan, saya diberi amanah untuk mewakili Bapak Kepala KUA Margomulyo dalam acara Lomba Keluarga Sakinah. Momen ini tidak hanya sekadar seremonial, melainkan sebuah refleksi atas upaya kita dalam menciptakan keluarga yang bahagia dan harmonis.

Namun, di balik kebahagiaan ini, ada kabar yang menyentuh hati. Bapak Naib, sosok yang selalu menjadi teladan dalam pelayanan dan kepemimpinan, tidak dapat hadir. Ia tengah mengikuti Uji Kompetensi Penghulu di Kanwil Kementerian Agama Jawa Timur. Meski jarak memisahkan, semangat dan pesan beliau senantiasa mengalir dalam setiap detak jantung acara ini.

Saat tiba di hadapan hadirin, sebelum sambutan resmi dari panitia, saya diamanahi untuk memimpin doa pembuka. Dalam keheningan dan ketulusan, kami mengangkat tangan, memohon kepada Allah agar acara ini diberkahi dan setiap peserta diberikan kekuatan untuk terus berjuang membangun keluarga sakinah.

Setelah doa, saya menyampaikan sambutan dengan penuh rasa syukur. Selain menyampaikan pesan-pesan hangat dari Bapak Naib, saya tak lupa menyampaikan sepatah dua kata tentang konsep dasar keluarga sakinah. Dengan lembut, saya berbagi dengan para peserta bahwa esensi dari keluarga sakinah adalah kemampuan kita untuk istiqomah mencintai pasangan kita. Sebuah cinta yang tak mengenal batas waktu, tempat, atau keadaan. Cinta yang terukir dalam setiap detik perjalanan hidup, dalam suka maupun duka, dalam tawa dan air mata.

“Saudara-saudara,” saya melanjutkan, “marilah kita tanamkan dalam diri kita, bahwa cinta sejati adalah tentang komitmen. Setiap hari kita berusaha untuk saling mencintai, mendukung, dan memahami satu sama lain. Dalam keadaan apapun, bagaimanapun, dan kapanpun, mari kita jadikan cinta sebagai jembatan yang menghubungkan hati kita.”

Dengan semangat ini, saya berharap setiap peserta dapat meresapi arti sejati dari keluarga sakinah dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Acara pun dimulai, dengan harapan dan doa yang mengalir dalam setiap langkah kita menuju keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.

Suasana acara perlahan semakin syahdu. Setiap peserta hadir dengan semangat yang membara, namun hati mereka tetap teduh, selaras dengan pesan-pesan cinta yang telah disampaikan. Dalam perlombaan ini, bukan hanya kompetisi yang menjadi fokus, melainkan pembelajaran akan nilai-nilai luhur yang membentuk keluarga sakinah.

Saya duduk di barisan tamu undangan, memperhatikan setiap keluarga yang tampil dengan bangga, membawa nilai-nilai kebersamaan, kasih sayang, dan keikhlasan. Dari wajah mereka, terpancar harapan untuk menjadi teladan bagi keluarga-keluarga lain, menginspirasi lingkungan mereka agar selalu berpegang pada prinsip-prinsip agama dalam setiap aspek kehidupan rumah tangga.

Setiap keluarga yang berpartisipasi menampilkan keindahan rumah tangga yang dibangun di atas pondasi cinta dan komitmen. Ada yang berbagi kisah tentang bagaimana mereka menghadapi ujian hidup, mengatasi perbedaan, hingga menjaga keharmonisan meski dalam keterbatasan. Di tengah-tengah semua itu, saya merenung dan tersenyum. Betapa indahnya ketika cinta diikat dengan keimanan, diperkuat dengan ketakwaan, dan dijaga dengan kesabaran.

Acara ini bukan sekadar perlombaan untuk mencari pemenang, tapi sebuah kesempatan untuk menegaskan kembali bahwa keluarga sakinah bukanlah sesuatu yang hadir begitu saja. Ia perlu diperjuangkan dengan tekad dan keyakinan. Sebagaimana cinta yang istiqomah, keluarga sakinah dibangun dengan konsistensi mencintai, memahami, dan saling mendukung, tidak hanya saat bahagia, tetapi juga ketika menghadapi badai kehidupan.

