Rabu, 21 Agustus 2024

"Jejak Doa di Bawah Langit Senja: Sebuah Perjalanan, Harapan dan Keberkahan"

Ziyaroh Kerumah Ustd. Luqman

Hari ini, Selasa 20 Agustus 2024, adalah hari yang penuh makna dalam perjalanan hidupku. Di bawah langit biru yang seolah ikut merestui setiap langkahku, aku memulai perjalanan menuju desa Trucuk, Kabupaten Bojonegoro, untuk berziyarah ke rumah seorang sahabat yang baru saja pulang dari tanah suci, menunaikan ibadah Umroh. 


Perjalanan ini terasa istimewa, bukan hanya karena tujuan mulia yang kami niatkan, tetapi juga karena kebersamaan yang terjalin di antara kami berempat—aku, Pak Sigit, Pak Sareh, dan Gus Aly. Dalam perjalanan yang memakan waktu hampir dua jam itu, setiap detik terasa begitu berharga, diiringi percakapan ringan dan canda tawa yang tak lekang oleh waktu.


Sesampainya di rumah sahabatku, Ustadz Luqman dan istrinya, Ustadzah Muthoharotun Nisa', kami disambut dengan penuh kehangatan. Senyum tulus yang terpancar dari wajah mereka seolah menghapus lelah perjalanan. Di ruang tamu yang sederhana namun penuh berkah, kami duduk bersila, mendengarkan cerita-cerita religius yang dibagikan oleh Gus Luqman. Suaranya yang teduh membawa kami seakan ikut serta dalam setiap langkahnya di tanah suci, menapaki jejak-jejak spiritual yang mendalam, menguatkan iman, dan mempertebal rasa syukur.


Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah hikmah, setiap cerita yang disampaikan adalah pelajaran berharga tentang kebesaran-Nya. Dalam satu jam yang terasa begitu singkat, kami larut dalam keheningan yang penuh makna, merenungi perjalanan hidup dan bagaimana setiap langkah kita adalah bagian dari rencana besar yang telah digariskan oleh-Nya.


Akhirnya, tibalah saatnya kami berpamitan. Dengan hati yang penuh rasa syukur, kami meninggalkan rumah sahabatku, membawa pulang bukan hanya kenangan, tetapi juga inspirasi dan semangat baru untuk melanjutkan perjalanan hidup ini. Perjalanan pulang yang dilalui dalam senja yang mulai meredup, menutup hari ini dengan indah—sebuah hari yang tak akan terlupakan dalam jejak kehidupan yang terus bergulir.


Dalam perjalanan pulang, suara angin yang berdesir di antara pepohonan seolah menjadi irama pengantar renungan. Di dalam mobil, kami tak banyak bicara, seolah setiap dari kami tenggelam dalam pikiran masing-masing, meresapi makna dari perjalanan yang baru saja kami lalui.


Pikiranku melayang pada setiap kisah yang disampaikan oleh Gus Luqman. Bagaimana ia menceritakan tentang tawaf di Ka'bah dengan penuh khusyuk, seakan waktu berhenti dan dunia hanya berpusat pada putaran yang penuh makna itu. Ia berbicara tentang keheningan di Arafah yang menyentuh relung jiwa, mengajarkan bahwa ketenangan sejati hanya bisa didapatkan saat kita benar-benar menyerahkan diri pada-Nya. Dan tentang sai di antara Safa dan Marwah, yang mengingatkan kita bahwa hidup ini adalah perjalanan tanpa henti, perjuangan yang tak mengenal kata menyerah.


Setiap kisahnya mengajarkanku banyak hal, bahwa dalam hidup ini, ada saatnya kita harus berhenti sejenak, merenung, dan mengambil hikmah dari setiap perjalanan yang telah kita lalui. Bukan hanya untuk memperkaya batin, tetapi juga untuk menjadi pribadi yang lebih baik, lebih dekat kepada-Nya, dan lebih memahami arti dari setiap langkah yang kita ambil.


Mentari semakin memuncak ketika kami akhirnya tiba di rumah masing-masing. Namun, kehangatan yang kami bawa dari perjalanan hari ini masih terasa, seperti bara yang tetap menyala di dalam hati. Aku tahu, bahwa hari ini bukan sekadar perjalanan fisik menuju desa Trucuk, tetapi juga perjalanan spiritual yang mendekatkan aku kepada Tuhan, kepada sahabat, dan kepada diriku sendiri.


Dan di akhir hari, saat mata ini perlahan terpejam, aku berdoa semoga setiap langkah yang kuambil ke depan akan selalu diberkahi oleh-Nya, sebagaimana perjalanan hari ini yang penuh dengan makna, cinta, dan kebersamaan. Inilah perjalanan hidup, yang tak selalu mudah, tetapi selalu penuh dengan keindahan dan pelajaran, jika kita mau membuka hati dan melihatnya dengan mata jiwa.

Memberikan Potongan Tumpeng Kepada Pak Hendra

Sesampainya di rumah sekitar pukul 12.00 siang, aku langsung menunaikan sholat Dhuhur dengan khusyuk, meresapi setiap doa yang kuucapkan, memohon keberkahan untuk hari yang panjang ini. Setelahnya, aku berbaring sejenak, mencoba merilekskan badan yang mulai terasa letih oleh perjalanan tadi pagi. Namun, istirahatku tak berlangsung lama, karena pada pukul 15.00 ada undangan yang harus kuhadiri—sebuah acara penting dari PT Waskita.


