Para tokoh yang selama ini ku takdzimi, mereka yang menjadi panutan dalam segala kebijakan, kini bersitegang. Berbeda pandangan, berbeda kepentingan. Adakah yang lebih memilukan daripada melihat saudara seiman dan seperjuangan kini terlibat dalam pertikaian, mempertahankan argumen politik masing-masing? Mereka yang kukagumi kini saling berbantah, seakan lupa bahwa kita semua adalah satu kesatuan dalam jam'iyah yang sama.
Di satu sisi, ada yang berusaha mempertahankan kesepakatan politik demi menjaga keselamatan jam'iyah, meski harus menerima konsekuensi berat. Di sisi lain, ada yang merasa perlu mengawal aspirasi mereka, sebagai bentuk balas budi atas khidmah dan kebaikan di masa lalu. Aku? Aku hanyalah debu, terombang-ambing oleh badai situasi ini, tanpa daya untuk melawan.
Hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa semua ini kuserahkan. Semoga badai ini segera mereda, dan hati-hati yang terpecah kembali bersatu. Meski hatiku menangis, teriris menyaksikan kehancuran yang perlahan menggerogoti, aku tak punya kuasa untuk menghentikan semua ini.
Cukuplah diriku yang beberapa bulan lalu menjadi korban dari ego perpolitikan. Aku tak ingin melihat jam'iyah yang kucintai diterpa petaka. Meski suara ini hanyalah bisikan kecil di tengah kegaduhan, aku berharap semoga semuanya tetap baik-baik saja.
Namun, kenyataan kerap kali tak sejalan dengan harapan. Setiap langkah menuju pemilihan, setiap percakapan yang terlibat dalam kontestasi ini, kian menambah jarak di antara kita. Saudara-saudaraku yang dulu saling berbagi tawa dan doa, kini saling curiga. Mereka yang dulu satu barisan di belakang panji jam'iyah, kini terpecah dalam kepentingan politik yang tak seharusnya mengikis persaudaraan.
Aku merasa seperti saksi bisu yang terjebak di tengah konflik ini. Suara-suara keras yang saling bersahutan, janji-janji politik yang menggema di setiap sudut, semuanya hanya membuatku semakin terasing dalam diam. Apa yang bisa kulakukan? Hanya sebutir debu yang terombang-ambing dalam pusaran kepentingan dan ambisi, aku terlalu kecil untuk bisa menghentikan arus yang deras ini.
Namun, meski hati ini kian terkoyak melihat kenyataan, aku tetap menggantungkan seluruh harap kepada Tuhan. Dalam kesunyian doa, kutitipkan segalanya pada-Nya. Semoga perselisihan ini tak berlarut, semoga kesepakatan dan keikhlasan bisa kembali tumbuh, menyatukan kembali hati-hati yang kini terpisah oleh batas-batas perbedaan.
Aku tak ingin ada lagi yang menjadi korban, tak ingin ada lagi jiwa yang tergores akibat keegoisan manusia. Cukuplah aku yang merasakan pahitnya fitnah buta politik ini beberapa bulan lalu, biarlah aku yang menyimpan luka itu sendiri. Karena di tengah badai ini, aku hanya berharap—meski kecil harapanku—bahwa perdamaian, persaudaraan, dan keutuhan jam'iyah bisa kembali hadir, mengobati setiap luka yang telah tercipta.
Walau langit tampak gelap, walau awan hitam menggantung di atas kepala, aku masih percaya, dalam doaku yang lirih, bahwa cahaya akan kembali muncul. Semoga, dengan izin-Nya, kita bisa kembali merasakan damai di bawah naungan jam'iyah yang kita cintai.
Suara lirihku terus mengalun "dari tengah belantara, harap ku lambungkan, dan do'a ku senandungkan semoga airmata cukuplah membasuh dosa bukan membasuh saudara".
Dari tengah belantara yang kian pekat, di antara riuhnya suara perpecahan, aku hanya bisa melambungkan harapan. Harapan yang mungkin terdengar samar, di tengah bisingnya pertikaian, tapi kupegang erat, agar tak hilang ditelan kekacauan. Seiring dengan harapan itu, doaku terus senandungkan, permohonan agar kiranya Tuhan mendengar lirihnya jiwa yang lelah.
Semoga air mata yang jatuh, bukanlah tanda kehancuran, melainkan penawar bagi dosa-dosa kita. Bukan untuk membasuh saudara dari hubungan yang dulu erat, melainkan untuk membersihkan hati yang telah disebabkan oleh ambisi dan ego. Aku berharap, dalam tangisan ini, ada kelegaan, ada maaf yang terbit, dan ada perdamaian yang mulai perlahan ke dalam jiwa-jiwa yang sedang panas.
Kita semua pernah bersujud bersama, melafalkan doa yang sama, di bawah langit yang sama. Kini, saat politik terpecah belah, betapa inginku agar sujud itu kembali menyatukan kita. Bukan perpecahan yang menguatkan, melainkan kasih dan kebersamaan yang dulu kita banggakan sebagai ikatan jam'iyah ini. Ah, betapa air mata ini ingin membasuh dosa, bukan memisahkan saudara.
Di atas segala yang terjadi, aku percaya, masih ada jalan untuk kembali. Aku hanya berharap, meski tak banyak yang bisa kulakukan, bahwa kita semua dapat merasakan kembali kedamaian, di mana kita kembali bersaudara, dalam naungan cinta yang tak beragam oleh warna-warna politik.