Sambil menyimak para peserta, saya teringat kembali akan pentingnya doa yang telah saya panjatkan di awal acara. Bahwa hanya dengan rahmat dan ridha Allah-lah, kita bisa menjaga keutuhan keluarga kita. Karena itu, saya berharap setiap keluarga yang hadir hari ini dapat membawa pulang pelajaran yang lebih dari sekadar kemenangan lomba—yakni pemahaman akan makna sejati keluarga sakinah.

Ketika acara mulai berakhir, saya merasakan kehangatan hati. Semua keluarga yang hadir hari ini adalah pemenang, bukan karena trofi yang mereka bawa pulang, tapi karena mereka telah memilih jalan untuk membangun keluarga yang penuh cinta dan harmoni, sesuai dengan ajaran Islam. Sebuah keluarga yang mampu menjadi cahaya bagi lingkungan dan masyarakat sekitarnya.

Dengan penuh syukur, saya menyadari bahwa pesan tentang keluarga sakinah yang saya sampaikan tadi bukan hanya kata-kata. Itu adalah doa dan harapan bagi setiap kita, bahwa di setiap rumah tangga yang dibangun di atas pondasi cinta, keimanan, dan keikhlasan, keluarga sakinah, mawaddah, dan rahmah akan selalu tumbuh dan berkembang.

Hari ini adalah bukti bahwa setiap kita mampu mewujudkannya dengan cinta yang istiqomah, dan dengan doa yang tak pernah putus.

Senin, 07 Oktober 2024

"Petualangan Sore Syafiq: Menemukan Sejarah di Alun-alun Demak"

Syafiq di Halaman Masjid Demak
"Sore itu, suasana di alun-alun Masjid Demak Bintoro terasa begitu damai. Di antara orang-orang yang berlalu lalang, tampak seorang anak kecil bernama Syafiq yang sedang menikmati waktu santainya. Dengan wajah polos dan senyum lebar, Syafiq berlarian di sekitar alun-alun, sesekali berhenti untuk mengagumi keindahan arsitektur Masjid Agung Demak yang megah.

Sinar matahari sore membelai lembut wajah Syafiq, menciptakan bayangan panjang di atas rumput hijau alun-alun. Suara azan Maghrib sayup-sayup terdengar, menambah kekhusyukan suasana. Syafiq, dengan mata berbinar, memandang ke arah menara masjid, seolah terpesona oleh keagungan bangunan bersejarah itu.

Momen ini menjadi potret indah yang menggambarkan keceriaan masa kanak-kanak Syafiq, berpadu dengan ketenangan spiritual yang terpancar dari lingkungan sekitar Masjid Demak Bintoro. Sebuah kenangan manis yang pasti akan selalu diingat Syafiq ketika ia beranjak dewasa nanti."

Narasi ini dibuat berdasarkan gambaran umum yang Anda berikan. Jika Anda ingin narasi yang lebih spesifik atau berbeda, silakan berikan detail tambahan dan saya akan dengan senang hati membantu menyusun narasi baru.

"Saat Syafiq asyik bermain, ia tak sengaja bertemu dengan seorang kakek yang sedang duduk di salah satu bangku taman. Kakek itu tersenyum ramah dan memanggil Syafiq. Dengan rasa ingin tahu yang besar, Syafiq menghampiri sang kakek.

'Nak, maukah kamu mendengar sebuah cerita?' tanya kakek itu lembut. Syafiq mengangguk antusias, lalu duduk di samping kakek tersebut.

Sang kakek mulai bercerita tentang sejarah Masjid Agung Demak, tentang bagaimana masjid itu dibangun oleh Wali Songo, dan tentang peran pentingnya dalam penyebaran Islam di tanah Jawa. Syafiq mendengarkan dengan seksama, matanya berbinar-binar mendengar kisah-kisah heroik dan penuh hikmah.

Tanpa terasa, langit mulai gelap dan lampu-lampu di sekitar alun-alun mulai menyala. Orang tua Syafiq yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan, akhirnya menghampiri. Mereka mengucapkan terima kasih kepada kakek itu dan mengajak Syafiq pulang.