Sekitar pukul 14.00, istriku dengan lembut membangunkanku dari tidur siangku. Dengan senyuman yang penuh perhatian, ia mengingatkan bahwa saatnya untuk bersiap-siap. Aku segera menuju kamar mandi, air yang mengalir membasuh wajahku seolah membawa kesegaran baru, mempersiapkan diri untuk tugas berikutnya. Setelah mandi, aku meluangkan waktu sejenak untuk bermujahadah, menyerahkan seluruh rencana hari ini kepada Allah SWT, memohon kekuatan agar setiap langkah yang kuambil dipenuhi dengan keberkahan-Nya.


Tepat ketika adzan Asar berkumandang, aku mengambil wudhu dan melaksanakan sholat Asar dengan penuh kekhusyukan. Di dalam doa, aku memohon perlindungan dan kemudahan, mengharap setiap usaha yang kulakukan hari ini dapat menjadi amal yang diridhai-Nya. Tak lama setelah aku selesai sholat, suara mobil yang dikemudikan oleh Mas Ngadimen, utusan dari PT Waskita, terdengar memasuki halaman rumah. 


Aku berpamitan kepada istriku dan anak-anak, memeluk mereka dengan penuh kasih, dan kemudian melangkah keluar rumah dengan penuh keyakinan. Perjalanan menuju kawasan proyek Pengecoran Bendungan Karangnongko terasa tenang, pikiranku sudah mulai mempersiapkan diri untuk acara yang akan dihadiri.


Sesampainya di sana, aku disambut hangat oleh Pak Hendra, kontraktor utama proyek ini. Sebelum acara resmi dimulai, kami sempat berbincang tentang banyak hal—tentang proyek ini, tantangan yang dihadapi, hingga harapan-harapan ke depan. Pak Hendra adalah sosok yang berdedikasi tinggi, dan dari percakapan kami, terasa jelas bahwa ia sangat ingin proyek ini berjalan dengan lancar dan sukses.


Ketika tiba waktunya, aku diminta untuk memimpin doa. Dengan penuh rasa syukur dan rendah hati, aku menyampaikan hajat kami kepada Allah SWT, memohon agar setiap orang yang terlibat dalam pembangunan bendungan ini senantiasa diberi keselamatan, dan semoga hasil dari pekerjaan ini membawa berkah bagi semua umat. Setelah doa selesai, aku diberi kehormatan untuk memotong tumpeng, sebuah simbol keberhasilan dan harapan baik untuk masa depan. Potongan tumpeng pertama aku serahkan kepada Pak Hendra, sebagai tanda kerjasama yang erat dan saling mendukung.


Setelah semua rangkaian acara selesai, aku berpamitan dengan Pak Hendra, berterima kasih atas sambutan dan kerjasamanya yang baik. Perjalanan pulang kali ini terasa ringan, bukan hanya karena acara yang berjalan lancar, tetapi juga karena doa-doa yang terucap hari ini, yang kuharap menjadi bagian dari setiap keberhasilan yang akan datang.


Dalam perjalanan pulang dari proyek Pengecoran Bendungan Karangnongko, suasana hati terasa tenteram. Setiap detik yang berlalu di hari ini membawa makna yang dalam, seolah-olah setiap langkah telah diatur dengan penuh kehati-hatian oleh-Nya. Mobil yang dikendarai Mas Ngadimen melaju dengan tenang di bawah langit sore yang mulai merona, menyisakan perenungan yang mendalam dalam pikiranku.


Aku merenung, bagaimana setiap kejadian di hari ini terjalin dalam satu kesatuan yang harmonis. Dari ziarah ke rumah sahabat yang baru pulang dari Umroh, hingga memimpin doa di proyek bendungan—semuanya membawa pesan tentang pentingnya menjaga niat yang lurus dan tulus dalam setiap tindakan. Doa yang kuucapkan tadi, aku yakini telah membawa keberkahan tidak hanya bagi mereka yang bekerja di proyek itu, tetapi juga bagi keluargaku dan diriku sendiri. 


Sesampainya di rumah, senja telah beranjak menuju malam. Istriku menyambutku di depan pintu dengan senyum hangat, dan anak-anak berlari menyongsongku dengan riang. Kehangatan keluarga ini adalah anugerah yang tiada tara, menghapus lelah dan menyegarkan jiwa. Dalam kebersamaan ini, aku merasa setiap tantangan yang kuhadapi sepanjang hari terbayar lunas oleh cinta dan perhatian yang mereka berikan.


Malam itu, setelah makan malam bersama, aku menyempatkan diri untuk duduk di ruang keluarga, berbicara dengan istriku tentang semua yang terjadi hari ini. Ia mendengarkan dengan penuh perhatian, seperti biasa, menjadi tempatku berbagi segala cerita, kegelisahan, dan harapan. Dalam percakapan kami, aku merasakan betapa pentingnya peran keluarga dalam menjaga keseimbangan hidupku. Mereka adalah pilar yang selalu menopangku, menguatkan saat lelah, dan menghibur saat hati terasa berat.


Sebelum tidur, aku merenungkan semua yang telah terjadi. Hari ini, lebih dari sekadar aktivitas yang padat, adalah tentang bagaimana aku mencoba untuk selalu melibatkan Allah dalam setiap langkahku, dalam setiap niatku. Dan aku bersyukur, karena di setiap perjalanan yang kujalani, selalu ada cahaya-Nya yang menuntun, memberikan kekuatan dan kedamaian.


Malam itu, aku tidur dengan hati yang penuh syukur. Hari yang panjang ini, meski melelahkan, telah mengajarkanku bahwa hidup adalah tentang terus bergerak maju dengan keyakinan, dan bahwa setiap doa yang kita panjatkan dengan tulus akan selalu menemukan jalannya untuk dikabulkan. Besok, hari baru akan datang, dan aku siap untuk menyambutnya dengan penuh semangat, membawa pelajaran hari ini sebagai bekal untuk langkah-langkah berikutnya.

Senin, 12 Agustus 2024

"Jejak Rindu dan Cinta di Antara Dua Pesantren: Doa dan Harapan Meraih Ilmu Yang Barokah"


Ahad, 11 Agustus 2024 - Pagi itu, sekitar pukul delapan, kami sekeluarga bersiap untuk memulai perjalanan menuju dua pesantren yang penuh kenangan, Lirboyo di Kediri dan Sabilun Najah di Bojonegoro. Dalam satu mobil, kami menyusuri jalur Jipangulu - Watujago Ngawi, sebuah jalan desa yang kini telah bertransformasi menjadi jalan cor beton yang halus, dibangun dengan ketekunan pemerintah di tengah hutan yang lebat.


Sepanjang perjalanan, si bungsu Syafiq tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Wajahnya bersinar seperti pagi yang cerah, penuh antusiasme untuk bertemu dengan kedua kakaknya. Di sebelahnya, istri saya dan ibu saya—neneknya Syafiq—juga tak kalah bahagia. Keceriaan mereka adalah alunan nada yang harmonis, menyatu dengan deru mesin mobil yang mengantarkan kami ke tujuan.


Mas Udin, driver setia kami, mengemudi dengan penuh kepercayaan diri. Di sisinya, Mas Aris, Ketua Ansor yang masih lajang, duduk dengan tenang, sesekali tersenyum mendengarkan candaan ringan yang terbang bersama angin di dalam mobil. Kami semua merasa seperti tengah melakukan perjalanan penyembuhan, bukan sekadar perjalanan biasa. Udara pegunungan yang segar meresap dalam paru-paru kami, sementara pemandangan hijau dari hutan reboisasi di sepanjang jalan seakan menjadi pelipur lara, menjauhkan kami dari hiruk-pikuk dunia yang penuh kesibukan.


Ketika kami mulai memasuki kawasan kota Kediri, tiba-tiba telepon dari Kak Bekan berbunyi. Suaranya yang hangat melalui sambungan telepon menanyakan posisi kami, menambah semangat kami yang telah hampir sampai di tempat tujuan.


Sekitar pukul setengah dua belas siang, kami pun tiba di pesantren Lirboyo, tempat Kak Bekan menuntut ilmu. Hawa pesantren yang sejuk menyambut kami, mengingatkan pada suasana yang penuh dengan kesederhanaan dan kekhidmatan. Syafiq, si bungsu, langsung melompat keluar dari mobil dengan penuh semangat. Matanya bersinar saat melihat Kak Bekan yang menyambut kami di gerbang pesantren. Seperti biasa, Syafiq langsung merajuk manja kepada kakaknya, memanfaatkan setiap detik kebersamaan dengan penuh kasih sayang.


Perjalanan ini bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga perjalanan jiwa yang membawa kami lebih dekat satu sama lain, menjalin kembali ikatan keluarga yang erat, dan mengingatkan kami akan pentingnya kebersamaan dalam setiap langkah kehidupan.


Sesampainya di pesantren Lirboyo, setelah pertemuan hangat dengan Kak Bekan, kami tak lupa untuk melaksanakan salah satu niat utama dalam perjalanan ini—ziyarah ke makam para mu'assis, pendiri pesantren, yakni Mbah Kiai Abdul Karim dan para dzuriyahnya. 


Dengan langkah yang perlahan namun penuh hormat, kami menuju kompleks makam yang terletak tidak jauh dari area utama pesantren. Suasana di sekitar makam begitu khidmat, seolah-olah setiap dedaunan yang berguguran membawa doa-doa yang tulus dari para peziarah yang datang. Udara di sana terasa sejuk, membawa aroma spiritual yang menyelimuti hati kami dengan ketenangan.


Istri saya, dengan kerudungnya yang tertiup lembut angin, menggandeng tangan ibu saya yang tampak khusyuk dalam setiap langkahnya. Sementara itu, Syafiq berjalan di antara mereka, matanya yang ceria sedikit meredup, mungkin merasakan keagungan dan kesucian tempat ini. Walau sesekali tetap menikmati manjanya dengan mkinta gendong kak Bhan.