Dalam perjalanan pulang, Syafiq tak henti-hentinya bercerita tentang apa yang ia pelajari hari itu. Pengalaman sederhana di sore hari di alun-alun Masjid Demak Bintoro telah memberikan Syafiq tidak hanya kegembiraan, tetapi juga pengetahuan dan apresiasi terhadap warisan budaya dan sejarah Islam di Indonesia.

Hari itu menjadi salah satu kenangan indah bagi Syafiq, sebuah momen yang mungkin akan membekas dalam ingatannya dan membentuk rasa cintanya terhadap sejarah dan budaya bangsanya sendiri."

Kamis, 03 Oktober 2024

"Hujan dan Kenangan: Ngopi Sore di Ngluwah"

(Foto Hanya Pemanis cerita)

Sore itu, langit baru saja berhenti menangis setelah hujan lebat yang mengguyur Dusun Jipangulu sejak siang. Udara masih basah oleh embun yang menggantung di daun-daun, dan tanah pun masih lembab, menyimpan jejak-jejak rintik air yang membasuh bumi. Dusun yang kini tengah menjadi bagian dari proyek besar pembangunan Bendungan Karang Nongko, menyisakan ketenangan yang syahdu saat matahari senja perlahan tenggelam di ufuk barat.


Di tepi dusun, ada sebuah kawasan yang dulu kami kenal sebagai "Ngluwah". Ngluwah tak lain adalah sebuah hutan kecil di pinggiran desaku. Hutan itu, bagi kami anak-anak desa, bukan hanya sekadar rimbunan pepohonan dan semak belukar, tapi sebuah arena kehidupan. Di sanalah kami bermain, berlari, tertawa, menggembala kambing, dan sesekali menantang diri memanjat pohon tertinggi. Setiap jengkal tanah di sana seolah menyimpan guratan cerita masa kecil kami, kenangan yang tak pernah pudar meski waktu terus berputar.


Namun kini, Ngluwah tak lagi sama. Perubahan telah merangkulnya dalam wujud yang baru. Kanan dan kiri jalan menuju Ngluwah berdiri warung-warung kecil, milik para tetangga dan teman-teman masa kecilku yang mencoba menghidupi keluarga dengan usaha UMKM. Di antara bangunan-bangunan sederhana itu, terasa betapa kehidupan terus berjalan, menciptakan peluang baru di tengah perubahan yang tak terhindarkan.


Selepas magrib, aku dan Mas Aris, Bujang Jiapangulu yang sedang menanti qudrot Illahi datangnya Bidadari, memutuskan untuk singgah di sebuah warung milik Pak Kades. Warung itu sederhana, tapi ada kehangatan yang tak bisa dibeli dengan uang di sana. Di meja kayu unik sebagai saksi sore ini, secangkir kopi panas mengepul di depan kami. Aroma kopi yang khas menguar, membawa serta kenangan masa lalu yang kembali terlintas di benakku.


"Ngluwah memang sudah banyak berubah, ya?" gumamku sambil menyeruput kopi pelan.


Mas Aris mengangguk pelan, matanya menerawang jauh ke arah pepohonan yang masih tersisa di ujung sana. "Iya, tapi kenangannya nggak pernah berubah. Rasanya baru kemarin kita main dan mengumbar tawa di sini."


Aku tersenyum tipis, menyadari betapa waktu telah mengubah banyak hal di sekitar kami, tapi kenangan itu tetap utuh, tersimpan rapi di dalam hati. Di tengah segala perubahan, ada sesuatu yang tak bisa disentuh oleh waktu, yaitu perasaan dan memori yang terukir dari masa kecil. Kopi sore itu seolah menjadi pengantar bagi kami untuk kembali meresapi masa lalu, meski hanya sejenak, sebelum kembali berhadapan dengan kenyataan yang terus bergerak maju.


Ngopi di Ngluwah, di bawah langit yang perlahan mulai gelap, diiringi suara jangkrik dan riuh rendah kehidupan malam dusun, menjadi momen yang begitu syahdu. Rasanya seperti melintasi batas waktu, berdamai dengan perubahan, dan mensyukuri setiap langkah yang telah diambil dalam perjalanan hidup ini.