Di depan makam Mbah Kiai Abdul Karim, kami berdiri dalam diam, tenggelam dalam doa-doa yang dipanjatkan dengan penuh keikhlasan. Mata kami terpejam, meresapi setiap bait doa yang kami ucapkan, mengirimkan rasa hormat dan terima kasih kepada mereka yang telah berjasa besar dalam menyebarkan ilmu dan kebaikan. 


Di antara bisikan angin yang membawa harum bunga-bunga do'a, doa-doa kami melayang, merangkai harapan agar warisan ilmu dan ketulusan para mu'assis ini terus terjaga, mengalir seperti air yang tak pernah kering, memberi manfaat bagi umat di sepanjang zaman. Ziarah ini bukan sekadar ritual, melainkan wujud penghormatan kami kepada beliau yang telah mewariskan ilmu, menuntun kami dalam jalan yang terang. 


Setelah menghabiskan beberapa waktu di makam, kami kembali ke tempat kami singgah  dengan hati yang lebih tenang dan pikiran yang lebih jernih. Kami merasa diberkahi oleh perjalanan ini, seolah-olah semangat para ulama terdahulu ikut mengiringi langkah kami menuju tujuan berikutnya.


Sesampainya kami di tempat singgah wali santri, waktu telah beranjak sore. Jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah empat, menandakan bahwa kami harus segera bergegas untuk melanjutkan perjalanan ke tujuan berikutnya—Pesantren Sabilunnajah di Kanor, Bojonegoro, tempat di mana Kak Afif sedang menuntut ilmu. Suasana di tempat singgah itu tampak tenang, namun di dalam hati kami, ada kehangatan yang perlahan-lahan berubah menjadi rasa haru.

Si Bungsu, Syafiq, yang sejak tadi begitu gembira bertemu dengan Kak Bekan, kini terlihat sedikit ogah-ogahan saat waktu perpisahan tiba. Dia menundukkan kepala, menggenggam tangan Kak Bekan dengan erat, seolah-olah ingin memperpanjang setiap detik kebersamaan mereka. Namun, di balik mata beningnya yang sendu, terlihat juga kilatan antusiasme untuk segera bertemu dengan Kak Afif. Rasa rindu yang terbelah antara dua kakak ini menciptakan perasaan yang kompleks di dalam hati Syafiq, dan mungkin di hati kami semua.

Ketika saatnya tiba untuk berpamitan, pandangan haru menyelimuti kami. Saya melihat istri saya menahan air mata yang hampir jatuh, sementara ibu saya memberikan pelukan hangat kepada Kak Bekan. Di tengah keheningan, hanya terdengar bisikan-bisikan lembut doa yang kami ucapkan untuk Kak Bekan, agar ia senantiasa diberi kekuatan dan kesuksesan dalam menuntut ilmu di pesantren.

Syafiq, dengan tatapan berat, akhirnya melepaskan genggaman tangannya dari Kak Bekan. "Nanti kalau ada waktu, Kak Bekan datang ya," ucapnya dengan suara pelan, tetapi penuh harapan. Kak Bekan tersenyum, mengangguk dengan janji yang tersirat dalam matanya, janji bahwa pertemuan berikutnya akan datang, entah kapan, tetapi pasti.

Dengan berat hati, kami pun masuk kembali ke dalam mobil. Perjalanan harus dilanjutkan, karena masih ada satu tujuan lagi yang menunggu. Saat mesin mobil mulai berderu, saya melirik ke kaca spion, melihat Kak Bekan yang berdiri di sana, melambaikan tangan dengan senyuman yang masih tergurat di wajahnya. Syafiq melambai balik, dan seketika, saya merasakan ada sesuatu yang bergetar di dalam dada—sebuah perasaan yang begitu manusiawi, perpaduan antara kebahagiaan dan kesedihan yang hanya bisa dirasakan dalam momen perpisahan seperti ini.

Mobil pun mulai melaju, meninggalkan Lirboyo dengan segala kenangannya, menuju Bojonegoro dengan harapan baru. Di perjalanan, meski ada rasa haru yang tersisa, ada juga semangat yang perlahan tumbuh kembali. Kami tahu, perjalanan ini masih panjang, dan di ujungnya, ada Kak Afif yang menunggu dengan senyuman yang pasti akan kembali menghangatkan hati kami semua.

Perjalanan kami berlanjut dengan penuh keyakinan, mengikuti ijtihad Mas Udin, sang sopir yang sudah berpengalaman. Dengan tenang, ia memilih jalur yang terbaik, membawa kami melewati Papar, Kediri, hingga tembus ke Perak, Jombang. Jalanan yang mulus dan lengang membuat kami melaju dengan lancar, sementara di dalam mobil, suasana perlahan berubah menjadi lebih tenang, seiring matahari yang mulai meredup di ufuk barat.

Namun, tantangan sebenarnya baru dimulai ketika Mas Udin memutuskan untuk mengambil jalur pintas dari Jombang menuju Sukorame, dan kemudian tembus ke Sumberjo, Bojonegoro. Jalur ini memang lebih cepat, tetapi ia harus melintasi hutan lagi. Hanya saja, berbeda dengan perjalanan sebelumnya, kali ini kami harus melintasi hutan dalam gelapnya malam.

Saat kami mulai memasuki jalur hutan, keheningan malam perlahan menyelimuti kami. Hanya suara deru mesin dan hembusan angin yang terdengar, menggantikan canda tawa yang tadi mewarnai perjalanan. Kegelapan malam menutupi keindahan alam yang sebelumnya bisa kami nikmati di siang hari. Pohon-pohon tinggi di sekeliling kami hanya tampak sebagai bayangan hitam yang membingkai jalanan, menambah kesan misterius di perjalanan ini.

Di dalam mobil, Syafiq yang sebelumnya ceria kini mulai terkantuk-kantuk, kepalanya perlahan bersandar di pundak ibunya. Istri saya juga tampak mulai mengantuk, sementara ibu saya sudah tertidur lelap, mungkin lelah setelah seharian penuh menemani kami. Saya sendiri merasakan kelopak mata yang semakin berat, tetapi tetap berusaha terjaga, memperhatikan jalanan yang semakin gelap.

Malam itu, indahnya perjalanan tidak lagi bisa kami nikmati dengan mata terbuka. Segala keindahan yang pernah kami rasakan di siang hari, kini hanya bisa kami temui dalam mimpi. Jalanan yang sepi dan sunyi menjadi latar belakang yang sempurna untuk membiarkan imajinasi kami bermain, membayangkan kembali pemandangan hijau yang telah kami lewati, menggantikan kegelapan malam yang membatasi pandangan.

Mas Udin, dengan keahlian dan ketenangannya, tetap fokus membawa kami melalui jalan-jalan yang berkelok dan gelap. Meskipun kami tak lagi bisa menikmati indahnya alam di sekitar, keindahan malam itu hadir dalam bentuk lain—dalam kedamaian yang menyelimuti kami, dalam mimpi-mimpi yang mulai menghampiri, dan dalam keyakinan bahwa perjalanan ini akan berakhir dengan selamat, membawa kami bertemu Kak Afif yang sudah menunggu di ujung perjalanan.

Ketika akhirnya kami tiba di Bojonegoro, malam sudah semakin larut. Meski lelah, ada kebahagiaan yang tetap hangat dalam hati kami, mengetahui bahwa meski dalam gelap, kami telah melewati perjalanan ini bersama-sama, dengan segala keindahannya yang mungkin tak terlihat oleh mata, tetapi dirasakan dalam jiwa.

Sesampainya di pesantren Sabilunnajah, malam sudah semakin larut, namun agenda kami belum usai. Di sana, kami dihadapkan pada tradisi rutin yang tak boleh dilewatkan, yakni Mujadah Do'a bersama dan pengajian yang dipimpin oleh KH Anwar Zahid, acara yang ditujukan bagi wali santri dan para jamaah yang setia mengikuti kajian beliau. 

Meski badan terasa lelah setelah menempuh perjalanan panjang, kami tetap mengikuti acara dengan penuh khidmat. Di dalam ruangan yang sederhana namun penuh aura spiritual, suara lantunan doa dan dzikir bergema, menembus malam yang hening. Setiap kalimat yang diucapkan, setiap bait doa yang dipanjatkan, seolah membawa ketenangan dan kehangatan yang meresap ke dalam jiwa. Istri saya dan ibu saya terlihat khusyuk, mata mereka tertutup, tenggelam dalam doa-doa yang mereka panjatkan. Saya pun merasakan kedamaian yang mendalam, meski mata ini sudah mulai berat, tetapi hati terasa ringan, seolah beban dunia terangkat sejenak dalam lantunan doa bersama.


Waktu terus berjalan, hingga akhirnya acara selesai sekitar pukul 12 malam. Saat itu, barulah kami memiliki kesempatan untuk bertemu dengan Kak Afif. Rasa lelah seketika hilang ketika kami melihat Kak Afif muncul dari balik pintu, senyum lebar menghiasi wajahnya. Si Bungsu, yang kebetulan baru saja terbangun dari tidurnya, langsung terlihat segar dan penuh semangat. Matanya yang berbinar kembali cerah, dan tanpa ragu, ia berlari kecil menuju Kak Afif. Dalam sekejap, ia sudah berada dalam pelukan hangat sang kakak.

Rasa manja Syafiq pun tumpah ruah, ia mulai bercerita tentang perjalanan kami, tentang Kak Behan, dan tentang rindu yang selama ini ia rasakan. Kak Afif, dengan sabar dan penuh kasih sayang, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut adiknya, sesekali tertawa, sesekali mengusap rambut Syafiq dengan lembut. Terlihat jelas bahwa mereka berdua sangat menikmati momen kebersamaan ini, momen yang mungkin langka, tetapi begitu berharga.

Saya dan istri, bersama ibu saya, hanya bisa duduk dan menyaksikan kebahagiaan mereka. Hati kami terasa penuh, dipenuhi rasa syukur dan haru. Sesekali, istri saya menyeka air mata yang tak terbendung, air mata kebahagiaan melihat anak-anak kami bisa berkumpul kembali meski dalam waktu yang singkat. Ibu saya juga tak kuasa menahan haru, tangannya menggenggam tangan saya erat, seolah ingin berbagi perasaan yang sama.