Di sini, di antara tegukan kopi yang hangat, aku menemukan ketenangan. Ketenangan yang hanya bisa dirasakan di tempat yang penuh dengan kenangan, di mana setiap sudutnya pernah menjadi saksi bisu perjalanan hidupku.


Selain Mas Aris, Pak Lurah tiba-tiba ikut merapat menghampiri kami. Beliau dengan senyumnya yang ramah membawa secangkir kopi yang baru saja dibuat di warungnya sendiri, kemudian duduk di sebelah kami. Kehadirannya menambah hangat suasana sore yang perlahan mulai berubah gelap. Obrolan kami, yang semula hanyut dalam kenangan masa kecil, beralih menjadi bincang-bincang ringan yang mengalir santai.


"Eh, gimana kabar kalian berdua?" tanya Pak Lurah, menyelipkan pertanyaan yang terdengar akrab, seperti seorang teman lama yang tak pernah berjarak.


"Baik, Pak. Habis capek muter-muter proyek bendungan, sekarang ngopi dulu," jawab Mas Aris sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk kecil, membenarkan jawaban Mas Aris.


Obrolan pun berlanjut, membahas beberapa hal aktual yang sedang terjadi di desa. Dari proyek bendungan yang terus berjalan, hingga isu-isu kecil di kampung, semuanya kami bahas dengan santai. Namun, di tengah topik yang cukup serius itu, sesekali tawa kami pecah karena candaan-candaan ringan yang mewarnai percakapan. Suasana menjadi semakin hangat, seolah tak ada jarak antara kami bertiga, meski Pak Lurah adalah pemimpin desa.


"Oh iya, tadi aku pulang kehujanan, padahal cuma beberapa meter dari sini," cerita Pak Lurah tiba-tiba, mengubah topik dengan kisah yang baru saja dialaminya.


Aku dan Mas Aris langsung tertawa mendengarnya. Pak Lurah ikut tertawa, sambil menggelengkan kepala seolah tak percaya dirinya bisa begitu apes.


"Tadi habis belanja buat warung, sudah mendung, tapi kupikir hujan nggak bakal deras. Eh, ternyata baru jalan sebentar, hujan turun lebat sekali!" lanjut Pak Lurah dengan ekspresi lucu.


Mas Aris terkekeh, "Untung nggak sampai masuk angin, Pak. Hujan tadi deras banget, lho. Aku aja sampai nggak bisa lihat jelas jalan."


"Iya, makanya. Untung nggak jauh-jauh amat. Kalau nggak, bisa basah kuyup kayak orang baru saja nyemplung kali," sahut Pak Lurah, mencoba bercanda dengan wajah yang masih sedikit mengernyit mengingat kejadian tadi.


Kisah kehujanan Pak Lurah itu membuat suasana semakin cair. Tawa kami bersahutan di antara desiran angin malam yang mulai menyentuh lembut kulit. Di tengah gelapnya malam yang perlahan semakin menelan senja, percakapan kami seolah menjadi pengisi kekosongan, menciptakan momen sederhana yang penuh kebersamaan.


Kami tak membahas hal-hal besar yang mungkin bisa mengubah dunia, tapi di situ ada kehangatan yang tak bisa diukur dengan materi. Ada canda, tawa, dan cerita yang membuat kami merasa kembali muda—kembali seperti anak-anak yang dulu bermain bebas di Ngluwah, tanpa beban kehidupan dewasa yang kini ada di pundak masing-masing.


"Yah, hidup memang seperti hujan, nggak bisa ditebak kapan datangnya," ucap Pak Lurah sambil tersenyum bijak. Aku dan Mas Aris hanya bisa tersenyum mendengar pernyataan sederhana itu, tapi terasa begitu dalam.


Ngopi sore di Ngluwah, dengan segelas kopi dan cerita ringan di antara teman lama, menjadi pengingat betapa indahnya momen-momen kecil seperti ini—momen yang seringkali terlupakan di tengah hiruk-pikuk kehidupan yang kian cepat bergerak.