Malam itu, di bawah langit Pesantren Sabilunnajah, kami merasakan kehangatan yang begitu dalam. Kebersamaan ini adalah anugerah yang tak ternilai, membawa ketenangan dan kebahagiaan yang sulit digambarkan dengan kata-kata. Meski lelah, meski malam sudah larut, pertemuan dengan Kak Afif menutup perjalanan panjang kami dengan sempurna—sebuah perjalanan yang penuh cinta, harapan, dan keharuan yang akan selalu kami kenang.

Setelah pertemuan dengan Kak Afif di Pesantren Sabilunnajah, perasaan haru yang mendalam masih menyelimuti hati kami. Namun, waktu tak bisa ditunda, dan kami tahu bahwa saatnya untuk berpamitan telah tiba. Dengan perasaan yang campur aduk, kami serombongan memutuskan untuk pulang. 

Si Bungsu, Syafiq, yang sejak tadi begitu ceria bertemu Kak Afif, kini terlihat masih enggan untuk berpisah. Tubuh kecilnya bergelayutan merangkul erat sang kakak, seolah ingin menahan setiap detik agar kebersamaan ini bisa bertahan sedikit lebih lama. Mata kecilnya yang ceria kini mulai meredup, seolah menyadari bahwa perpisahan tak bisa dihindari.

Kak Afif, dengan sabar dan lembut, menenangkan adiknya. Ia berjanji bahwa waktu akan membawa mereka bertemu lagi, di hari yang akan datang. Namun, tetap saja, momen ini penuh dengan perasaan yang tak mudah dilukiskan—campuran antara kasih sayang, kebanggaan, dan sedikit kesedihan. Kami, sebagai orang tua, hanya bisa mengamati dari kejauhan, merasakan setiap getaran emosi yang terpancar di antara mereka.

Dalam hati, saya dan istri, serta ibu saya, tak henti-hentinya bermunajat kepada Allah SWT. Harapan kami begitu besar, berharap agar putra-putra kami di pesantren dapat berhasil dalam menuntut ilmu. Kami berdoa agar ilmu yang mereka pelajari menjadi ilmu yang bermanfaat dan penuh berkah, agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang sholih, baik dalam lahir maupun batin, sukses di dunia dan akhirat. 

Doa-doa itu mengalir dari hati kami yang terdalam, memohon kepada Sang Maha Kuasa agar perjalanan hidup anak-anak kami selalu dilindungi dan diberkahi. Semoga segala usaha mereka dalam mencari ilmu diridhai oleh Allah, dan kelak mereka menjadi kebanggaan bagi keluarga dan agama.

Akhirnya, dengan hati yang sedikit berat, kami melepas Syafiq dari pelukan Kak Afif. Dengan lambaian tangan dan senyuman yang menguatkan, kami pun berangkat meninggalkan pesantren, membawa serta harapan dan doa-doa yang kami titipkan di setiap langkah. Malam semakin larut ketika kami melaju pulang, tetapi di dalam hati, ada cahaya yang tak pernah padam—cahaya cinta, doa, dan harapan yang akan selalu mengiringi perjalanan hidup anak-anak kami, di mana pun mereka berada.

Minggu, 11 Agustus 2024

Kisah Sore Bersama Si Bungsu di Bendungan Karangnongko


Senja mulai merayap di langit desaku, menyulam cakrawala dengan semburat jingga yang syahdu. Aku dan Si Bungsu, Syafiq, melangkah ringan menuju taman di Bendungan Karangnongko, tempat di mana waktu seakan melambat, memberikan ruang bagi kebersamaan yang hangat. Bendungan ini, yang terletak di selatan desaku, dulunya hanyalah hutan belantara milik perhutani, kini telah berubah menjadi sebuah kawasan yang penuh dengan janji akan masa depan yang lebih cerah.


Kami berjalan menyusuri jalan setapak yang melingkar di sekitar kawasan bendungan, di atas aliran sungai Bengawan Solo yang perkasa. Dari ketinggian, sungai itu tampak berkilauan diterpa sinar matahari yang perlahan mulai bersembunyi di balik bukit. Air yang mengalir deras seolah membawa serta segala keraguan dan kelelahan hari itu, menyisakan kedamaian yang meresap hingga ke relung hati.


Setelah puas menikmati keindahan alam yang terhampar di hadapan kami, aku dan Syafiq mengarahkan langkah ke sebuah warung kecil di utara bendungan. Warung itu sederhana, tapi menyimpan kehangatan yang tak ternilai. Di sana, Si Bungsu berlarian riang, matanya berbinar seolah tak ada beban di dunia ini. Tawa kecilnya bergema, melayang bersama angin sore yang membawa aroma tanah basah dan dedaunan.


Saat itu, aku menyadari betapa berharganya momen-momen sederhana seperti ini. Melihat Syafiq yang asyik dan bahagia di sore itu, hatiku dipenuhi rasa syukur. Sore di Bendungan Karangnongko bukan hanya tentang jalan-jalan atau bermain di warung, melainkan tentang menciptakan kenangan yang akan selalu melekat di hati kami, kenangan yang akan tetap hidup meski waktu terus berputar.


Di penghujung sore, kami pun kembali pulang dengan hati yang penuh, membawa pulang kebahagiaan yang sederhana namun mendalam, seperti senja yang perlahan menyelimuti desa kami dengan kehangatan terakhirnya.


Kami melangkah pulang dengan langkah yang lebih lambat, seolah ingin memperpanjang momen-momen indah yang baru saja kami ciptakan. Langit mulai meredup, dan bayangan pepohonan di sekitar bendungan semakin memanjang, mengikuti jejak kami di jalan setapak yang mulai sunyi. Syafiq menggenggam tanganku erat, wajahnya masih menyimpan senyum yang ceria. Tak ada yang lebih membahagiakan daripada melihat Si Bungsu begitu puas dan gembira.


Saat kami melintasi tepi sungai, angin lembut menyapa kami, membawa aroma sungai yang segar dan sedikit asin. Aku teringat kisah-kisah yang kerap diceritakan oleh para tetua desa tentang kawasan ini sebelum bendungan berdiri. Dulu, hutan perhutani di sini dianggap angker oleh penduduk sekitar, penuh dengan misteri dan cerita rakyat yang mencekam. Tapi kini, bendungan yang sedang dibangun telah mengubah wajah kawasan ini menjadi tempat yang penuh dengan harapan dan kehidupan baru.


Pikiran-pikiran itu mengiringi langkah kami hingga tiba di pintu desa. Lampu-lampu rumah mulai menyala satu per satu, memberikan cahaya hangat yang menyambut kami kembali dari perjalanan sore yang penuh makna. Syafiq mulai mengantuk, kepalanya bersandar di lenganku, seolah enggan melepas hari yang telah memberinya begitu banyak kebahagiaan. Aku pun tersenyum, menyadari bahwa sore ini bukan hanya berarti untuknya, tapi juga bagiku.


Malam pun akhirnya menyelimuti desa kami, namun ingatan akan sore di Bendungan Karangnongko tetap bersinar terang di benakku. Aku tahu, suatu hari nanti, saat Syafiq telah dewasa dan mungkin berjalan-jalan sendiri di tepi bendungan yang kini menjadi bagian dari masa kecilnya, ia akan mengingat hari ini. Hari di mana ia dan ayahnya berjalan bersama, menikmati kebersamaan di bawah langit senja, di tempat yang menyimpan begitu banyak cerita, dari masa lalu, masa kini, hingga masa depan yang masih terbungkus misteri.


Dan dengan begitu, kami melangkah ke dalam rumah, menyambut malam dengan hati yang damai, membawa serta kisah sore itu ke dalam mimpi-mimpi yang indah. Sore di Bendungan Karangnongko akan selalu menjadi bagian dari perjalanan hidup kami, kenangan yang akan terus kami simpan, seindah senja yang menghiasi langit di atas sungai Bengawan Solo.

Malam itu, setelah kami tiba di rumah, suasana terasa begitu tenang. Syafiq sudah terlelap dalam tidurnya, dengan senyum kecil yang masih tersungging di bibirnya, seolah menyimpan kebahagiaan yang baru saja ia alami. Aku menatapnya dengan rasa kasih yang mendalam, merasa beruntung bisa memberikan kenangan seindah ini untuknya. Dalam keheningan malam, pikiranku kembali melayang ke momen-momen di sore tadi, ketika kami menjelajahi setiap sudut taman di Bendungan Karangnongko.


Bendungan yang sedang dibangun itu kini bukan hanya menjadi simbol kemajuan bagi desaku, tetapi juga saksi dari banyak kisah yang akan terus hidup di benak kami. Mungkin di masa depan, ketika bendungan ini telah selesai dan airnya mengalir deras mengisi waduk, ia akan menjadi sumber kehidupan baru bagi penduduk desa. Namun, bagiku dan Syafiq, bendungan ini sudah menjadi lebih dari sekadar proyek pembangunan; ia adalah latar dari kenangan-kenangan indah yang akan kami ingat sepanjang hidup.


Ketika malam semakin larut, aku duduk di beranda rumah, menatap bintang-bintang yang bersinar di langit. Di kejauhan, bayangan hutan perhutani yang dulu menutupi kawasan itu masih terlihat samar-samar, seperti hantu masa lalu yang enggan sepenuhnya pergi. Tapi kini, dengan pembangunan bendungan, kawasan ini telah berubah menjadi ruang yang penuh dengan potensi dan harapan.


Aku merenung, betapa perubahan selalu membawa dualitas; ada yang hilang, namun ada pula yang lahir. Hutan yang dulu dianggap angker, kini telah menjadi taman yang indah, tempat di mana anak-anakku bisa bermain dengan bebas dan riang. Sungai yang dulu mengalir liar, kini dikendalikan oleh bendungan yang megah, membawa janji kesejahteraan bagi kami semua. Dan dalam setiap perubahan itu, ada kisah-kisah kecil seperti yang aku alami bersama Syafiq, yang akan selalu menjadi bagian dari sejarah tempat ini.


Dengan pikiran-pikiran itu, aku akhirnya memutuskan untuk beristirahat. Di kamar, aku melihat Syafiq yang tidur nyenyak, dan tanpa terasa, aku pun tersenyum. Sore di Bendungan Karangnongko telah memberi kami lebih dari sekadar kesenangan sementara; ia telah menanamkan benih kenangan yang akan tumbuh seiring waktu, mengikat kami lebih erat sebagai keluarga.


Esok hari, kehidupan akan terus berjalan seperti biasa. Bendungan Karangnongko akan terus dibangun, sungai Bengawan Solo akan terus mengalir, dan aku akan kembali menjalani rutinitas harian. Namun, dalam hati, aku tahu bahwa momen sore itu, ketika kami berjalan bersama di bawah langit yang merona, akan selalu menjadi harta yang berharga. Dan ketika Syafiq terbangun esok pagi, mungkin ia akan mengingat senja di bendungan dengan senyum yang sama, senyum yang mengingatkan kita semua bahwa kebahagiaan sejati sering kali ditemukan dalam momen-momen sederhana yang kita bagi bersama orang-orang yang kita cintai.

Pagi pun tiba dengan lembutnya sinar matahari yang menyelinap melalui celah-celah jendela, membangunkan desa dari tidur malamnya. Aku terjaga lebih awal, mendapati diri masih tenggelam dalam hangatnya kenangan sore kemarin. Syafiq masih tertidur pulas di sampingku, wajahnya terlihat tenang, tanpa beban. Aku memutuskan untuk sejenak menikmati kedamaian pagi ini, sebelum kesibukan hari dimulai.


Sambil menikmati secangkir kopi di beranda, pikiranku kembali pada bendungan Karangnongko. Pemandangan sore itu seakan-akan masih terpatri jelas di benakku. Aliran sungai Bengawan Solo yang membelah hutan, bayangan pohon-pohon tua yang masih setia berdiri meski di sekitar mereka kini telah berubah. Aku teringat betapa Syafiq begitu ceria berlarian di sepanjang jalan setapak, sesekali berhenti untuk mengagumi pemandangan dari atas bukit kecil. Betapa menyenangkannya melihat dunia melalui mata seorang anak, di mana segala sesuatu tampak begitu baru dan penuh keajaiban.


Bendungan Karangnongko, yang tengah dibangun, memang telah mengubah lanskap desaku. Namun, lebih dari sekadar perubahan fisik, bendungan ini telah menjadi lambang dari perjalanan hidup kami—perjalanan yang penuh dengan tantangan, harapan, dan momen-momen berharga yang akan terus kami kenang. Di balik setiap batu yang disusun, setiap tetes air yang mengalir, ada cerita yang akan terus terukir di hati setiap orang yang pernah melangkah di kawasan ini.


Ketika Syafiq akhirnya terbangun, aku melihat sinar antusias di matanya. “Kapan kita bisa pergi ke bendungan lagi, Ayah?” tanyanya dengan penuh harap. Aku tersenyum, menyadari bahwa sore kemarin telah meninggalkan kesan mendalam di benaknya. “Kapan saja kamu mau, Nak,” jawabku, merasakan kebahagiaan yang sederhana namun begitu berarti.


Hari ini, kami mungkin akan kembali pada rutinitas biasa—aku dengan pekerjaanku, dan Syafiq dengan keceriaan masa kecilnya. Namun, aku tahu, di balik setiap aktivitas sehari-hari, kami akan selalu membawa serta kehangatan dan kebahagiaan yang kami alami di Bendungan Karangnongko. Dan suatu saat nanti, ketika bendungan itu telah selesai, mungkin Syafiq akan membawa anak-anaknya sendiri ke tempat yang sama, menceritakan kisah-kisah yang ia dengar dari ayahnya, dan menambahkan babak baru dalam sejarah keluarga kami.


Hari berganti hari, namun kenangan tentang sore itu akan terus hidup, seperti aliran sungai yang tak pernah berhenti mengalir. Bendungan Karangnongko akan terus menjadi saksi bisu dari perjalanan kami, sebuah monumen yang mengingatkan kami akan keindahan hidup yang sederhana, tentang kebahagiaan yang ditemukan di tengah alam, dan tentang cinta yang tumbuh dalam kehangatan keluarga.


Malam hari, setelah semua aktivitas selesai, aku dan Syafiq kembali duduk di beranda, menatap bintang-bintang yang mulai muncul di langit malam. “Ayah, apa bintang-bintang itu juga melihat kita waktu kita di bendungan?” tanyanya tiba-tiba, dengan tatapan polos yang membuat hatiku tersenyum.


“Ya, Nak,” jawabku sambil merangkulnya erat. “Bintang-bintang itu selalu ada, mereka melihat segalanya—baik siang maupun malam. Dan mereka akan selalu mengingat apa yang kita lakukan, seperti kita mengingat sore yang indah di Bendungan Karangnongko.”


Syafiq tersenyum, merasa puas dengan jawaban itu. Kami pun duduk di sana dalam keheningan yang damai, menikmati keindahan malam yang dibalut kenangan, membiarkan bintang-bintang di langit menjadi saksi dari cinta dan kebahagiaan yang kami bagi. Dan dalam heningnya malam, aku berdoa agar kebahagiaan ini akan terus menyertai kami, seperti aliran air yang tak pernah berhenti mengalir di sungai Bengawan Solo, menuju masa depan yang penuh harapan dan mimpi-mimpi indah.